Air danau yang memancarkan cahaya biru itu terasa sangat dingin saat Muhammad Syura melompat ke dalamnya. Dinginnya menusuk hingga ke tulang, tetapi ia tetap berenang, menuju sisi lain yang terlihat jauh di seberang. Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang aneh. Bukan arus air yang kuat, melainkan sesuatu yang menariknya ke dalam. Ia merasa pikirannya ditarik, ditarik ke dalam kenangan yang paling dalam.
Di dalam benaknya, ia melihat kembali masa kecilnya bersama ayah dan ibunya. Mereka tertawa, berkebun bersama, dan ayahnya mengajarinya tentang tanda-tanda alam dan bisikan air. Kenangan itu terasa begitu nyata, begitu hangat, seolah ia bisa kembali ke sana dan tinggal selamanya.
"Tetaplah di sini, Syura," bisik suara ibunya. "Semua yang kau butuhkan ada di sini. Lupakan desa itu. Lupakan kekeringan."
Syura hampir goyah. Ia merasakan kerinduan yang mendalam untuk kembali ke masa lalu yang bahagia. Namun, ia teringat wajah-wajah penduduk desanya yang menderita, wajah Pak Karta yang lelah, dan anak-anak yang kini tidak bisa lagi bermain. Ia tahu, kenangan ini adalah jebakan. Ini adalah ujian batin.
Ia berenang melawan arus kenangan itu, memusatkan pikirannya pada tujuannya. Liontin di lehernya kembali terasa hangat, seolah memberikan kekuatan. "Ini semua hanya ilusi," gumamnya, "tujuanku bukan masa lalu, tapi masa depan."
Air danau itu merespons tekadnya. Kenangan masa lalu mulai memudar, dan kini, ia dihadapkan pada ketakutan terbesarnya. Ia melihat bayangan dirinya yang gagal. Desa Tirta yang hancur, para penduduk yang marah dan kecewa, menyalahkannya karena gagal. Ia melihat wajah-wajah itu dipenuhi dengan kemarahan, mengatakan bahwa ia hanya seorang pembohong.
"Kamu pikir kamu bisa menyelamatkan kami? Kamu bodoh! Kamu lemah!" teriak bayangan Pak Karta.
Ketakutan itu terasa begitu nyata, menusuknya hingga ke dasar hati. Namun, Syura tahu ia tidak bisa menyerah. Ia tahu bahwa ketakutannya adalah ilusi. Kegagalan adalah bagian dari hidup, tetapi menyerah bukanlah pilihannya. Ia terus berenang, melawan bayangan-bayangan itu.
Di pinggir danau, Penjaga Tebing mengamati Syura dengan seksama. Ia melihat perjuangan Syura di dalam air, melihat bagaimana wajah Syura menunjukkan emosi yang berbeda-beda—kerinduan, kesedihan, dan ketakutan. Penjaga itu tahu, air danau itu bukanlah ujian fisik, melainkan ujian batin.
Setelah perjuangan yang terasa sangat lama, akhirnya Syura mencapai sisi lain danau. Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya gemetar, tetapi ia merasa lega. Ia berhasil. Ujian itu telah ia lewati.
Di sana, di sisi danau yang ia tunda, berdiri sebuah guci batu yang indah. Syura menyadari bahwa inilah yang harus ia bawa pulang. Guci itu kosong, tetapi ia tahu bahwa ia akan mengisinya dengan air dari danau itu.
Saat ia membalikkan badan, Penjaga Tebing sudah berdiri di belakangnya. Pria itu menatap Syura dengan mata yang memancarkan kekaguman. "Kamu berhasil," katanya. "Kamu membuktikan dirimu layak. Bukan karena kekuatanmu, tapi karena tekadmu. Pergilah, ambillah air ini, dan selamatkan desamu."
Syura mendekati danau itu, mengambil guci batu, dan menciduk air. Saat air itu masuk ke dalam guci, guci itu bersinar. Syura menunduk hormat kepada Penjaga Tebing, mengucapkan terima kasih atas bimbingannya.
Ia kembali berjalan, kini bukan dengan ransel yang kosong, melainkan dengan guci berisi harapan. Ia tahu, perjalanannya belum selesai. Ia harus kembali ke Desa Tirta, melewati semua rintangan yang telah ia hadapi. Namun, kali ini, ia tidak lagi berjalan sendirian. Ia membawa serta kekuatan Mata Air Kedua.