Y/N terbangun dengan napas terengah-engah. Keringat dingin membasahi dahinya. Ia baru saja bermimpi buruk. Dalam mimpinya, ia melihat wajah-wajah orang yang ia sayangi—Hermione, Harry, si kembar Weasley—menoleh dan menatapnya dengan kebencian. Di belakang mereka, berdiri ayahnya, tersenyum sinis.
Mimpi itu begitu nyata. Perkataan ayahnya terus terngiang di kepalanya: "Mereka akan mengkhianatimu." Perasaan bersalah yang luar biasa membanjiri dirinya. Y/N merasa seperti penipu. Ia takut, suatu hari nanti, teman-temannya akan menemukan siapa ayahnya, dan mereka akan berbalik membencinya.
Dengan kepala yang terasa berat, Y/N mencoba bangkit. Ia melihat jam dinding, masih pagi. Floki, musangnya, melompat ke pundaknya dan menjilat pipinya, seolah mencoba menghiburnya.
"Aku baik-baik saja, Floki," bisik Y/N, suaranya serak. "Hanya... perasaan yang tidak enak."
Y/N memutuskan untuk pergi ke Aula Besar untuk sarapan. Setidaknya di sana ia bisa melihat teman-temannya dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Namun, saat ia berjalan menuju pintu masuk Aula Besar, sebuah tangan tiba-tiba menariknya ke sebuah ceruk di koridor yang sepi. Y/N terkejut dan siap mengeluarkan tongkatnya, tetapi ia melihat wajah orang yang menariknya. Itu Draco Malfoy.
Wajahnya pucat pasi. Napasnya terengah-engah, dan matanya melebar karena panik. Ia memegang erat tangan Y/N, tubuhnya gemetar hebat.
"Draco?" Y/N bertanya, terkejut. "Kau kenapa?"
Draco tidak menjawab. Ia hanya terus bernapas dengan cepat, seolah-olah dia akan pingsan. Y/N, yang melihat kondisi Draco, segera meletakkan tongkatnya. Ia pernah melihat ini sebelumnya pada Harry, dan ia tahu ini adalah serangan panik.
"Dengar aku, Draco," kata Y/N dengan suara tenang, memegang kedua pipi Draco agar lelaki itu menatapnya. "Lihat aku. Ikuti napasku."
Y/N menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Draco mencoba mengikutinya. Napasnya masih cepat, tetapi perlahan mulai melambat.
"Bagus," kata Y/N, masih dengan suara yang tenang. "Satu lagi. Tarik napas."
Draco mengangguk, lalu menarik napas dalam. Setelah napasnya kembali normal, Draco menghela napas, tubuhnya merosot, dan ia bersandar di dinding. Ia tampak lelah dan rapuh.
Y/N tanpa ragu memeluk Draco. Ia memeluknya dengan erat, seperti seorang kakak kepada adiknya. Draco, yang terkejut, membalas pelukan Y/N. Ia menenggelamkan kepalanya di bahu Y/N, dan untuk pertama kalinya, ia membiarkan dirinya terlihat lemah.
"Terima kasih," bisik Draco, suaranya serak.
Y/N tidak menjawab, hanya mengelus punggung Draco dengan lembut. Setelah beberapa saat, Draco melepaskan pelukan itu, tapi ia masih memegang tangan Y/N.
"Tadi malam... Ayahku memberitahuku sesuatu," kata Draco, suaranya pelan. "Dia... Dia bilang aku akan menerima Tanda Kegelapan."
Y/N terdiam. Ia tahu apa artinya itu. Itu berarti Draco akan menjadi Pelahap Maut.
"Aku... aku tidak mau," bisik Draco, matanya berkaca-kaca. "Aku tidak ingin menjadi sepertinya. Aku tidak ingin menjadi pembunuh. Tapi... aku tidak punya pilihan."
"Kenapa kau tidak bilang tidak?" tanya Y/N.
"Aku tidak bisa! Kau tidak mengerti, Y/N!" Draco hampir berteriak. "Aku tidak sekuat dirimu! Aku tidak punya pilihan! Aku lahir untuk ini! Aku hanya... ingin menjadi diriku sendiri! Tapi aku tidak bisa!"
Y/N melihat kesedihan yang dalam di mata Draco. Ia mengerti. Draco tidak benar-benar jahat, ia hanya korban dari keadaan. Sama seperti dirinya sendiri.
Y/N tersenyum tipis. "Aku mengerti, Draco. Aku tahu. Kau tidak sendiri."
Draco menatap Y/N, bingung.
"Ayahku... dia juga bilang aku akan menjadi penerusnya," Y/N mengakui dengan jujur. "Dia ingin aku menjadi seperti dia. Tapi aku menolaknya."
Draco terkejut. Ia tidak menyangka Y/N akan memberitahunya hal itu. Ia menatap Y/N dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kekaguman, tapi juga kesedihan yang sama.
"Kau berani," bisik Draco. "Aku... tidak bisa."
"Kau bisa. Kau hanya belum menemukan kekuatanmu," kata Y/N. Ia mengambil tangan Draco dan menggenggamnya erat. "Tapi kita tidak harus menjadi apa yang mereka inginkan. Kita bisa menemukan jalan kita sendiri."
Draco menatap tangannya yang digenggam Y/N, lalu menatap Y/N. Ia merasa lega. Ia tidak sendirian. Ia merasa seperti ada seseorang yang mengerti, seseorang yang melihat Draco yang rapuh di balik topeng sombongnya.
"Aku..." Draco tidak bisa berkata-kata. Ia hanya mengangguk, lalu tersenyum, senyum yang tulus, yang tidak pernah Y/N lihat sebelumnya.
Mereka tetap di sana, berpegangan tangan dalam diam, seolah-olah hanya mereka berdua yang ada di dunia ini. Pagi itu, di tengah kegelapan dan keputusasaan, persahabatan yang tak terduga mulai tumbuh.
Tentu, ini dia kelanjutan cerita Y/N dan Draco yang akan mengarah pada momen intim.
Menenangkan Diri di Atas Menara Astronomi
Setelah percakapan serius mereka di koridor, Y/N tahu Draco butuh waktu untuk menenangkan diri. Ia tidak bisa membayangkan tekanan yang dirasakan Draco, yang dipaksa ayahnya untuk bergabung dengan Pelahap Maut. Perasaan Y/N sendiri campur aduk. Ia merasa bersalah karena telah membuat Draco melihat kerentanannya, tetapi di sisi lain, ia juga merasa lega. Draco adalah satu-satunya orang yang tahu rahasianya, dan Y/N juga orang yang mengetahui rahasia Draco.
Y/N menatap Draco. "Ayo ikut aku," katanya lembut.
Draco mengangguk, masih memegang tangan Y/N dengan erat. Y/N membawa Draco melewati koridor-koridor yang sepi, menaiki tangga spiral, dan akhirnya, mereka sampai di puncak Menara Astronomi. Angin dingin menerpa wajah mereka. Di bawah sana, terlihat pemandangan Hogwarts dan Danau Hitam yang berkilauan di bawah sinar bulan.
"Ini tempat kesukaanku," bisik Y/N. "Kalau aku merasa sesak, aku selalu datang ke sini."
Draco menatap pemandangan itu. Matanya masih terlihat sedih, tetapi wajahnya perlahan-lahan mulai tenang. "Pemandangannya... indah," bisiknya.
Mereka duduk di tepian menara, kaki mereka menggantung di udara. Y/N melepaskan tangannya dari Draco, tetapi Draco langsung meraihnya lagi. Mereka duduk dalam diam selama beberapa menit, hanya suara angin yang berbisik yang terdengar.
"Aku takut, Y/N," kata Draco tiba-tiba, suaranya bergetar. "Aku takut akan mengecewakan ayahku, tapi aku juga takut menjadi seperti dia."
Y/N menoleh dan menatap Draco. "Aku tahu. Perasaan itu sangat berat. Tapi... jangan biarkan mereka merenggut dirimu. Kau adalah Draco. Bukan Pelahap Maut. Bukan anak Lucius. Kau adalah dirimu sendiri."
"Bagaimana kau bisa begitu kuat?" tanya Draco, menatap Y/N dengan tatapan penuh kekaguman.
Y/N tersenyum tipis. "Aku tidak kuat. Aku hanya... aku tidak punya pilihan lain. Aku harus memilih jalan yang benar, jalan yang bisa aku hidupi tanpa harus membenci diriku sendiri."
Draco menatap Y/N, dan ia menyadari betapa dalam perasaannya pada gadis ini. Ia bukan hanya tertarik pada kecantikannya, tetapi juga pada kekuatan, keberanian, dan hatinya yang rapuh. Ia menyadari, di balik sifat dingin Y/N, ada jiwa yang luar biasa.
Draco mendekat, dan ia meletakkan tangannya di pipi Y/N. Matanya mencari persetujuan Y/N. Y/N tidak menolak. Ia hanya menutup matanya, merasakan sentuhan Draco yang lembut.
"Y/N," bisik Draco, suaranya serak.
Y/N membuka matanya. Ia melihat kesedihan dan kerentanan di mata Draco, dan ia merasakan perasaan yang kuat yang tidak bisa ia jelaskan. Itu bukan hanya simpati. Ada sesuatu yang lain, yang jauh lebih dalam.
Draco mendekatkan wajahnya, dan Y/N balas mendekat. Bibir mereka bersentuhan. Ciuman itu tidak terburu-buru, penuh dengan kelembutan, dan kerentanan. Itu adalah ciuman yang melegakan, yang menyatukan dua jiwa yang sama-sama kesepian. Mereka tidak peduli dengan siapa mereka, atau siapa ayah mereka. Yang mereka pedulikan hanyalah satu sama lain.
Ketika ciuman itu berakhir, mereka saling menatap dalam diam. Draco melepaskan tangannya dari pipi Y/N, tetapi ia masih memegang tangan Y/N dengan erat.
"Aku... aku minta maaf," kata Draco.
Y/N menggelengkan kepalanya, senyum tipis di wajahnya. "Tidak. Terima kasih."
Malam itu, di atas Menara Astronomi, Y/N dan Draco menemukan kedamaian dalam kebersamaan mereka. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi mereka tahu satu hal: mereka tidak sendirian. Mereka memiliki satu sama lain. Dan itu sudah cukup.