Tentu, ini dia kelanjutan cerita yang akan berfokus pada kencan pertama Y/N dan Draco, di mana Y/N menjadi "the one special girl" bagi Draco.
Satu-satunya Gadis Spesial
Setelah kejadian di kelas ramuan, hubungan Y/N dan Draco menjadi lebih dekat. Mereka sering bertemu di koridor yang sepi atau di perpustakaan, berbicara tentang hal-hal yang tidak bisa mereka ceritakan kepada orang lain. Mereka menemukan kenyamanan satu sama lain, dan bagi Draco, Y/N adalah satu-satunya orang yang melihatnya apa adanya.
Suatu sore, Draco mendekati Y/N dengan wajah gugup. "Y/N," katanya pelan. "Aku... aku mau mengajakmu ke Hogsmeade. Bukan hanya sebagai teman, tapi... sebagai kencan. Hanya kita berdua."
Y/N menatap mata Draco. Ia melihat kejujuran di sana. Ia tahu, Draco sangat peduli padanya. "Baiklah," jawab Y/N, senyum tipis di wajahnya.
Wajah Draco langsung berbinar. "Serius? Bagus! Kita... kita akan pergi ke tempat yang spesial."
Hari Hogsmeade tiba. Y/N dan Draco bertemu di pintu gerbang Hogwarts, jauh dari keramaian. Draco, yang biasanya mengenakan jubah Slytherin, hari itu mengenakan jaket kulit hitam yang membuatnya terlihat lebih santai. Y/N memakai jubah Ravenclaw-nya, tetapi rambutnya yang panjang digelung ke atas, menampilkan lehernya yang jenjang.
Mereka berjalan di sepanjang jalanan Hogsmeade yang ramai. Di sana, mereka melihat Harry, Ron, dan Hermione. Harry terlihat sedikit cemberut, sementara Ron terus berbisik-bisik pada Harry. Hermione hanya tersenyum pada Y/N.
"Jangan hiraukan mereka," bisik Draco, menggenggam tangan Y/N. "Hanya ada kita."
Draco membawa Y/N ke sebuah kafe kecil yang tersembunyi, yang tidak diketahui banyak orang. Di dalam, suasananya hangat dan nyaman. Mereka duduk di sudut, jauh dari keramaian.
"Aku sering datang ke sini saat aku butuh ketenangan," kata Draco. "Ayahku tidak tahu tempat ini."
"Ini tempat yang bagus," jawab Y/N.
Mereka memesan Butterbeer dan mengobrol tentang banyak hal. Draco, yang biasanya sombong dan angkuh, hari itu terlihat berbeda. Ia terlihat santai, tenang, dan jujur. Ia menceritakan tentang masa kecilnya, tentang tekanan yang ia rasakan sebagai Malfoy, dan tentang impiannya yang sebenarnya, yang jauh dari ekspektasi ayahnya.
Y/N mendengarkan dengan sabar. Ia merasa bahwa ia akhirnya melihat Draco yang sebenarnya. Ia melihat Draco yang kesepian, yang hanya butuh seseorang untuk mengerti dirinya.
"Aku selalu merasa sendirian," bisik Draco. "Bahkan ketika aku dikelilingi teman-temanku, aku merasa tidak ada yang benar-benar mengerti aku. Mereka hanya mengagumiku karena nama Malfoy, tapi tidak ada yang benar-benar peduli padaku."
Y/N mengambil tangan Draco dan menggenggamnya. "Aku peduli, Draco. Aku mengerti perasaan itu."
Mata Draco berkaca-kaca. "Kau... kau adalah satu-satunya, Y/N. Kau berbeda dari semua gadis yang aku kenal. Kau tidak peduli dengan statusku, atau kekuatanku. Kau hanya... melihat diriku yang sebenarnya."
"Itu karena aku juga tahu bagaimana rasanya," bisik Y/N. "Bagaimana rasanya tidak ada yang mengerti dirimu."
Mereka terdiam, hanya saling menatap. Di mata Draco, Y/N bukan hanya gadis yang ia sukai. Y/N adalah jiwanya yang lain, seseorang yang bisa ia andalkan, seseorang yang bisa ia percayai.
Setelah minum Butterbeer, mereka berjalan-jalan di sepanjang jalanan Hogsmeade. Saat hari mulai gelap, mereka kembali ke Hogwarts. Di pintu gerbang, mereka berhenti.
Draco menatap Y/N. "Y/N, aku... aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi... aku ingin kau tahu, kalau kau adalah satu-satunya gadis spesial bagiku. Kau adalah satu-satunya yang membuatku merasa... bebas."
Y/N tersenyum, lalu ia mencium pipi Draco. "Terima kasih, Draco. Kau juga."
Draco membalas senyuman itu. "Sampai nanti, Y/N."
Y/N mengangguk, lalu mereka berjalan kembali ke asrama masing-masing. Di dalam hati Y/N, ia merasa hangat. Ia tahu, di dunia yang gelap ini, ia memiliki setidaknya satu cahaya, dan cahaya itu adalah Draco.
Tentu, ini dia kelanjutan cerita yang akan menggambarkan momen dramatis di mana Harry menyatakan perasaannya pada Y/N.
Pernyataan di Tengah Keramaian
Beberapa hari setelah kencan Y/N dan Draco, Y/N merasa lebih ringan. Ia tidak lagi merasa sendiri, dan ia merasa bahagia. Namun, ia tahu, hubungan rahasia ini tidak akan bertahan lama.
Suatu sore, Y/N sedang berjalan di koridor yang ramai, dikelilingi oleh siswa yang pulang dari kelas. Tiba-tiba, suara keras memanggil namanya.
"Y/N!"
Y/N menoleh dan melihat Harry Potter berjalan cepat ke arahnya. Wajahnya terlihat gugup, tapi juga penuh tekad.
"Ada apa, Harry?" tanya Y/N, bingung.
Harry tidak menjawab. Ia berhenti tepat di depan Y/N, dan semua orang di sekitar mereka berhenti dan menatap mereka.
"Y/N," kata Harry, suaranya lantang. "Aku... aku tidak bisa menyembunyikannya lagi."
Y/N mengerutkan dahinya. "Menyembunyikan apa?"
"Perasaanku padamu," kata Harry, suaranya bergetar. "Aku menyukaimu, Y/N. Aku menyukaimu sejak pertama kali kita bertemu. Aku menyukai kecerdasanmu, keberanianmu, dan hatimu yang baik. Aku tidak peduli siapa ayahmu. Aku hanya peduli padamu."
Semua orang di koridor terdiam. Bisik-bisik mulai terdengar, tapi Harry mengabaikannya. Ia hanya menatap Y/N, matanya dipenuhi kejujuran dan ketulusan.
"Harry... aku..."
"Aku tahu, Y/N," potong Harry. "Aku tahu kau tidak ingin terburu-buru. Tapi aku tidak bisa menahan diri lagi. Aku... aku ingin bersamamu. Aku ingin menjadi orang yang melindungimu. Aku ingin menjadi orang yang membuatmu bahagia."
Y/N merasa hatinya berdebar kencang. Ia melihat wajah Harry yang tulus, dan ia tahu, Harry benar-benar serius. Ia melihat mata Harry yang penuh cinta, dan ia merasa bingung. Ia menyukai Harry, tapi ia juga... menyukai Draco.
Tiba-tiba, Y/N melihat Draco Malfoy di kejauhan, di ujung koridor. Wajahnya terlihat marah, tapi juga terluka. Ia melihat Draco mengepalkan tangannya.
Y/N menatap Harry, lalu menatap Draco. Ia merasa terjebak di antara dua dunia, dan ia tidak tahu harus memilih yang mana.
"Harry, aku... aku tidak bisa," bisik Y/N, suaranya bergetar.
Harry mengira Y/N menolaknya. Wajahnya terlihat kecewa. "Tidak apa-apa, Y/N," katanya, suaranya pelan. "Aku mengerti."
Saat Harry hendak berbalik, Y/N mengambil keputusan. Ia tidak bisa menyakiti Harry, yang sudah sangat tulus padanya. Ia juga tidak bisa menyakiti Draco. Tapi... ia harus melakukan sesuatu.
Y/N mengambil tangan Harry, dan ia memegang tangan Harry dengan erat. "Harry, aku... aku juga menyukaimu," bisiknya. "Tapi... ini tidak semudah itu."
Harry terkejut, matanya membelalak. Ia menatap Y/N, lalu ia tersenyum. Senyum itu adalah senyum paling tulus yang pernah Y/N lihat dari Harry. Ia tidak peduli dengan orang-orang yang menonton mereka. Ia hanya peduli pada Y/N.
Harry mendekatkan wajahnya, dan ia mencium Y/N. Ciuman itu tidak terburu-buru, penuh dengan kelembutan, dan ketulusan. Itu adalah ciuman yang melegakan, yang menyatukan dua jiwa yang sama-sama berani. Mereka tidak peduli dengan orang-orang di sekitar mereka. Mereka hanya peduli pada satu sama lain.
Saat ciuman itu berakhir, mereka saling menatap dalam diam. Y/N melihat wajah Harry yang bahagia, dan ia merasa senang. Ia melihat Harry yang tulus, dan ia tahu, ia telah membuat keputusan yang sulit, tapi ia tidak menyesal.
Namun, di kejauhan, Draco hanya menatap mereka dengan tatapan terluka. Hatinya hancur berkeping-keping. Ia melihat Y/N mencium Harry, dan ia tahu, ia telah kalah. Ia berbalik, dan ia pergi.
Y/N melihat Draco pergi, dan ia merasa bersalah. Ia tidak ingin menyakiti Draco, tapi ia juga tidak bisa menolak Harry. Y/N tahu, ia harus berbicara dengan Draco. Tapi, untuk sekarang, ia hanya ingin menikmati momen ini. Momen di mana ia dan Harry, di tengah keramaian, hanya peduli pada satu sama lain.
Tentu, ini dia kelanjutan cerita yang akan menggambarkan pertarungan sengit antara Harry dan Draco.
Pertarungan di Lapangan Quidditch
Kabar tentang Harry dan Y/N menyebar dengan cepat di seluruh Hogwarts. Draco Malfoy, yang patah hati, menjadi lebih dingin dan lebih kejam dari sebelumnya. Ia tidak lagi mencoba mendekati Y/N, tetapi ia sering menatapnya dari jauh dengan tatapan terluka dan marah.
Suatu sore, pertandingan Quidditch antara Gryffindor dan Slytherin berlangsung. Suasana di lapangan sangat tegang. Para pemain dari kedua tim bertanding dengan sengit, dan Harry Potter, sang Seeker Gryffindor, dan Draco Malfoy, sang Seeker Slytherin, tampak bertekad untuk menang.
Di tribun, Y/N duduk bersama Hermione. Ia melihat Harry dan Draco yang saling memelototi. Y/N merasa ada yang tidak beres. Ia bisa merasakan aura permusuhan yang kuat di antara mereka berdua.
"Kenapa mereka terlihat begitu marah?" tanya Hermione, cemas.
"Aku tidak tahu," jawab Y/N, tapi ia tahu. Mereka bertengkar karena dirinya.
Permainan berlangsung. Harry dan Draco saling kejar, berusaha menemukan Snitch. Mereka saling berteriak, saling mengejek.
"Potter! Kau pikir kau bisa merebut segalanya dariku?" teriak Draco, suaranya dipenuhi amarah.
"Apa yang kau bicarakan, Malfoy?" teriak Harry kembali.
"Kau tahu apa! Y/N! Kau pikir kau bisa menciumnya di depan semua orang dan tidak ada konsekuensinya?" balas Draco, mengayunkan sapunya ke arah Harry.
Harry berhasil menghindar. "Itu bukan urusanmu, Malfoy!"
"Itu urusanku! Dia adalah gadis yang aku suka! Dia seharusnya bersamaku!" teriak Draco, wajahnya memerah.
Harry menatap Draco. "Dia bukan milikmu, Malfoy! Dia punya pilihannya sendiri!"
Mereka berdua lalu meninggalkan permainan dan mulai saling bertarung. Harry mengayunkan sapunya ke arah Draco, dan Draco membalasnya. Mereka tidak peduli dengan Snitch, atau dengan permainan. Mereka hanya ingin saling melukai.
Penonton mulai berteriak panik. Professor McGonagall berteriak, "Malfoy! Potter! Hentikan ini!"
Tapi mereka tidak mendengarkan. Mereka terus berkelahi, meluncur di udara, saling memukul dan menendang. Mereka berdua jatuh dari sapu mereka, dan mendarat di lapangan dengan suara keras.
Y/N, yang melihat itu, langsung berlari ke lapangan. Hermione dan Ron mengikutinya. Mereka melihat Harry dan Draco saling memukul, wajah mereka babak belur, hidung mereka berdarah.
"Hentikan!" teriak Y/N, suaranya bergetar.
Harry dan Draco, yang mendengarnya, berhenti. Mereka saling menatap, lalu menatap Y/N. Mereka melihat amarah di mata Y/N.
"Kalian bodoh! Kalian bertengkar seperti anak kecil hanya karena aku?" teriak Y/N. "Kalian tidak peduli dengan diri kalian sendiri? Kalian tidak peduli dengan tim kalian?"
Harry dan Draco tidak bisa menjawab. Mereka hanya menunduk, malu.
Professor McGonagall datang, dengan wajahnya yang marah. "Potter! Malfoy! Kalian berdua akan mendapatkan detensi selama sebulan! Dan kalian tidak akan bermain Quidditch lagi sampai aku mengizinkannya!"
Harry dan Draco hanya mengangguk. Mereka terlalu lelah dan malu untuk membalas. Mereka berdua lalu dibawa ke Ruang Perawatan.
Y/N berdiri di lapangan, menatap ke arah tempat mereka bertarung. Ia merasa bersalah. Ia merasa, ia adalah penyebab dari semua ini.
Hermione mendekatinya dan memeluknya. "Bukan salahmu, Y/N," bisik Hermione. "Mereka yang memilih untuk bertindak bodoh."
Y/N hanya mengangguk, tapi ia tahu, di dalam hatinya, ia merasa bersalah. Ia tahu, ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa membiarkan Harry dan Draco bertarung seperti ini. Ia harus membuat mereka berbaikan, atau setidaknya, berdamai.
Tentu, ini dia kelanjutan cerita yang akan membawa Y/N ke toko lelucon Weasley dan mendapatkan motivasi yang ia butuhkan.
Motivasi dari Dua Bersaudara
Beberapa hari setelah pertarungan di lapangan Quidditch, Y/N merasa sangat tertekan. Ia menyalahkan dirinya sendiri atas pertengkaran Harry dan Draco. Rasanya seperti ia membawa kehancuran ke mana pun ia pergi. Dalam kegundahan itu, ia teringat surat dari Fred dan George. Ia butuh sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan Hogwarts dan drama percintaannya.
Pada kunjungan ke Hogsmeade berikutnya, Y/N memutuskan untuk pergi ke Diagon Alley. Ia menggunakan Jaringan Floo dari pub Three Broomsticks dan mendarat di toko baru yang cerah dan penuh warna: Sihir Sakti Weasley.
Pintu toko itu terbuka dengan sendirinya, dan Y/N masuk. Di dalam, tokonya penuh dengan barang-barang lucu dan aneh yang bertebaran di mana-mana. Ada kuali yang tertawa, permen yang membuat orang muntah, dan tongkat sihir palsu yang mengeluarkan bunga-bunga. Di tengah kekacauan itu, berdiri Fred dan George, dengan senyum lebar di wajah mereka.
"Y/N!" teriak Fred saat melihatnya. "Akhirnya kau datang!"
"Lihat! Dia benar-benar datang!" tambah George, memeluk Y/N erat.
Mereka berdua lalu membawa Y/N ke belakang toko, di mana mereka membuat semua produk mereka. "Jadi, ada apa? Kenapa kau terlihat murung?" tanya George.
Y/N menghela napas. "Kalian benar. Aku sedang tidak baik-baik saja." Y/N lalu menceritakan semuanya: pertengkaran Harry dan Draco, perasaan bersalahnya, dan ketakutannya kalau dia adalah penyebab dari semua masalah.
Fred dan George mendengarkan dengan serius. Senyum di wajah mereka perlahan menghilang.
"Y/N," kata Fred, suaranya lembut. "Itu bukan salahmu. Kau tidak bisa mengendalikan perasaan orang lain."
"Mereka yang bodoh," tambah George. "Mereka yang memilih untuk bertindak konyol. Bukan kau yang menyuruh mereka bertengkar."
"Tapi... aku merasa seperti aku membawa masalah ke mana-mana," bisik Y/N, matanya berkaca-kaca. "Ayahku ingin aku menjadi sepertinya. Aku harus berhadapan dengan semua orang yang ingin mengendalikan hidupku. Dan sekarang... aku sudah menyakiti orang-orang yang aku pedulikan."
Fred dan George saling pandang, lalu Fred mengambil sebuah kotak kecil. "Y/N," katanya, menyodorkan kotak itu. "Ini hadiah untukmu."
Y/N membuka kotak itu. Di dalamnya ada permen berbentuk permen karet yang meledak, sama seperti yang Harry buat di kelas ramuan.
"Itu hanya permen biasa," kata Y/N, bingung.
"Bukan," jawab George. "Itu permen yang kami buat. Tapi rasanya... tidak seperti yang kau duga. Ini hanya permen yang meledak."
Fred tersenyum. "Hidup itu seperti permen ini, Y/N. Kadang, kau tidak tahu apa yang akan terjadi. Kau akan mendapatkan rasa yang tidak kau duga. Kadang, kau akan meledak. Tapi kau tidak bisa menyalahkan dirimu sendiri karena itu. Kau hanya harus menikmatinya."
"Dan kau harus tahu, kalau kau tidak sendiri," tambah George. "Kami ada di sini untukmu. Harry ada di sana. Hermione. Ron. Kau punya orang-orang yang mencintaimu, Y/N. Jangan biarkan orang-orang jahat merenggut kebahagiaanmu."
Y/N menatap mereka, lalu ia tersenyum. Mereka benar. Ia tidak sendiri. Ia tidak harus membiarkan orang lain mengendalikan hidupnya. Ia harus berani.
"Terima kasih," bisik Y/N. "Kalian berdua... kalian luar biasa."
"Kami tahu," kata Fred, menyeringai. "Sekarang, pergilah. Pergilah dan hadapi mereka. Jangan biarkan mereka bertengkar lagi. Bicarakan semuanya."
Y/N mengangguk. Ia memeluk mereka berdua erat-erat, lalu ia mengambil jalan Floo kembali ke Hogwarts.
Saat ia sampai di sana, ia langsung pergi ke Ruang Perawatan. Ia melihat Harry dan Draco duduk di tempat tidur yang berbeda, wajah mereka masih babak belur, tapi mereka tidak berbicara.
Y/N berjalan ke arah mereka. Ia menatap mereka berdua, lalu ia menghela napas. "Kalian berdua," katanya, suaranya tenang. "Berhenti bertingkah seperti anak kecil. Kalian berdua... harus bicara."
Harry dan Draco saling menatap, lalu mereka menatap Y/N. Mereka tahu Y/N benar. Dan mereka tahu, mereka harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki semuanya.