Hari-Hari di Hogwarts
Hari-hari pertama di Hogwarts berlalu begitu cepat, dipenuhi dengan kelas-kelas yang seru dan teman-teman baru. Jadwal yang padat tidak terasa membosankan bagi Y/N. Setelah kelas pagi yang penuh dengan pelajaran Mantra dan Ramuan, Y/N sering menghabiskan waktu istirahatnya bersama Fred dan George.
Suatu sore, Y/N, Fred, dan George duduk di tepi Danau Hitam, melemparkan kerikil ke dalam air.
"Apa yang akan kalian lakukan di akhir pekan ini?" tanya Y/N, menghela napas lega setelah menyelesaikan tugas Ramuan.
"Kami sedang mengerjakan pesanan terbaru untuk Weasleys' Wizard Wheezes," jawab Fred, matanya berbinar. "Kami membuat permen yang bisa bikin telinga berasap."
"Oh ya, dan kami juga sedang merencanakan lelucon besar untuk Filch," tambah George sambil terkekeh.
Y/N hanya bisa menggelengkan kepala, "Kalian berdua memang tidak pernah lelah."
"Tentu saja tidak!" seru Fred. "Kami harus menjaga reputasi kami sebagai 'Pangeran Kenakalan' di Hogwarts!"
Tiba-tiba, Harry, Ron, dan Hermione menghampiri mereka.
"Boleh kami gabung?" tanya Harry.
"Tentu saja!" jawab Y/N.
Mereka pun duduk bersama, mengobrol tentang kelas dan kegiatan masing-masing.
"Aku masih tidak percaya dengan betapa anehnya Profesor Binns," kata Ron. "Aku hampir tertidur di kelas Sejarah Sihir hari ini."
"Dia itu hantu, Ron, tentu saja dia aneh," sahut Hermione. "Tapi pengetahuannya luar biasa."
Harry menatap Y/N, "Kamu selalu bersama Fred dan George, ya?"
"Mereka berdua teman baikku," jawab Y/N tulus, tersenyum pada si kembar Weasley. "Mereka yang membuatku merasa seperti di rumah."
Fred dan George menyeringai. "Tentu saja," kata Fred. "Dia adalah salah satu dari kami sekarang."
George menambahkan, "Kalau ada yang berani menyakitinya, mereka akan berurusan dengan kami."
Y/N merasa hatinya menghangat. Ia tidak pernah memiliki teman seperti ini sebelumnya, yang selalu melindunginya dan membuatnya tertawa. Ia tahu bahwa persahabatan ini akan menjadi salah satu hal terpenting dalam hidupnya.
Mimpi di Balik Lelucon
Y/N menatap Fred dan George dengan mata berbinar. "Kalian beneran udah punya toko sendiri?" tanyanya takjub. "Di umur 13 tahun?"
Fred dan George saling pandang, senyum jahil di wajah mereka melebar.
"Bisa dibilang begitu," jawab Fred. "Weasleys' Wizard Wheezes itu impian kami."
"Saat ini, tokonya masih di rumah kami," George menambahkan. "Kami mulai dengan hal-hal kecil, seperti tongkat sihir palsu dan permen yang bisa bikin lidah jadi besar."
"Oh! Jadi permen yang kalian buat kemarin itu untuk dijual?" tanya Y/N.
"Tentu saja!" seru Fred. "Kami harus mulai dari sekarang kalau mau jadi pengusaha sukses. Nanti setelah lulus dari Hogwarts, kami akan punya toko sungguhan di Diagon Alley."
Harry dan Ron mendengarkan dengan seksama. Ron sedikit tersenyum. "Ayah dan Ibu kami selalu mendukung apa pun yang kami lakukan," kata Ron. "Mereka tidak memandang status darah, dan ramah ke siapa saja, termasuk penyihir kelahiran Muggle seperti Hermione."
"Keluarga kami memang aneh," Fred menimpali dengan tawa. "Rumah kami, The Burrow, dibangun dengan sihir. Makanya miring begitu, karena kami terus-menerus menambahkan ruangan."
Harry mengangguk, "Keluarga kalian sangat baik. Mereka memperlakukan aku seperti bagian dari keluarga sendiri."
"Meskipun kami berdarah murni, kami tidak kaya," lanjut Ron, suaranya sedikit merendah. "Makanya kami sering diejek, terutama oleh keluarga Malfoy."
"Mereka selalu bilang kalau kami punya 'lebih banyak anak daripada yang kami mampu'," tambah Fred, "Padahal, punya tujuh anak itu keren!"
"Betul sekali," timpal Y/N, suaranya penuh kehangatan. "Punya banyak saudara pasti seru. Dan kalian semua sangat baik. Kurasa itu jauh lebih penting daripada uang."
Senyum kembali mengembang di wajah Fred, George, dan Ron. Mereka tahu, di balik lelucon dan kesederhanaan, Y/N benar-benar mengerti arti keluarga.
Keributan di Pinggir Danau
Setelah Fred, George, dan Ron bercerita, Y/N terdiam sejenak. Pikirannya melayang kembali ke masa lalu. Ia tidak pernah tahu siapa orang tua kandungnya. Yang ia tahu, ia selalu berpindah-pindah keluarga, ditelantarkan, hingga akhirnya berakhir di panti asuhan. Hidupnya keras, penuh perjuangan, dan tidak ada yang namanya keluarga sejati. Ia menghela napas, menatap teman-temannya yang sedang asyik bercanda.
"Kenapa, Y/N?" tanya Harry, menyadari perubahan ekspresinya.
"Nggak apa-apa," jawab Y/N, berusaha tersenyum. "Cuma... bersyukur aja. Bisa punya tempat ini, dan teman-teman kayak kalian."
Fred dan George merangkul Y/N dari kedua sisi. "Sekarang kamu bagian dari kami, Y/N. Kamu itu kakak kami yang hilang!" kata Fred, dan George tertawa, menyetujuinya.
Suasana hangat itu tiba-tiba terpecah. Langkah kaki angkuh terdengar mendekat. Draco Malfoy, ditemani oleh Vincent Crabbe dan Gregory Goyle, berdiri di depan mereka dengan tangan bersedekap.
"Oh, lihat siapa ini," sindir Draco. "Trio kuli, bersama si 'gadis panti asuhan'."
Wajah Y/N langsung mengeras. Ia benci sebutan itu.
"Apa maumu, Malfoy?" tanya Ron tajam, bangkit berdiri.
"Tenang, Weasley," jawab Draco dengan nada meremehkan. "Aku tidak berbicara denganmu. Aku ingin bicara dengan teman sebangkuku." Ia menatap Y/N. "Y/N, kamu sudah mengerjakan tugas esai Profesor Snape? Aku malas sekali menuliskannya."
"Tentu," jawab Y/N, "tapi kamu bisa mengerjakannya sendiri."
"Aku sudah tahu kamu pintar," kata Draco, "tapi aku tak mau buang-buang waktu."
Fred maju selangkah. "Dia bukan pembantumu, Malfoy. Kerjakan tugasmu sendiri."
Draco menyeringai. "Tentu saja si miskin Weasley ini membela temannya. Aku tahu, keluarga kalian kan terkenal 'sangat murah hati'."
Kata-kata itu seperti api yang menyulut kemarahan Ron, Fred, dan George. Fred dan George yang biasanya jenaka, kini tatapan matanya berubah tajam.
"Tutup mulutmu, Malfoy!" seru George.
"Orang tuaku mungkin tidak kaya sepertimu," kata Ron, suaranya bergetar, "tapi setidaknya mereka tidak membenci orang karena status darahnya."
Wajah Draco memerah. "Aku tidak membenci siapapun, Weasley. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Kalian itu memalukan!"
"Kamu yang memalukan!" balas Fred, siap menyerang. "Tiba-tiba datang dan menghina teman-teman kami!"
Meskipun Y/N terlihat tenang, matanya menatap Draco dengan kilatan yang dingin. Ia benci melihat orang yang disayanginya dihina. Dan ia tahu, sekali Draco menyentuh teman-temannya, Y/N tidak akan ragu-ragu untuk menunjukkan sisi kejamnya.
Draco tidak menyadari bahwa ia telah menyentuh sisi gelap Y/N. Ia hanya tertawa sinis, sementara Crabbe dan Goyle siap melindunginya. Ketegangan memuncak. Harry, Ron, dan Hermione bersiap untuk berkelahi.
"Sudah cukup," kata Profesor McGonagall yang tiba-tiba muncul. "Apa yang terjadi di sini?"
Draco dengan cepat mengubah ekspresinya menjadi wajah polos dan menyalahkan Fred dan George, "Fred dan George yang memulai, Profesor!"
Fred dan George yang biasanya tidak pernah takut, kali ini tidak bisa berkata apa-apa. Mereka hanya menatap Draco dengan tatapan penuh amarah.
"Aku akan memberikan kalian detensi. Dan 20 poin dari Gryffindor."
Fred, George, dan Ron hanya bisa diam. Mereka tahu, membalas perlakuan Draco hanya akan membuat mereka semakin menderita.
Teka-Teki dan Kartu
Draco Malfoy melenggang pergi dengan senyum sinis di wajahnya, meninggalkan Fred, George, dan Ron yang masih terlihat kesal. Harry dan Hermione menatap mereka dengan prihatin. Y/N, yang duduk di asrama yang berbeda, tahu betul bagaimana rasanya diperlakukan tidak adil.
"Sudahlah," kata Y/N lembut, mencoba mencairkan suasana. "Jangan biarkan dia merusak hari kalian." Ia menepuk punggung George. "Dengar, aku punya teka-teki, nih."
Fred dan George menoleh, wajah mereka yang tadinya murung kini dipenuhi rasa penasaran. "Apaan?" tanya George.
"Kenapa Superman nggak nikah?" tanya Y/N, senyum jahil di wajahnya.
Semua orang terdiam, berpikir keras. Ron menggeleng. Harry mengedikkan bahu.
"Karena dia pakai celana dalam di luar?" tebak Hermione dengan cepat, matanya berbinar.
Semua orang langsung terbahak. Jawaban Hermione membuat Fred dan George tertawa terpingkal-pingkal hingga perut mereka sakit.
"Betul!" seru Y/N, ikut tertawa.
"Tuh kan," kata Fred, "Hermione itu memang pintar."
Saat tawa mereka mereda, Cho Chang dan Luna Lovegood datang menghampiri. Mereka membawa setumpuk kartu.
"Kalian lagi ngapain?" tanya Cho, duduk di samping Harry.
"Lagi menghibur diri setelah kena omelan McGonagall," jawab Fred, masih terkekeh.
"Kami mau main kartu," kata Luna, membagikan kartu ke semua orang. "Namanya Exploding Snap."
Semua orang mengambil kartu mereka, dan Cho mulai menjelaskan peraturannya. Permainan itu sederhana, tetapi seru. Tiba-tiba, salah satu kartu Ron meledak dengan suara keras, mengeluarkan asap tebal dan membuat semua orang melompat kaget.
Tawa kembali pecah. Y/N menatap teman-temannya. Ia tahu mereka semua berasal dari latar belakang yang berbeda. Ada Harry yang terkenal, Fred dan George yang jenaka, Ron yang setia, Hermione yang pintar, Cho yang ramah, dan Luna yang unik. Namun, di dalam kelas "Footprint Seekers" ini, mereka semua adalah satu. Y/N merasa bahwa ia benar-benar telah menemukan tempatnya, dan ia tidak akan membiarkan siapa pun, bahkan Draco Malfoy, merusak kebahagiaan itu.