Dalam hening malam, sepulang kerja kulihat CV milikmu yang dikirimkan dari guru ngajiku. Sepulang dari penatnya kantor, aku masih harus bergelut dengan keputusan untuk maju memilihmu atau tidak. Aku memang sudah berpenghasilan, aku bisa saja menafkahi seorang wanita, menafkahi keluarga, tapi setan dalam diri ini mengatakan, aku masih seorang yang rendah untuk bersanding dengan dirimu.
Aku merasa diriku tidak cukup tinggi untuk mengikutimu, aku bingung jujur saja. Kudiamkan CV kamu dalam ponsel yang mulai redup. Aku lapar, dari tadi sore belum makan. Sekarang malam semakin larut, hanya ada mi instan di lemari. Lihat, betapa miskinnya aku? Lagi-lagi setan-setan itu berhasil merendahkan diriku.
Kupegang pelipis, rasanya pegal di bagian sana. Kupijat juga dahiku sambil menunggu rebusan mi instan matang. Tidak, kubilang, gap ini terlalu jauh kurasa. Dia adalah anak orang kaya, bagaimana jika aku tidak bisa memberikan yang terbaik untuknya? Bagaimana jika orang tuanya memandang rendah keluargaku? Aku sih sudah biasa direndahkan, tapi tidak akan kubiarkan siapa pun merendahkan keluargaku yang sederhana ini.
Kubaca kembali sembari menikmati mi instan dan secangkir kopi hitam. Aku mengantuk, sungguh. Kulihat, sebenarnya kita memiliki visi dan misi yang sama. Ya, tentu saja, karena kandidat yang dikirimkan ini disesuaikan dengan CV milikku juga yang dikirimkan beberapa hari lalu.
Seharusnya jika visi dan misinya sama tidak masalah urusan lainnya. Kupikir selama aku bisa memberikan nafkah yang cukup, termasuk nafkah batin, seharusnya itu cukup. Kenapa pula aku memikirkan hal yang tidak perlu seperti perlakuan orang tuanya kepadaku? Padahal kami saja belum bertemu.
Dengan kalimat bismillah, kukirimkan pesan bahwa aku setuju untuk meneruskan proses taaruf ini. Bersedia untuk bertemu dengan keluarganya.
Namaku Danu, seorang pegawai biasa yang mencoba mencari jodoh dengan cara yang sesuai apa yang Allah sukai, dengan mencoba untuk tidak pacaran. Hal ini mengantarkanku pada proses taaruf yang sedang baru-baru ini kulakukan.
Hari ini, aku diminta untuk bertemu dengan calonku, Rizka, yang wajahnya baru aku lihat dalam bentuk pas foto di CV miliknya, tentu bersama orang tuanya, di rumahnya. Jantung berdebar kencang tentu saja. Keringat dingin, pastinya. Aku berangkat mengendarai motor, karena hanya itu yang aku punya saat ini.
Betapa terkejutnya aku begitu melihat rumah besar miliknya. Pagar yang bahkan tingginya melebihi tinggi badanku. Ya Allah, mau ke toilet pula saking groginya.
Kuucapkan salam, lalu keketuk rumahnya. Kusampaikan maksud kedatanganku yang utama, lalu maksud kedatanganku yang kedua yaitu numpang ke toilet. Pria paruh baya itu tersenyum atas maksud kedatanganku dan memberi tahu di mana letak toiletnya.
Setelah selesai, aku dipersilakan duduk dengan ramah. Di meja, sudah tersedia beragam makanan dan minuman. Aku disambut baik. Kami mengobrol dan rasanya mengalir saja, kedua orang tuanya sangat asyik diajak bicara. Kami beberapa kali tertawa.
Bayangan mengerikan yang ada di kepala tentang orang tuanya pun hilang perlahan. Aku mulai bisa mengatur napas lega. Lalu tibalah saat yang ditunggu, seorang yang akan menjadi istriku. Dia datang dengan kerudung panjang berwarna biru, juga gamis berwarna layaknya madu. Dia tersenyum, setelah dikenalkan oleh orang tuanya.
Dia pun menerimaku. Pembahasan selanjutnya menjadi persoalan tentang bagaimana akad dan pesta pernikahan kami akan dilaksanakan, hanya kulitnya saja. Selebihnya aku juga perlu berdiskusi dengan keluargaku. Aku kembali gugup tapi kali ini dengan perasaan bahagia yang menyelimuti.