Bab 1: Malam yang Sunyi
Rina baru saja pindah ke sebuah rumah tua di pinggiran kota. Rumah itu sederhana, namun lantainya tinggi karena berada di atas kolong kayu—sebuah ciri khas rumah-rumah tua di desa itu.
Malam itu, hujan turun deras, menimpa atap seng dengan suara berdebur. Angin menggoyangkan jendela tua, menimbulkan suara berderit yang membuat bulu kuduk Rina meremang. Ia duduk di sofa sambil menatap lampu yang bergoyang, mencoba menenangkan diri.
“Ah… hanya rumah tua… wajar berderit,” gumamnya sambil menyeruput teh hangat.
Tetapi, dari bawah kolong, terdengar suara tipis. Suara seperti bisikan, hampir tidak terdengar, tapi cukup untuk membuat jantung Rina berdebar.
“Siapa itu…?” Rina menelan ludah, berdiri perlahan, menatap kolong rumah yang gelap.
Tidak ada siapa-siapa. Hanya gelap. Hanya bunyi hujan yang menimpa tanah basah.
Rina menepuk pipinya sendiri. “Biasa… aku terlalu tegang karena pindah rumah baru.”
Tetapi bisikan itu kembali, lebih jelas kali ini. Kata-katanya tidak jelas, seperti:
“Rin…naaa…Rina….”
Rina merinding. Nafasnya memburu. “Siapa… siapa di sana?”
Hanya kesunyian menjawabnya.
Bab 2: Suara yang Mengintai
Keesokan harinya, Rina mencoba memeriksa kolong rumah. Ia membawa senter kecil, menunduk, dan melihat tanah basah, beberapa kayu lapuk, tapi tampak kosong.
“Tidak ada apa-apa… aku terlalu panik tadi malam,” batinnya.
Namun saat ia berjalan ke dapur, terdengar suara langkah ringan dari bawah kolong. Bunyi seperti seseorang merayap, bergeser dari satu kayu ke kayu lain.
Rina menahan napas. “T-tunggu… apa itu?”
Langit-langit rumah bergetar kecil karena hujan, tapi suara itu berbeda. Lebih lambat… lebih berat… dan semakin mendekat ke tengah rumah.
Rina berlari ke kamar tidur, menutup pintu, dan menahan napas. Ia memeriksa telepon. Tidak ada sinyal. Jantungnya berdegup kencang, tangan gemetar.
Tiba-tiba, dari bawah kolong, terdengar suara lagi:
“Rina… jangan tinggalkan aku….”
Rina menjerit. Suara itu bukan manusia biasa. Ada nada getir, penuh kepedihan, dan… amarah.
Bab 3: Malam Pertemuan
Malam itu, Rina tidak bisa tidur. Lampu rumah padam tiba-tiba, digantikan oleh cahaya remang senter yang sepertinya bergerak sendiri. Ia menyalakan lilin, tapi lilin pun bergetar dan hampir padam.
Dari bawah kolong, muncul bayangan hitam, menyerupai manusia tapi lebih tinggi dan kurus. Matanya merah menyala, menatap Rina tanpa berkedip.
Rina gemetar. “A-apa… kamu… hantu?”
Bayangan itu mendekat perlahan, tapi tidak mengeluarkan suara selain bisikan yang menusuk:
“Rina… kenapa kau di sini…?”
Rina terhuyung ke belakang, menjatuhkan lilin. Api lilin padam. Gelap total.
Bayangan itu melompat ke arah kolong, lalu muncul di sisi rumah dengan suara serak:
“Rina… jangan tinggalkan aku….”
Rina hampir pingsan. “Kenapa… kenapa kamu ada di sini? Apa yang kamu mau?!”
Bab 4: Misteri Rumah Tua
Keesokan hari, Rina mencoba menggali asal muasal rumah. Ia pergi ke perpustakaan desa, mencari arsip lama. Ternyata, rumah itu dulunya milik keluarga kaya yang memiliki seorang anak perempuan bernama Lestari.
Lestari meninggal secara tragis di kolong rumah saat bermain-main di malam hujan, menurut catatan tua itu. Keluarga Lestari pindah dan rumah itu ditinggalkan selama puluhan tahun sebelum Rina membelinya.
Rina menelan ludah. “Jadi… hantu itu Lestari?”
Penduduk desa memperingatkan:
“Jangan pergi ke kolong rumah sendirian, gadis muda. Arwahnya tidak tenang. Ia mencari seseorang yang bisa mendengarnya.”
Rina bertekad. Ia tidak ingin tinggal ketakutan. Ia memutuskan untuk menghadapi arwah itu.
Bab 5: Menghadapi Arwah
Malam berikutnya, hujan kembali turun deras. Rina menyalakan lilin dan menuruni tangga kayu untuk mendekati kolong. Nafasnya memburu, tetapi langkahnya mantap.
Bayangan itu muncul, matanya merah menyala. Suasana dingin menusuk tulang.
Rina menatap langsung: “Lestari… aku tahu kamu sendirian. Aku tidak akan pergi. Aku akan dengarkanmu.”
Bayangan itu berhenti sejenak, seolah ragu. Bisikan terdengar lirih:
“Tak seorang pun… mengingatku… semua meninggalkan aku…”
Rina menelan ludah. “Aku tidak akan meninggalkanmu… ceritakan padaku apa yang terjadi malam itu.”
Arwah itu mendekat, tubuhnya mulai melembut. Suara bisikannya berubah menjadi nada sedih dan rapuh:
“Aku… jatuh… dan… sendirian…”
Rina mengulurkan tangan. “Aku di sini… kau tidak sendirian lagi.”
Bab 6: Tarian Hujan dan Bisikan
Hujan semakin deras. Angin bertiup melalui celah-celah kayu kolong, seolah ikut berbisik. Arwah Lestari mulai bergerak perlahan di kolong, menyusuri lantai kayu sambil menatap Rina dengan mata merah yang kini memucat sedikit.
Rina berjongkok, menatap matanya. “Aku akan membantumu tenang… kau harus percaya padaku.”
Arwah itu menunduk, seolah menerima keberanian Rina. Suara bisikan semakin lembut:
“Terima kasih… akhirnya… ada yang mendengarkan.”
Rina tersenyum kecil, walau tubuhnya gemetar: “Kau bisa tenang sekarang… aku akan memastikan rumah ini aman.”
Bab 7: Ritual Tenang
Rina mengingat cerita tua desa, bahwa arwah yang tidak tenang bisa damai jika seseorang menunjukkan empati dan keberanian. Ia menyalakan lilin, menaruh bunga di sekitar kolong, dan memanjatkan doa untuk Lestari.
Angin seakan mereda. Hujan pun berhenti sesaat, dan cahaya lilin memantul di kolong yang basah. Arwah Lestari perlahan menghilang, meninggalkan rasa hangat di udara.
Rina menatap kolong kosong. “Selamat jalan, Lestari… semoga kau damai.”
Tidak ada suara lagi, hanya kesunyian yang tenang.
Bab 8: Ketenangan Rumah
Keesokan harinya, rumah terasa berbeda. Tidak ada lagi suara langkah, tidak ada bisikan aneh. Lampu menyala normal, dan Rina bisa menyalakan oven tanpa gangguan.
Tetapi setiap kali ia menatap kolong, ia merasa ada kehadiran lembut yang mengawasinya, bukan dengan niat jahat, tetapi sebagai teman yang lega.
Rina tersenyum sendiri. “Kau akhirnya tenang, ya… dan aku juga bisa hidup tenang di rumah ini.”
Warga desa pun melihat perubahan. Rumah yang dulu ditakuti itu kini terasa ramah. Anak-anak bahkan bermain di halaman tanpa takut.
Rina menyadari sesuatu: keberanian dan empati bisa mengubah ketakutan menjadi kedamaian. Dan malam-malamnya kini tidak lagi menegangkan, tetapi terasa penuh misteri hangat yang menenangkan.
Bab 9: Epilog – Hantu yang Damai
Beberapa minggu kemudian, Rina sudah nyaman dengan rumahnya. Ia menata ulang ruang tamu, memasak di dapur, dan bahkan menyiapkan kamar untuk tamu kecil dari desa.
Kadang, ketika malam tiba, Rina menyalakan lilin di kolong, dan ia merasakan kehadiran Lestari yang damai. Tidak menakutkan, hanya hadir sebagai teman yang berterima kasih.
Rina tersenyum: “Kalau kau ingin, kau bisa tetap di sini… tapi sekarang aku tidak takut lagi.”
Angin malam berhembus pelan, membawa aroma hujan yang bersih, dan seakan menjawab:
“Terima kasih, Rina… aku tenang sekarang.”
Rumah tua itu kini bukan lagi tempat yang menakutkan. Ia menjadi rumah yang penuh kenangan, dengan satu rahasia: arwah yang damai, berterima kasih, dan satu gadis desa yang berani menghadapi kegelapan.
Rina menatap langit malam, jantungnya tenang. Suara bisikan malam telah hilang. Rumah, kolong, dan hujan… semuanya kini damai.