“Andi, giliran kamu membacakan puisi di depan kelas!” ucap Bu Silvi, guru bahasa Indonesia.
Gawat, aku belum terlalu hafal puisinya. Asal aja dah.
“Baik, Bu.”
Permata itu merah
Merah itu Ruby
Ruby itu hitam
Arawanailapeza
“Bicara apa kamu?” tanya Bu Silvi. Aku tidak hafal dengan puisi yang kubuat, jadi kuberkata asal. Kata terakhir itu muncul tiba-tiba di kepala.
“Maaf, Bu. Saya lupa puisinya.”
Tiba-tiba suara seperti hujan datang menghampiri telinga.
“Bu, hujan ya?” tanyaku.
“Hujan dari mana? Terang begini.”
“Tapi kok saya dengar suara hujan, makin deras loh, Bu.” Lantas aku mendengar ibu guru berteriak panik melihatku. Aku seperti terhisap dalam sebuah lubang berwarna merah, lalu kuning, lalu ungu, dan terdamparlah aku di sebuah hutan.
Seorang wanita bersayap datang menghampiri. Telinganya mirip dengan ras elf atau mungkin memang dia elf?
“Kamu membuka portal ke Dunia Puisi dengan membaca mantra perpindahan. Selamat datang di Dunia Puisi,” ucapnya yang membuatku bingung.
“Dunia Puisi?” tanyaku heran.
“Tidak ada yang perlu kamu bingungkan, di sini kamu bisa mendapatkan apa pun hanya dengan berpuisi,” jawabnya.
“Aku lapar,” ucapku. Dia pun membacakan sebuah puisi, yang lebih mirip mantra.
Di antara langit-langit yang menghijau
Makan minum turun di dataran hijau
Di dekat kami, di dekat kami
Makanan minuman itu datang dengan nikmat.
Tiba-tiba cahaya datang di hadapan kami. Makanan dan minuman banyak tersaji. Aku tertegun. Kelaparan ini memburu. Aku langsung melahap makanan dan minuman itu.
Elf itu tertawa. “Kamu lucu sekali makannya. Oh iya, kenalkan, aku Efelia. Kamu siapa?”
“Ah, nama yang indah. Aku Andi.” Aku beralih melihat Efelia dari atas sampai bawah. Dia cantik dan bertubuh ideal. Tidak, tidak, tidak. Apa yang aku pikirkan?
“Andi ya, nama yang unik,” ucapnya.
“Di duniaku, nama Andi banyak yang pakai,” jawabku.
“Ah, begitu ya. Di dunia ini rata-rata dominan ras elf, yang mencintai sastra dan sihir.”
“Apa aku bisa melakukan sihir dengan puisiku?”
“Tentu bisa, coba saja.” Efelia tersenyum.
“Baiklah, aku coba.”
Peri itu tersenyum
Senyumnya penuh rasa
Biarkan aku memilikinya
Mungkinkah, dia jatuh cinta?
Biarkan dia jatuh cinta
Pada manusia
Efelia terdiam cukup lama. Dia seperti terhipnotis. “A … Andi, aku suka, ka … kambing!”
“Eh, kok kambing?” tanyaku.
“Kamu enggak bisa menggunakan sihir itu padaku. Aku punya penangkalnya.” Efelia tertawa terbahak-bahak.
“Ah, enggak asyik!” ucapku.
“Kalau kamu mau membuatku jatuh cinta, usaha dong!” Dia tertawa kembali.
“Ya sudah, gini saja. Mau kencan denganku?”
Dia terdiam kembali. Tentu saja aku tidak merasa itu sebuah puisi dan pastinya itu bukan sihir tapi Efelia terdiam.
“Kau sungguh mengajakku berkencan?” tanyanya.
“Tentu saja,” jawabku.
“Mau ke mana kita?” Efelia kegirangan tiba-tiba.
“Ini wilayahmu, kamu yang menentukan,” jawabku.
Kami pun berjalan-jalan, berkeliling Dunia Puisi ini. Bertemu ras elf yang lain. Aku bahkan bertemu dengan kedua orang tua Efelia. Celaka! Harusnya bawa martabak. Untung mereka tidak paham apa itu martabak.
Budaya kami berbeda, buah tangan ras elf rupanya sebuah bunga yang tumbuh di gunung Radolfen. Bunga indah berwarna ungu kemerahan.
“Kenapa kamu mau kencan denganku tapi kamu menolak pas aku sihir?”
“Aku mau kencan dengan kesadaran penuh, bukan dihipnotis!”
“Benar juga sih,” ucapku.