Gladys menatap langit senja dari balkon kamarnya. Warna oranye dan ungu berpadu, mengingatkannya pada senja-senja yang dulu sering ia habiskan bersama Jeremy di tepi pantai. Dua puluh tahun telah berlalu sejak hari itu, hari di mana dunianya runtuh. Namun, bayangan Jeremy masih jelas terukir di benaknya, seolah waktu enggan menghapus kenangan mereka.
Dulu, saat masih kelas 2 SMA, Gladys merasa menjadi gadis paling beruntung di dunia. Jeremy, dengan senyum menawannya dan mata yang selalu berbinar saat menatapnya, adalah segalanya. Empat tahun mereka lalui bersama, penuh tawa, impian, dan janji-janji masa depan. Mereka adalah sepasang kekasih yang tak terpisahkan, saling melengkapi dan menguatkan.
Gladys masih ingat jelas bagaimana Jeremy selalu menjemputnya setiap pagi, bagaimana mereka berbagi bekal makan siang di kantin sekolah, dan bagaimana Jeremy selalu menggenggam tangannya erat saat berjalan di bawah bintang-bintang. Jeremy adalah rumahnya, tempat ia merasa aman dan nyaman.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung selamanya. Dua tahun Setelah lulus SMA, Jeremy tiba-tiba berubah.Ia menjadi lebih pendiam dan sering menghindar. Gladys mencoba mencari tahu apa yang terjadi, tetapi Jeremy selalu mengelak. Hingga suatu hari, Gladys mendengar kabar yang menghancurkan hatinya: Jeremy akan menikah dengan perempuan lain.
Dunia Gladys runtuh seketika. Ia tidak mengerti mengapa Jeremy tega melakukan ini padanya. Mereka tidak pernah bertengkar hebat, tidak pernah ada masalah yang berarti. Jeremy selalu terlihat begitu mencintainya. Mengapa? Mengapa semua ini harus terjadi?
Gladys mencoba menemui Jeremy, memohon penjelasan. Namun, Jeremy hanya diam, tatapannya kosong dan dingin. Ia tidak memberikan alasan yang masuk akal, hanya mengatakan bahwa ini adalah yang terbaik untuk mereka berdua. Gladys merasa seperti mimpi buruk yang tak berujung.
Setelah pernikahan Jeremy, Gladys memutuskan untuk pergi jauh, mencoba melupakan semua kenangan tentang Jeremy. Ia melanjutkan kuliah di kota lain dan berusaha menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan. Namun, sekeras apa pun ia mencoba, bayangan Jeremy selalu menghantuinya.
Waktu terus berjalan, Gladys berhasil meraih kesuksesan dalam kariernya. Ia memiliki banyak teman dan dikelilingi orang-orang yang menyayanginya. Namun, hatinya tetap kosong. Tidak ada satu pun pria yang mampu menggantikan Jeremy di hatinya.
Setiap kali ada pria yang mendekatinya, Gladys selalu teringat pada Jeremy. Ia membandingkan pria itu dengan Jeremy, dan selalu menemukan kekurangan. Jeremy terlalu sempurna untuk digantikan. Senyumnya, tatapannya, sentuhannya, semua itu terlalu membekas di hatinya.
Gladys tahu bahwa ini tidak sehat. Ia tahu bahwa ia harus melupakan Jeremy dan membuka hatinya untuk orang lain. Namun, ia tidak bisa. Cinta untuk Jeremy sudah terlalu dalam, terlalu kuat untuk dihilangkan.
Hingga saat ini, di usianya yang sudah kepala empat, Gladys masih sendiri. Ia tidak pernah menikah, tidak pernah menjalin hubungan serius dengan siapa pun. Jeremy adalah cinta pertamanya, dan mungkin juga cinta terakhirnya.
Gladys menghela napas panjang. Ia meraih sebuah kotak tua dari bawah tempat tidurnya. Di dalamnya, tersimpan berbagai kenangan tentang Jeremy: foto-foto mereka saat masih SMA, surat-surat cinta yang pernah Jeremy tulis untuknya, dan sebuah boneka beruang kecil yang dulu Jeremy berikan padanya saat ulang tahunnya yang ke-17.
Gladys membuka satu per satu barang-barang itu, air matanya mulai menetes. Kenangan-kenangan itu begitu indah, begitu menyakitkan. Ia merindukan Jeremy, merindukan masa-masa bahagia mereka.
"Jeremy, mengapa kau tinggalkan aku?" bisik Gladys lirih. "Mengapa kau menikah dengan orang lain? Apa salahku?"
Tidak ada jawaban. Hanya angin malam yang berhembus pelan, membawa serta aroma kenangan yang tak pernah pudar.
Gladys memeluk boneka beruang itu erat-erat, mencoba mencari kehangatan yang dulu pernah ia rasakan saat bersama Jeremy. Namun, yang ia rasakan hanyalah kekosongan dan kesepian.
Ia tahu bahwa Jeremy mungkin sudah bahagia dengan keluarganya. Ia tahu bahwa ia harus merelakan Jeremy dan melanjutkan hidupnya. Namun, hatinya tidak bisa berbohong. Cinta untuk Jeremy masih ada, masih membara seperti dulu.
"Aku akan selalu mencintaimu, Jeremy," bisik Gladys dalam hati. "Sampai kapan pun."
Air matanya terus mengalir, membasahi boneka beruang yang sudah usang. Gladys membiarkan dirinya larut dalam kesedihan, mengenang cinta yang tak pernah bisa ia miliki.
Malam semakin larut, bintang-bintang mulai bermunculan di langit. Gladys masih duduk di balkon kamarnya, menatap langit dengan tatapan kosong. Ia merasa seperti sepotong jiwa yang hilang, yang tak pernah bisa menemukan kedamaian.
Cinta memang bisa begitu indah, tetapi juga bisa begitu menyakitkan. Gladys adalah bukti nyata dari itu. Ia telah memberikan seluruh hatinya untuk Jeremy, dan Jeremy telah menghancurkannya. Namun, meski begitu, Gladys tidak pernah menyesal telah mencintai Jeremy. Karena cinta itu, meski menyakitkan, adalah bagian dari dirinya, bagian dari perjalanan hidupnya.
Semoga suatu hari nanti, Gladys bisa menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang sejati. Semoga ia bisa melupakan Jeremy dan membuka hatinya untuk cinta yang baru. Namun, untuk saat ini, ia hanya bisa mengenang Jeremy, cinta pertamanya, cinta yang tak pernah bisa ia lupakan.
Sekian.