Kopi menunggu di sini, kutuliskan juga puisi. Kini di sebuah kafe, di hadapanku duduk wanita cantik. Wanita yang mungkin tidak akan kusesali telah mengenalnya.
Dia adalah Indah, teman masa kecil. Kini hadir di kehidupan, mengisi sedikit demi sedikit hati yang dipenuhi kerak kesepian. Puisi yang ditulis kali ini adalah tentang dirinya, tentang wanita yang kuanggap cantik dari dulu sampai sekarang. Tidak ada berubah perasaan itu.
“Indah, puisi ini untukmu.” Kusodorkan selembar kertas dari buku binder yang kubawa.
Buku binder ini juga cukup bersejarah, dia menemaniku dari zaman kuliah, kerja, sampai pertemuan dengan Indah saat ini terlaksana kembali setelah sekian lama. Rindu menjajah, wajahnya memenuhi isi kepala, sungguh apalagi jika bukan jatuh cinta?
Indah membaca kertas tersebut. Dia tersenyum, menutup mulut dengan jemarinya yang lentik lagi anggun. Ah, ingin rasanya kukecup punggung tangannya, lalu memasukkan cincin di jari manisnya.
“Aku suka, kenapa tidak dari dulu kamu menulis puisi?” tanyanya.
“Anugerah itu baru didapat belakangan ini, kurasa,” jawabku.
“Sungguh, dunia ini terlambat mengenalmu. Pasti kamu dikenal di kalangan wanita, ‘kan?” tanyanya lagi.
“Indah, puisi tidak selalu membahas perihal wanita saja. Kemampuan unik ini menuntut harus kritis dan memiliki empati yang tinggi,” jawabku sok keren.
“Menarik juga.” Indah pun tersenyum lalu meminum jus jeruk yang sedari tadi dipesan.
Dia, Indah, juga sedang menulis sebuah cerita pendek. Kami bertemu dalam literasi, dalam lautan kata-kata, dalam sebuah komunitas menulis sederhana. Hanya memang, dia lebih suka menulis cerita dan aku lebih suka menulis puisi, meskipun payah jika disuruh membacakannya.
“Hai, menurutmu, apa aku bisa menang dalam lomba kali ini?” tanya Indah sembari matanya menatap tajam ke arahku.
Tidak kuat rasanya menatap lama matamu, Indah. Kualihkan pada buku binder di meja. Sembari mencari nasihat yang tepat untuk wanita tangguh sepertimu.
Mungkin aku tidak lagi mengenal dirinya yang dulu, mungkin dia sudah berubah seiring waktu berjalan. Namun, kuharap hatiku masih dapat menyentuh hatinya.
“Penulis adalah orang yang berusaha memberikan inspirasi, pelajaran, pesan, atau sekadar lukisan emosi lewat kata-kata. Menurutku, menang yang sesungguhnya bukan ketika kamu mendapat piala juara 1, tapi bagaimana kata-kata yang kamu buat sampai pada pembaca.” Kuharap Indah dapat mengerti apa yang kukatakan.
“Jadi, tidak masalah kalau enggak menang?” tanyanya.
“Kuncinya yaitu menikmati. Kalau kamu menikmati prosesnya, hasil apa pun tidak akan jadi urusan. Kunci berikutnya adalah pembaca. Juara 1 bukan berarti karya kamu jelek, hanya saja kamu belum menemukan pembaca yang dapat menangkap apa yang kamu tulis,” jawabku.
“Rasanya seperti jodoh,” ucap Indah sambil tertawa.
“Iya, benar. Memang begitu. Tulisan kita belum bertemu jodohnya,” balasku.
“Seperti kita berdua rasanya.” Tiba-tiba suasana menjadi hening.
Aku sibuk menulis sesuatu untuknya di tengah waktu yang seolah berhenti ini. Pandangan Indah seolah melihat laptop, tapi kurasa sedikit lebih menunduk dari sebelumnya.
“Ini.” Aku menyodorkan kembali selembar kertas. Indah mengambil lalu membaca isinya.
Seandainya kita sama-sama sendiri, apakah mungkin ada sedikit ruang hati untuk kuisi?
Indah tertawa puas setelah membaca itu.
“Maaf! Maaf! Aku minta maaf!” ucap Indah.
“Aku ditolak nih?” tanyaku penasaran. Sebenarnya tidak masalah juga kalau ditolak, sudah biasa.
“Bukan, bukan begitu. Aku tidak nyangka loh, kamu ternyata selucu ini.” Indah mengambil pena di tanganku, lalu mulai menulis di kertas yang tadi kuberikan. Tidak lama kemudian, dia mengembalikan kertas itu. Aku membukanya.
Anggap saja rumah sendiri.
“Maksudnya?” tanyaku.
Dia tersenyum dengan air mata mengalir di pipinya.
“Payah ih. Sini kertasnya.” Indah menulis lagi, lalu memberikan kertas itu kembali.
Hati ini milikmu sepenuhnya. Silakan diisi.