ini dia kelanjutan cerita yang akan mengawali persahabatan antara Y/N dan Hermione Granger.
Awal Mula Persahabatan: Perpustakaan dan Tugas Kelompok
Satu bulan telah berlalu sejak insiden di kelas ramuan. Y/N semakin nyaman dengan rutinitasnya di Hogwarts, meskipun ia masih tetap menyendiri. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya di perpustakaan, tempat favoritnya. Suatu sore, ia sedang duduk di sudut terpencil, mencoba menyelesaikan esai Rumus Sihir yang rumit.
"Kenapa buku ini enggak jelas banget, sih?" gumamnya pelan, frustasi.
Tiba-tiba, sebuah suara yang familier menjawab dari belakang rak buku. "Mungkin kau salah baca buku, itu untuk kelas tahun kedua."
Y/N menoleh dan melihat Hermione Granger, gadis Gryffindor yang sering terlihat bersama Harry dan Ron. Hermione, yang membawa tumpukan buku, berjalan mendekat. "Esai tentang Rumus Sihir? Aku juga mengerjakannya," katanya sambil meletakkan buku-bukunya di meja Y/N.
"Aku tahu," jawab Y/N datar. "Aku dengar namamu sering disebut di kelas."
Hermione tersenyum kecil. "Kebanyakan orang bilang aku sok tahu. Tapi aku hanya suka belajar."
"Sama," Y/N mengakui, tanpa menoleh.
Hermione duduk di seberang Y/N. "Kalau boleh tahu, kau pakai buku yang mana?"
Y/N menunjuk bukunya. Hermione melihatnya, lalu mengernyitkan dahi. "Oh, itu buku yang salah. Ini buku yang benar," kata Hermione, menyodorkan buku lain dari tumpukannya. "Professor Flitwick memberikan petunjuk, tapi dia tidak mengatakan bahwa hanya ada satu buku yang benar-benar bisa dipakai."
Y/N menatap buku itu, lalu menatap Hermione. "Kenapa kau memberitahuku?"
"Karena... kau terlihat bingung," jawab Hermione. "Lagipula, kita kan satu sekolah. Kita harus saling membantu."
Y/N mengambil buku itu dan membacanya. Benar saja, buku itu jauh lebih jelas. Ia merasa sedikit bersalah karena telah bersikap dingin. "Terima kasih," katanya, suaranya sedikit lebih lembut dari biasanya.
"Sama-sama," jawab Hermione.
Mereka berdua lalu bekerja dalam diam, sesekali saling meminjam bahan atau buku. Y/N menyadari betapa cekatan Hermione dalam belajar. Ia tidak hanya pintar, tapi juga sangat metodis dan terstruktur. Ia bahkan membuat catatan tambahan di pinggir buku-bukunya. Y/N pun mulai merasa kagum.
Tiba-tiba, Hermione berbicara lagi. "Boleh aku lihat catatanmu?"
Y/N mengangguk dan menyodorkan catatannya. Hermione membaca catatan Y/N dengan teliti. "Ini bagus sekali! Kau punya pemikiran yang sangat analitis. Kau bisa melihat hubungan antar topik yang tidak terpikirkan olehku."
Pujian itu membuat Y/N sedikit terkejut. Ia tidak terbiasa dipuji. "Aku hanya... menulis apa yang aku pikirkan."
"Itulah keistimewaanmu. Aku cenderung terpaku pada aturan," kata Hermione. "Kalau kau tidak keberatan, bagaimana kalau kita mengerjakan tugas ini bersama-sama? Aku akan membantumu memahami aturannya, dan kau bisa membantuku melihat dari sudut pandang yang berbeda."
Y/N menatap Hermione. Gadis ini tidak takut padanya. Ia juga tidak menilainya, atau membicarakan nama ayahnya. Dia hanya melihat Y/N sebagai teman belajar yang potensial.
"Baiklah," jawab Y/N, senyum tipis akhirnya muncul di wajahnya.
Hermione tersenyum lebar. "Bagus! Jadi, kita mulai dari mana?"
Floki, yang sejak tadi tidur di tas Y/N, terbangun dan melompat ke meja. Ia mengendus buku Hermione, seolah memberikan persetujuan.
Di luar perpustakaan, Draco Malfoy melihat mereka berdua dari jauh. "Lihat, Crabbe. Gadis Ravenclaw itu... dia malah berteman dengan Granger si sok tahu," bisiknya dengan nada jijik. "Dia itu aneh."
Sementara itu, di sebuah koridor, Harry dan Ron melihat Hermione bersama Y/N. "Tuh kan, Ron. Aku bilang juga apa," kata Harry. "Dia itu enggak jahat. Aku lihat kok, dia senyum tadi."
Ron mengernyitkan dahi. "Senyum? Lo yakin, Harry? Y/N Riddle senyum?"
Harry mengangguk, lalu tersenyum. "Yakin. Dan menurutku, dia itu keren."
Malam itu, di dalam perpustakaan, Y/N dan Hermione terus bekerja. Mereka tidak menyadari, di antara semua ketegangan dan drama di Hogwarts, persahabatan yang tak terduga baru saja dimulai, berkat sebuah esai yang salah. Y/N akhirnya menemukan seseorang yang bisa ia ajak bicara tentang hal-hal yang ia pedulikan, seseorang yang tidak peduli siapa ayahnya, tetapi peduli siapa dirinya.