Matahari sudah tergelincir, meninggalkan bayangan panjang di antara gubuk-gubuk Desa Tirta. Muhammad Syura duduk di pinggir sungai yang sudah hampir kering, kakinya mengambang di atas kerikil-kerikil yang kini gundul. Sudah tiga bulan hujan tidak turun, dan sungai yang dulunya mengalir deras kini hanya menyisakan genangan lumpur yang pecah-pecah.
Syura adalah satu-satunya di desa itu yang masih memiliki semangat, meskipun usianya baru menginjak 17 tahun. Sejak orang tuanya meninggal dalam insiden longsor dua tahun lalu, ia hidup mandiri, mengandalkan kemampuannya yang unik. Sejak kecil, ia bisa "merasakan" air. Bukan dengan sentuhan, bukan dengan pandangan, melainkan dengan bisikan halus di dalam pikirannya. Penduduk desa menganggapnya aneh, tetapi Syura tahu bahwa bakatnya adalah anugerah.
Sore itu, kekeringan terasa semakin nyata. Para petani hanya bisa memandang ladang mereka yang menguning, sementara anak-anak tidak lagi riang bermain air di sungai. Syura memejamkan mata, mencoba berkonsentrasi. Ia mencoba merasakan bisikan sungai yang sudah lama ia kenal. Namun, yang ia rasakan hanyalah kekosongan, sebuah keheningan yang menyesakkan.
Tiba-tiba, sebuah suara parau mengagetkannya. "Masih juga kau mencari mata air, Syura?" tanya Pak Karta, tetua desa yang berambut putih dan berwajah lelah. "Mata air utama sudah kering, dan legenda Mata Air Kedua hanyalah dongeng pengantar tidur."
Syura membuka matanya. "Saya yakin Mata Air Kedua itu nyata, Pak. Saya bisa merasakannya," jawabnya dengan suara penuh keyakinan. "Bisikan itu tidak sepenuhnya hilang, hanya saja sangat lemah."
Pak Karta hanya menghela napas. "Anak muda, keinginanmu itu tidak bisa menyelamatkan kita. Kita harus mencari cara lain. Mungkin meminta bantuan desa tetangga."
Namun, Syura tahu desa tetangga juga mengalami hal serupa. Ia percaya, takdirnya adalah untuk menemukan mata air yang baru. Malam harinya, Syura kembali ke gubuknya. Di dinding, ia memandang peta lama yang ditinggalkan ayahnya. Peta itu menunjukkan jalur-jalur rahasia ke pedalaman hutan terlarang di puncak gunung. Di sana, di balik kabut tebal, terdapat tanda silang dengan tulisan samar-samar: "Mata Air Kedua."
Syura tahu risikonya. Hutan itu dikenal sebagai tempat berbahaya yang dijaga oleh makhluk-makhluk tak kasat mata. Namun, demi desanya, ia bertekad untuk memulai perjalanan esok pagi. Bisikan air yang kini samar-samar di dalam hatinya seperti memanggilnya, memberikan petunjuk yang tidak bisa ia abaikan. Dengan tekad yang bulat, Syura mulai mempersiapkan bekal seadanya. Ia tidak hanya akan mencari air, tetapi juga jawaban atas rahasia yang telah lama terkubur di dalam bisikan Tirta.