Dalam pekatnya malam, embusan angin yang berdesing di telinga seolah menampar keras wajahku. Sunyi, sepi, liar pohon-pohon bergoyang mengangguk-angguk seolah mentertawakan semua batasan yang kulukis. Pun dengan sekawanan kelelawar yang tertawa nyaring dan terbang begitu liar di jalan yang begitu dingin dan sunyi.
Dadaku berdebar dengan keras seakan menghantam tulang rusukku hingga nyaris patah, tetapi bukan karena takut, melainkan rasa degupan yang tak biasa, karena kau di ujung sana.
Sorot matamu yang begitu tajam dan menusuk, tetapi sarat akan ketegasan dan kelembutan yang tak semua orang bisa menjamahnya, seolah menghipnotisku—memanggilku untuk mendekat.
Kulangkahkan kakiku memangkas jarak demi jarak yang tercipta hingga tertelan oleh langkah kaki tepat di bawahku.
Dengan sorot matamu yang hangat layaknya lentera yang menerangi dan mengirimkan rasa hangat di hatiku, kau tersenyum seraya mengulurkan tangan besarmu padaku.
“Aku tak ingin menjadi rantai yang membelenggu dirimu,” katanya seraya menggenggam erat tanganku dan membawaku ke dalam pelukannya yang hangat. ”Namun, aku ingin menjadi sayap pelindungmu. Dunia ini terlalu liar untukmu, tetapi kau jangan khawatir tentang itu, mari kita hadapi ini bersama, Sayang.”
Dirimu menoleh ke arahku dan senyum teduh penuh arti tersemat di wajah tampanmu, ”Aku tidak akan berjanji bahwa cinta ini selalu berjalan mulus, mungkin adakalanya penuh dengan luka, tetapi satu hal yang harus kau tahu, bahwa saat hidup kita penuh luka pun, aku tidak akan meninggalkanmu. Teruslah bersamaku di tengah kegilaan hidup dan dunia ini.”
Kau memelukku dengan begitu erat dan hangat. Kupejamkan mataku menyerap seluruh kehangatan yang kau berikan hingga merasuk dalam jiwa hingga batinku berteriak dengan lantang, “Ini rumahku, tempat di mana aku kembali!”
Cerpen ini terinspirasi dari lagu Avenged Sevenfold: Warmness On The Soul & Unbound (The Wild Ride)