Setelah meninggalkan gua sang penjaga, Muhammad Syura meneruskan perjalanannya. Ia kini berjalan dengan lebih mantap, liontin kecil berbentuk tetesan air di lehernya terasa hangat, seolah memberikan kekuatan. Peta ayahnya ia simpan, karena ia sadar bahwa petunjuk terbaik kini bukanlah garis-garis di atas kertas, melainkan nalurinya sendiri dan bisikan dari liontin itu.
Namun, ia harus berhati-hati. Kabut Kesesatan bukan sekadar kabut biasa. Penduduk desa percaya, kabut itu punya nyawa, bisa berbicara, dan bahkan merasuki pikiran. Konon, kabut itu bisa memunculkan ilusi tentang kenangan yang paling dirindukan atau ketakutan yang paling dalam, menjebak seseorang hingga ia tersesat selamanya.
Benar saja, tak lama setelah ia mendaki sebuah bukit curam, kabut tebal berwarna kelabu mulai turun, menyelimuti segala sesuatu. Pemandangan sekitarnya menghilang, digantikan oleh dinding putih yang tak berujung. Syura mencoba memejamkan mata, namun ia tetap bisa melihatnya. Itu bukan kabut, melainkan ilusi yang menari-nari di depan matanya.
"Muhammad Syura, pulanglah," bisik sebuah suara yang terdengar seperti suara ibunya. "Tidak ada harapan di sini. Kami menunggumu."
Syura terkejut, air matanya menetes. Ia melihat bayangan ibunya melambai dari jauh. "Ibu?" Ia hampir saja berlari ke arah bayangan itu. Namun, ia teringat pesan wanita penjaga dan menahan diri. Ia meremas liontin di lehernya. Seketika, rasa hangat itu menyebar ke seluruh tubuhnya, membersihkan pikirannya dari bisikan palsu itu. Bayangan ibunya memudar, digantikan oleh kerutan kabut yang kembali menakutkan.
Tidak lama kemudian, suara lain muncul, kali ini terdengar seperti suara Pak Karta. "Kamu tidak akan pernah berhasil! Kamu hanya anak aneh yang keras kepala. Desa tidak butuh pahlawan, Syura, tapi butuh kenyataan!"
Kata-kata itu menusuk hatinya, mengobarkan amarah. Syura merasa ingin berteriak dan membalas, tapi ia sadar, itu hanyalah jebakan lain. Ia kembali memegang liontinnya erat-erat, membiarkan kehangatannya menenangkan amarahnya. "Ini hanya ilusi," gumamnya pada diri sendiri. "Aku tahu tujuanku."
Ia terus berjalan, mengandalkan sentuhan kakinya di tanah dan kehangatan liontin sebagai panduan. Kabut itu tidak menyerah. Ia terus mencoba menjebaknya dengan kenangan lain—suara ayahnya yang memuji keberaniannya, wajah-wajah penduduk desa yang memandangnya penuh harapan, hingga suara-suara yang meremehkannya. Syura membiarkan semua bisikan itu lewat, seperti angin yang berlalu. Ia memusatkan perhatian pada satu hal: bisikan air yang kini terasa semakin kuat, membimbingnya maju.
Setelah berjam-jam, saat kakinya sudah terasa sangat lelah dan napasnya mulai tersengal, ia merasakan perubahan. Kabut tebal itu mulai menipis. Pemandangan di sekitarnya perlahan muncul kembali. Ia melihat pohon-pohon besar, batu-batu raksasa yang tertutup lumut, dan sebuah tebing curam di kejauhan. Syura telah berhasil menembus Kabut Kesesatan.
Di depannya, terbentang jalan setapak yang terlihat jauh lebih jelas. Kabut di belakangnya masih menyelimuti jalur yang baru saja ia lewati. Di sana, ia melihat bayangan-bayangan yang menjebaknya tadi, tampak seperti asap yang menari-nari, seolah mengejek kekalahannya.
Syura tidak berhenti. Ia menoleh ke depan, menuju tebing. Di sana, bisikan air terasa begitu kuat, seolah sumbernya ada di balik tebing itu. Ia yakin, Mata Air Kedua sudah sangat dekat. Dengan semangat yang membara, ia melangkah maju, siap menghadapi tantangan berikutnya yang menantinya.