Aku tidak pernah tahu bagaimana cara hati bekerja. Ia bisa jatuh, hancur, lalu tetap berdetak untuk orang yang sama—meski orang itu sudah lama pergi. Namaku Lestari, dan sampai hari ini, aku masih mencintai Miky. Mungkin selamanya.
Kami bertemu di sebuah sore yang sederhana. Aku sedang duduk di kantin kampus, sibuk membaca buku, ketika seorang pria dengan senyum lebar meminjam pulpenku. Dari situ, entah bagaimana, kami mulai sering bertemu. Dia punya cara bicara yang santai tapi dalam, membuatku betah berlama-lama mendengarkan. Miky adalah mahasiswa tingkat akhir yang sedang sibuk mengurus skripsi, sedangkan aku baru semester tiga.
Hubungan kami berkembang cepat, seperti hujan yang tiba-tiba turun di tengah musim panas. Miky selalu tahu caranya membuatku merasa istimewa. Ia menjemputku di gerbang kampus hanya untuk membawakan teh hangat saat aku flu. Ia menulis catatan kecil berisi “Jangan lupa makan” yang ia selipkan di buku kuliahku. Dan setiap malam, kami berbicara lewat telepon sampai aku tertidur.
Empat tahun kami bersama. Empat tahun penuh tawa, tangis, pertengkaran, dan rencana masa depan. Kami pernah bermimpi punya rumah kecil di pinggir kota, dengan halaman yang ditanami bunga matahari. Aku pernah membayangkan bagaimana Miky melamarku, di sebuah sore dengan langit jingga dan senyum gugup di wajahnya. Aku percaya, kami akan selamanya.
Tapi ternyata, selamanya itu rapuh.
Hari itu aku dipanggilnya ke taman kampus. Wajahnya pucat, matanya gelisah. “Tari… aku harus ngomong sesuatu,” ucapnya lirih.
“Ada apa?” tanyaku, mencoba tersenyum meski hatiku mulai diliputi rasa takut yang aneh.
“Aku… harus menikah. Orang tua sudah menjodohkan aku sama anak sahabatnya. Aku nggak bisa nolak.”
Kalimat itu menusukku lebih tajam dari apa pun yang pernah kurasakan. “Kita sudah empat tahun, Mik… kenapa baru sekarang?”
Ia menunduk. “Aku sudah coba lawan, Tari. Tapi… aku nggak mau bikin orang tua kecewa. Aku anak laki-laki satu-satunya.”
Air mataku jatuh begitu saja. Aku ingin marah, ingin berteriak, ingin memintanya tetap tinggal. Tapi aku tahu dia sudah memilih. “Jadi… ini terakhir kali kita ketemu?” tanyaku dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Dia memelukku erat. Pelukan yang terasa hangat, tapi menyakitkan. “Maaf… aku nggak pernah berhenti sayang sama kamu. Tapi aku nggak bisa.”
Setelah hari itu, hidupku seperti berjalan di atas tanah retak. Aku mencoba melanjutkan hidup, mencoba mencintai orang lain, tapi setiap kali aku melihat senyum atau mendengar suara tawa, aku mencari Miky di sana. Semua terasa hambar. Semua dibandingkan dengannya, dan semua kalah.
Tahun-tahun berlalu. Aku mendengar kabar dia menikah, lalu punya anak. Aku tersenyum pura-pura setiap kali teman lama menceritakan kehidupannya. Dalam hati, aku berdoa agar dia bahagia—meski kebahagiaannya bukan bersamaku.
Lalu suatu pagi yang dingin, kabar itu datang. Miky… meninggal dunia. Kecelakaan. Aku membacanya dari pesan singkat seorang teman lama, dan entah bagaimana, seluruh tubuhku terasa mati rasa.
Aku pergi ke pemakamannya. Berdiri di antara kerumunan orang yang berduka. Dari kejauhan, aku melihat istri dan anaknya menangis. Dan aku… hanya berdiri. Tidak ada yang tahu bahwa hatiku ikut terkubur di hari itu.
Sejak itu, setiap malam aku menatap langit dan bertanya-tanya… apakah di sana Miky mengingatku? Apakah dia tahu bahwa di dunia ini, masih ada seorang perempuan yang tak pernah berhenti mencintainya?
Entah sampai kapan aku akan begini. Mungkin seumur hidupku. Karena sebagian dari hatiku… selamanya akan menjadi milik Miky—cinta pertamaku, sekaligus cinta terakhirku.
SELESAI