Setelah berhasil menembus Kabut Kesesatan, semangat Muhammad Syura membara. Ia berjalan di sepanjang jalan setapak yang kini terlihat lebih jelas, mengarah ke sebuah tebing raksasa. Bisikan air dari liontinnya terasa sangat kuat, seolah sumber air yang ia cari berada tepat di balik tebing itu. Syura mempercepat langkahnya, tidak sabar untuk menyelesaikan perjalanannya.
Namun, saat ia sampai di kaki tebing, langkahnya terhenti. Jalan setapak yang ia ikuti berakhir di sebuah celah sempit, terlalu kecil untuk dilewati manusia. Syura mencoba mencari jalan lain, tetapi tebing itu tampak kokoh dan tak ada celah lain. Di atasnya, tampak jurang yang dalam, memisahkan tebing itu dari puncak gunung.
Syura menghela napas, frustasi. Ia sudah melalui Kabut Kesesatan, hanya untuk dihadapkan pada jalan buntu. Ia memegang liontinnya, mencoba bertanya, "Bagaimana cara aku melintas?"
Tiba-tiba, bisikan air di dalam kepalanya berubah. Bukan lagi melodi yang indah, melainkan sebuah teka-teki. "Untuk melihat yang tak terlihat, kamu harus melepas yang terikat."
Syura mengernyitkan dahi. Ia memikirkan kata-kata itu. Apa yang harus ia "lepas"? Ia mencoba melepaskan ranselnya, tetapi tidak ada yang berubah. Ia melepaskan parangnya, namun tetap sama. Ia mulai berpikir keras, mencoba mencari makna tersembunyi.
Sambil berpikir, ia duduk di atas sebuah batu besar dan memandang ke arah tebing. Ia melihat ada ukiran-ukiran aneh di permukaan tebing, mirip dengan simbol-simbol kuno yang sering ia lihat di buku ayahnya. Syura menatap ukiran-ukiran itu lebih dekat dan menyadari bahwa ukiran itu membentuk sebuah pola. Di salah satu sudut pola itu, ada sebuah batu yang terlihat sedikit berbeda.
Syura meraba-raba batu itu dan ia menyadari bahwa batu itu bisa ditekan. Namun, batu itu tidak bergerak, seolah terkunci. "Melepas yang terikat..." gumamnya lagi. Ia melihat liontin di lehernya. Ia melepaskan liontin itu dari lehernya dan meletakkannya di permukaan batu.
Seketika, liontin itu memancarkan cahaya biru terang, dan ukiran-ukiran di tebing mulai bersinar. Batu yang ia tekan perlahan-lahan bergerak masuk, dan di sampingnya, sebuah jalan rahasia mulai terbuka. Jalur itu sempit, gelap, dan mengarah ke dalam tebing.
Syura mengambil kembali liontinnya, yang kini terasa lebih dingin, dan melangkah masuk ke dalam terowongan rahasia itu. Di dalam, udara terasa lembap dan dingin. Ia menyalakan obor yang ia bawa dan mulai berjalan. Jalur itu berkelok-kelok, menuruni lorong gelap yang tampaknya tak berujung.
Setelah beberapa lama berjalan, ia mendengar suara gemericik air yang semakin lama semakin keras. Jantungnya berdebar kencang. Ia terus berjalan hingga ia melihat sebuah cahaya di ujung lorong. Cahaya itu memancar dari sebuah gua yang sangat besar.
Syura mempercepat langkahnya dan keluar dari terowongan itu. Pemandangan di depannya membuatnya terperangah. Ia berdiri di dalam sebuah gua raksasa, dengan langit-langit yang dipenuhi stalaktit dan stalagmit. Di tengah gua itu, terdapat sebuah danau yang sangat besar. Airnya jernih, memancarkan cahaya kebiruan yang memukau. Syura dapat merasakan energi yang luar biasa dari danau itu.
Ini adalah Mata Air Kedua.
Syura menatap danau itu dengan penuh takjub. Airnya begitu murni, begitu hidup. Namun, ia merasa ada sesuatu yang aneh. Tidak ada jalan untuk turun ke danau itu. Di sekelilingnya, danau itu dikelilingi oleh dinding batu yang curam. Ia melihat ke sekeliling, mencari jalan turun.
"Selamat, kamu sudah sampai," sebuah suara berat terdengar dari belakangnya.
Syura menoleh. Berdiri di sana adalah sosok yang tinggi besar, dengan tubuh kekar dan wajah yang terlihat seperti pahatan batu. Matanya memancarkan cahaya yang sama dengan air danau. "Kamu adalah penjaga Mata Air Kedua?" tanya Syura.
Pria itu mengangguk. "Aku adalah Penjaga Tebing. Mata Air Kedua tidak bisa diambil begitu saja. Kamu harus melewati satu ujian lagi. Tunjukkan padaku bahwa kamu layak untuk membawanya."
Syura tidak gentar. "Apa ujiannya?" tanyanya. Ia sudah siap untuk menghadapi apa pun demi desanya. Pria itu menunjuk ke arah danau. "Kamu harus berenang di danau ini," jawabnya. "Jika kamu berhasil mencapai sisi lain, kamu akan diizinkan mengambil airnya."
Syura memandang danau itu. Tampaknya mudah, tetapi ia tahu bahwa ujian ini pasti memiliki jebakan. Namun, ia tidak punya pilihan. Ia harus mencobanya. Ia meletakkan ranselnya di tanah, melepaskan pakaiannya, dan bersiap untuk melompat.
Perjalanan yang panjang telah membawanya ke sini. Ia sudah melewati rintangan demi rintangan. Kini, hanya tinggal satu tantangan lagi yang memisahkan dirinya dari harapan. Ia mengambil napas dalam-dalam, mengumpulkan semua keberaniannya, dan melompat ke dalam air yang memancarkan cahaya biru.