Setiap orang punya topengnya sendiri.
Dan aku, selalu memakai topeng yang selalu tersenyum. Meski di dalam hati, aku sering hancur.
…Dan hari itu, aku kembali memakainya seperti biasa.
Aku masuk kedalam kelas dengan senyuman ceria dan memanggil,
"Peter! Aku dengar kemarin kamu jatuh ke got, ya? Hahahahha," tawaku sambil menepuk badan Peter dengan kuat.
Peter terlihat sedikit tersentak dan meringis, "Astaga bikin kaget saja tunggu... Ha? Darimana kamu tahu itu?!?"
Peter melebarkan matanya tak percaya, aku menyengir, "Heh, itu rahasia~" ucapku sambil berjalan ketempat dudukku kembali.
"Cepat beritahu aku siapa yang khianatiku, Reina! Aku perlu tahu siapa musuh dalam selimut! Darren, aevin atau jangan-jangan hendra??" Peter berdiri di depan tempat dudukku sambil menggerakkan giginya dengan kesal.
Hendra yang kebetulan masuk ke dalam kelas pada saat itu mendengar perkataan peter, "Oh itu, aku yang kasih tau orang di grup, sori bro—hahahahha!" Hendra kemudian berlari tertawa terbahak-bahak ketika melihat Peter menerjang kearahnya dengan wajah hitam.
Mereka berlari-larian didalam kelas.
"Oh, ayolah, sebenarnya aku udah terlanjur bilang di grup chat duluan, makanya aku diam saat kamu suruh saya untuk rahasiain.." bujuk Hendra dengan nada melas sambil menatap Peter yang ada di meja seberangnya.
Peter menatap Hendra dengan tatapan jijik, tanpa mengatakan apapun, Peter melompati meja yang ada di antara mereka dengan cepat meraih kerah Hendra.
Hendra langsung mengangkat kedua tangannya menyerah dan menenangkan peter, "Woah, woah santai dulu bro, Reina cepat bantu gue!!!"
Memikirkan Hendra yang cepuin Peter di grup juga karena ada hubungannya denganku, aku pun memutuskan untuk menolong Hendra.
"Bagaimana kalau kamu biarkan Hendra untuk traktir makan selama 3 seminggu? Anggap aja sebagai kompensasi mental health kamu, peter?"
Hendra mengeluh, "oi, 3 seminggu terlalu banyak——" Hendra langsung berhenti berbicara ketika merasakan tangan yang memegang kerahnya mengerat.
Melihat wajah mengerikan Peter, mau tidak mau Hendra akhirnya pun berkompromi, "baiklah, baiklah, tapi aku hanya bisa traktir seminggu, tidak ada penawaran lagi, kamu juga harus mengasihaniku karena uang jajanku bulan ini udah habis," ucap Hendra dengan wajah melas.
Peter pun akhirnya melepaskan Hendra dan tersenyum, "kamu harus memegang perkataanmu ya, bro," ucapnya sambil menepuk-nepuk belum bahunya.
"Asyik! ayo kita makan mie gacoan sepulang sekolah ini, Hendra yang traktir!" Seruku dari samping.
"Hey!! Aku tidak bilang akan menaktir kalian semua!!" Sahut Hendra dengan cepat.
"Masa? Peter, kamu akan bawa kami semua ikut makan kan?" Tanyaku dengan senyuman ceria.
"Oke, nanti kalau ada waktu, kita makan bersama aja, soalnya Hendra yang traktir," Peter ikut bercanda.
"Hey!!!"
Aku dan kesemua teman sekelas yang ada di dalam kelas ikut tertawa.
Sebelum aku bisa berhenti ketawa, teman sebangku memanggilku, "Reina, Reina, coba kamu lihat ini."
Aku menatap buku yang di sodorkan oleh dia, "kenapa, Sasha?" tanyaku bingung.
"Bisakah kamu tolong mengerjakan soal ini?" Ucapnya sambil nunjukin suatu soal.
Teman yang duduk di depanku juga ikut menyahut dan berbalik menghadap belakang, "ah, iya! aku juga mau tanya soal ini pada reina, hampir aja lupa, aku penasaran bagaimana cara kamu mengerjakannya?"
Ya, aku pun juga merupakan top juara di kelas berturut-turut, jadi kadang selalu ada siswa yang menanyakan soalan kepadaku.
"Ah, untuk soal ini kamu harus mengerjakannya kayak begini..." Aku menjelaskan ke mereka dan saat sudah selesai, Hendra memanggilku, "Reina! Pinjam pr hari ini dong, aku belum kerjain sama sekali!"
"Duh, kenapa kamu tidak pernah ngerjain prmu sama sekali, sih!"
"Habisnya kami yang bodoh ini tidak akan pernah bisa ngerjainnya hahaha," lanjut si Toni dengan tawa.
"Bilang aja kalian bodoamat dan ga mau ngerjain!" Ucapku tajam, Aku tidak nyerahin buku prku begitu saja kemereka.
"Ayolah, Reina..." Mohon Hendra dengan nada lemah lembut.
Aku menatapnya dengan jijik kemudian mengabaikannya.
Setelah memohon beberapa saat, Hendra akhirnya mengerakkan giginya, "Baiklah, kamu mau mie gacoan kan? Ayo sepulang sekolah ini aku traktir kamu juga!"
Aku sengaja diam sejenak, membiarkan Hendra gelisah sesaat sebelum akhirnya membuka mulut, "baiklah tapi kali ini saja, ya!" Ucapku dengan senyuman ceria, seolah yang membuat wajah tegas tadi bukan aku.
"Asyik!!" Seru Hendra sambil pergi membawa buku prku.
Akupun kemudian lanjut berbicara dengan teman sebangkuku.
"Oke, maaf, kita tadi bicara sampai mana, ya?"
Beginilah keseharianku.
Aku selalu hidup dengan topeng yang ceria dan antusias, oleh karena itu aku memiliki banyak teman. Tidak ada orang yang tahu apa yang ada di balik topengku sampai saat ini, termasuk keluargaku.
Karena aku tahu, setiap kali topengku ini retak, maka aku akan kehilangan suatu hal yang berharga. Dan aku benci rasa kehilangan itu.
Itu membuatku kembali mengingat masalalu.
Pada saat aku masih usia 8 tahun, aku untuk pertama kalinya menunjukkan ekspresi ku tanpa senyuman, karena aku benar-benar tidak bisa tersenyum melihat mamaku berbaring di kasur rumah sakit dengan lemah nan lesu, meski mamaku ada meminta dariku.
Dan saat aku masuk kesekolah tanpa senyuman, teman-teman sekelasku mengelilingiku dan menanyakan kabarku dengan khawatir, aku hanya diam karena tidak tahu bagaimana menjawab mereka.
Hingga akhirnya satu persatu dari mereka mundur dan berhenti mengajakku berbicara, mungkin karena bosan.
Aku juga tidak bisa mengerahkan tenagaku untuk tetap tersenyum dan bermain dengan teman-teman sekelasku seperti biasanya.
Aku merasa lelah.
Tapi aku tidak mau merepotkan papaku yang pasti juga sedih dengan mama yang berjuang di rumah sakit dan lelah tiap pulang kerja. Oleh karena itu, aku pun menjadi diam dan tidak mengekspresikan emosi di wajahku, aku harus menahan perasaanku.
Namun aku benar-benar merasa sangat kesepian.
Kenapa tidak ada orang yang menemaniku?
Hingga papaku menyadari ada sesuatu yang salah denganku dan mengajakku menemui psikiater.
Beberapa hari kemudian, aku mendapatkan anak anjing peliharaan dari papaku.
Anak anjing itu sangat kecil dan lucu, bahkan meski aku tidak berbicara apapun dan tidak tersenyum, anjing itu tetap selalu berada di sisiku.
Aku menamainya pipi, pipi selalu suka menarikku untuk bermain dengannya di halaman rumah dan aku juga suka memeluknya sambil tidur karena hangat dan lembut.
Aku sangat suka dengannya, hingga akhirnya perlahan aku bisa tersenyum kembali berkat pipi.
Aku tidak merasa kesepian lagi.
Namun suatu saat di tengah malam, aku mendengar papaku berbicara dengan seseorang di telepon, entah kenapa aku berhenti dan tetap diam mendengarkan.
"Dokter, apakah istri benar-benar tidak ada harapan untuk tahun ini? Saya mohon untuk kerahkan segenap tenaga anda untuk mengobatinya, uang bukan masalah untukku...." Ucap papaku dengan suara rendah penuh dengan kesakitan yang tak tersembunyikan.
Papaku terus berbicara dengan dokter itu dengan suara rendah, namun setiap perkataannya dapat kudengar dengan jelas di malam yang hening ini.
Aku berlari kembali dalam kamarku dan menguncinya, papaku yang mendengar keributan itu langsung berhenti berbicara dan memanggil, "Reina? Apa itu tadi kamu? Kamu ada mendengar sampai mana?"
Papaku mengetok-ngetok pintuku dan memanggilku Pelan, mencoba membuatku membuka pintu, namun aku berpura-pura tidak mendengar dan hanya menyandarkan punggungku ke pintu.
Pipi juga terbangun ketika mendengar keributan, dan pipi menyodorkan hidungnya yang basah ke pergelangan kakiku, seakan bertanya, 'apa kamu tidak apa-apa?'
Aku tidak bisa tersenyum juga pada saat itu dan hanya memeluk pipi dengan erat, pipi menjilat tanganku dan pipiku seperti mencoba untuk menghiburku, tindakannya itu membuatku merasa tenang hingga tanpaku sadari aku tertidur di atas lantai yang dingin.
Namun nahaasnya, malam itu seperti di takdir kan menjadi malam yang tidak tenang, di pagi subuh, papaku mengetok-ngetok pintu sekali lagi, namun dengan ritme yang tergesa-gesa, yang berhasil membangunkanku dari tidurku.
"Reina, cepat buka pintunya, kita harus segera kerumah sakit!!"
Mendengar itu, aku merasakan firasat buruk dan segera membuka pintu, aku kemudian di ajak papaku yang memiliki wajah gelisah kerumah sakit dengan buru-buru.
Aku juga membawa pipi dan memeluknya dengan erat dalam diam, aku tidak ingin berpikir banyak ataupun bertanya kepada papaku, karena aku takut dengan pikiranku sendiri.
Dan yang benar saja, mamaku pergi dari dunia pada saat itu juga tanpa bisa meninggalkan sepatah katapun.
"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin.." dokter menjelaskan mamaku yang seharusnya bisa bertahan satu tahun lagi, entah kenapa tubuh memburuk dengan sangat drastis malam ini.
Aku menangis kuat sampai tidak bisa bersuara di pemakaman ibuku sambil dipeluk papaku.
Pipi seperti bisa merasakan kesedihanku, juga tidak mengajakku bermain seperti biasanya dia hanya menemaniku di samping dalam diam.
Aku berdiam di rumah selama beberapa hari, papaku harus lanjut bekerja karena dia hanya mengambil cuti libur 2 hari. Oleh karena itu, aku hanya di temani pipi sendirian, Rumah kini terasa sangat hampa dan hening, yang menusuk langsung kehatiku.
Dadaku terasa berat seperti di timpa bantu besar dan hanya suara napasku yang pendek terdengar.
Aku meringkuk di bawah selimut dan menangis dalam diam, hingga sampai aku merasa selimutku di tarik-tarik. Aku membuka selimutku dan menemukan pipi memandangku di samping selimutku.
Aku meraih dan memeluk pipi, sambil bertanya lembut, "Aku harus bagaimana pipi?"
Pipi hanya menggonggong, "Ow, ow, ow" dan menjilat-jilat wajahku, "baiklah baiklah, hentikan pipi! " ucapku sambil tertawa pelan.
Sesuatu yang hangat seperti tumbuh di dalam dadaku, "apa kamu ingin bilang aku harus tetap semangat karena aku masih punya papa dan pipi?"
Pipi seperti bisa mengerti ucapku, mengongong sekali lagi.
Sekali lagi, aku tertawa lepas, "Baiklah, aku akan mendengar ucapanmu!"
Sepertinya sudah lama sekali sejak aku tertawa lepas seperti ini.
Aku pun menyemangati diriku dan turun dari kasur, "Oh astaga sudah jam berapa ini? Pantesan kamu menggonggong-gong dari tadi ternyata sudah jam segini!"
Seperti ingin menyahut perkataan ku, pipi mengongong sekali lagi.
"Baiklah, baiklah, ayo cepat ke turun bawah, aku akan menyiapkanmu makan malam."
Ups,aku sampai lupa kalau aku belum kasih makan pipi sejak tadi pagi. Ini membuatku jadi makin mau tetap semangat karena aku tidak mau merugikan orang di sekitarku hanya karena kesedihanku, contohnya pipi.
Aku duduk di hadapan pipi yang sedang memakan makanannya dengan lahap dan kembali melamun.
Namun... Aku hanya bisa tetap semangat jika pipi tetap di sisiku, oleh karena itu pipi jangan sampai meninggalkanku ya?
Papaku seperti menyadari aku kembali seperti diriku biasanya, pun menyaraniku untuk masuk sekolah lagi dan aku pun mendengarkan perkataan papaku.
Namun, sebelum itu... Aku harus mengerjakan tumpukan pr yang kutunda semenjak dari pemakaman mamaku.
Aku menatap tumpukan pr itu dengan tatapan rumit, apakah sudah telat kalau aku bilang aku masih belum siap masuk sekolah?
Pipi menyodor-nyodorkan hidung basahnya ke pergelangan kakiku saat aku sedang di tengah mengerjakan prku.
Aku dengan sabar membujuk pipi, "pipi kamu main dulu sendiri ya, sejam lagi aku akan ajak kamu bermain! Janji deh!!"
Pipi seperti bisa mengerti perkataanku pun kembali diam.
Aw, lihat perangai imut pipi yang diam sambil menatapku dengan mata berairnya. Aku pun kembali menyemangati diri untuk mengerjakan prku dengan cepat supaya bisa lebih cepat bermain dengan pipi.
Oleh karena itu aku pun mengeraskan wajahku, tidak tersenyum, "baiklah, kamu jangan ganggu aku lagi, sebentar lagi aku akan selesai."
Seperti melihat keseriusanku karena aku tidak tersenyum. Pipi akhirnya berjalan keluar dari kamar sambil menundukkan kepalanya dengan sedih.
Aku merasa hatiku seperti di cengkram erat, oleh karena itu, aku pun mengertakkan gigiku sambil mengerjakan pr dengan cepat.
Lain di ketahui diriku, papaku lupa untuk menutup pintunya erat di saat dia pergi kerja di hari itu, sehingga pipi yang seperti tertarik dengan sesuatu di luar pintu berlari keluar dari pintu itu tanpa ragu.
Hingga satu jam kemudian, saat aku selesai mengerjakan prku baru aku sadar kalau pipi hilang.
Hatiku makin drop ketika aku menyadari pintu rumahku ke buka. Tanpa ragu, aku keluar dari rumah sendirian mencari pipi.
"Pipi! Pipi! Kamu ada di mana?" Aku teriak memanggil namanya di sekitaran rumahku.
Ketika memanggil tidak membuahkan hasil, aku pun bertanya kepada orang yang lewat, "permisi nenek, apa kamu ada melihat anjing putih kecil di sekitar sini?"
Dan nenek itu memberikanku jawaban yang membuat hatiku berharap itu tidak nyata, "anjing putih, kalau tidak salah aku ada melihat seekor anjing putih di samping tempat sampah di sana? Apa dia peliharaan kamu, nak?"
Aku, tanpa mengatakan apapun, langsung berlari ke tempat sampah yang di tunjukkin nenek itu tanpa membuang waktu.
Tolong, tolong jangan sampai seperti yang kupikirkan.
Dan takdir seperti bercanda denganku, tubuh pipi di penuhi dengan luka seperti bekas ban motor dan yang paling penting, dia tidak bernapas lagi.
Aku dengan gemetaran memegang tubuh pipi yang dingin, meski tidak hangat seperti biasanya, aku tetap memeluknya ke dadaku dan membawanya kembali ke rumah.
'tidak apa, pipi mungkin akan kembali hidup setelah lukanya di rawat,' pikirku dengan naif sembari mengeluarkan kotak p3k dan menperban badan pipi dengan lembut.
Aku kemudian memeluk pipi dengan hati-hati, sambil berharap moga aja setelah aku membuka mataku kembali, pipi akan kembali hidup dan menarik-narik bajuku untuk bermain di halaman rumah lagi.
Ya, pasti akan begitu.
Saat papaku pulang, dia pun menyadari situasiku. Dia ingin mengambil pipi dariku dan menguburnya, tapi aku tidak mau memberikannya dan bersikukuh memegang pipi.
"Reina, pipi akan lebih menderita jika kamu begini, pipi pasti tidak ingin kamu terus bersedih dan mau kamu tetap terus tersenyum, kan? Jadi kamu harus bisa melepaskannya dan menguburnya supaya dia bisa mati dengan tenang...."
Perkataan papaku membuatku kembali ingat akan kenangan singkatku bersama pipi. Tubuh pipi hangat pipi yang selalu kupeluk tiap malam, pipi yang selalu menarikku untuk bermain di halaman rumah, sekarang menjadi diam di tangan pelukanku.
Pipi tidak bisa menemaniku lagi.
Untuk alasan yang tidak bisa di jelaskan, akhirnya aku menyerahkan pipi kepada ayahku.
Dan sejak saat itu, papaku seperti merasa bersalah atau merasa khawatir dengan kondisiku akhirnya mulai pulang dari kerjanya dengan cepat dari hari biasanya dan terus bekerja dari rumah, dia ingin menemaniku agar tidak kesepian namun wajahnya semakin suram tiap harinya dan kelelahan di wajahnya tidak dapat disembunyikan lagi.
Aku hanya punya papaku saja, jadi aku tidak ingin papaku merasa lelah dan khawatir tiap harinya, oleh karena itu, demi papaku dan pipi, aku pun menekadkan diriku untuk masuk sekolah lagi.
Namun sekolah ini terasa sangat asing, Aku merasa seperti udah lama sekali tidak kesekolah padahal hanya cuma seminggu lebih saja aku tidak masuk. Aku pun sadar kenapa, aku ternyata tidak memiliki teman-teman yang mengajakku bermain lagi.
Aku kembali mengingat diriku yang hanya diam dan tidak tersenyum saat di ajak temanku berbicara terakhir kali.
Aku merasa sangat kesepian.
Untuk pertama kalinya aku merasa takut, sangat sangat takut sampai aku berpikir,
"Andai saja aku bisa tersenyum pada saat itu, apakah mama tidak akan pergi ya?
Andai saja aku tersenyum pada pipi, apakah pipi tidak akan sampai keluar dari rumah?
Andai saja aku tersenyum, apakah teman-temanku akan tetap bermain denganku?"
Aku merenungkan hal itu, dan saat aku pulang kerumah, sejak hari itu, aku belajar tersenyum. Bukan karena aku bahagia… tapi karena aku takut kehilangan lagi
Ketika aku menunjukkan senyumanku dan papaku seperti merasa sangat lega.
Ketika aku kembali tersenyum, teman-temanmu pun mulai mendekatiku dan mengajakku bermain lagi.
Di titik itu, aku pun menyadari tiap aku menghilang senyuman di wajahku, sesuatu yang berharga dariku akan di rengut, oleh karena itu aku harus terus tersenyum meski berbalik dengan apa yang kurasakan di dalam hati.
Aku tidak sadar kapan ini menjadi topeng keseharianku sampai saat ini.
Aku mengira aku akan terus begini sampai akhir hayatku. Namun kemunculannya seperti mengolok pemikiranku itu.
"Berhenti tersenyum, senyumanmu jelek," ucap pria itu dengan datar.
Aku tertegun, memiringkan kepala dengan bingung.
“Apa maksudmu?” tanyaku, mencoba tetap ceria.
Pria itu menjentikkan kepalaku pelan dan berkata, "karena itu terasa sangat palsu, aku tidak merasakan kebahagiaan di senyumanmu seperti... hanya untuk bertahan hidup.”
Untuk pertama kalinya, aku merasa topengku retak.
Senyuman yang selama ini kusembunyikan di balik luka, ternyata bisa dilihat oleh seseorang.
Namun aku entah kenapa aku tidak terlalu membencinya, Aku terdiam lama, lalu menarik napas pelan.
…Mungkin… aku sangat ingin ada seseorang yang bisa melihatku tanpa topengku.