Kembali ke Hogwarts dan Sisi Gelap Draco
Setelah liburan musim panas yang panjang, Hogwarts kembali ramai. Namun, bagi Y/N, suasananya terasa berbeda. Di tahun keenam ini, ia dan Draco adalah sepasang kekasih, namun Draco kini lebih sering menghindarinya. Ia bisa melihat bayangan gelap yang menyelimuti Draco. Y/N tahu, ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang jauh lebih besar daripada gengsi atau Turnamen Triwizard.
Suatu malam, Y/N mencoba menemui Draco di luar ruang rekreasi Slytherin. Draco keluar, wajahnya pucat, dan lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas. Ia tampak lelah dan tertekan.
"Draco, ada apa?" tanya Y/N, mencoba meraih tangannya. "Kamu menghindariku."
Draco menarik tangannya. "Nggak ada apa-apa, Y/N." Suaranya terdengar dingin dan jauh. "Aku sibuk. Kamu sebaiknya jangan dekat-dekat denganku."
"Kenapa? Aku pacarmu, Draco," kata Y/N, suaranya bergetar. "Kenapa kamu seolah-olah gak kenal aku?"
Draco menatap Y/N dengan mata kosong. "Karena aku berbahaya. Aku bukan orang yang kamu pikirkan. Aku... aku bukan Draco yang sama."
Y/N menggeleng. "Aku tahu kamu bukan orang jahat. Apa pun yang terjadi, kita bisa hadapi bersama."
Draco tertawa sinis. "Kamu gak tahu apa-apa, Y/N. Kamu gak bisa membantuku. Kamu cuma akan membahayakan dirimu sendiri." Ia kemudian berbalik dan berjalan cepat, meninggalkan Y/N sendirian.
Rahasia yang Mengikat
Y/N merasa hancur. Ia tahu ada sesuatu yang tersembunyi, dan ia tidak akan menyerah. Ia mulai mengamati Draco dari kejauhan. Y/N melihat Draco sering menghabiskan waktu di Ruang Kebutuhan, dan ia juga melihat tanda gelap di lengannya. Semua petunjuk mengarah pada satu hal: Draco telah menjadi Pelahap Maut.
Ia melihat Draco, yang dulu angkuh dan sombong, kini dipenuhi rasa takut dan penderitaan. Y/N bisa merasakan rasa sakitnya, bahkan dari jauh. Ia tahu, Draco tidak pernah ingin menjadi seperti itu.
Di sisi lain, Harry, yang juga di tahun keenamnya, menemukan buku misterius milik "Pangeran Berdarah-Campuran". Buku itu berisi mantra-mantra yang gelap dan berbahaya, dan Harry menjadi sangat terobsesi dengannya. Y/N melihat kakaknya berubah, menjadi lebih pendiam dan penuh rahasia.
Y/N menyadari, ia dan Draco tidak hanya terikat oleh cinta. Mereka juga terikat oleh rahasia-rahasia gelap yang menyelimuti Hogwarts. Y/N merasa takut, namun ia tahu ia tidak bisa menyerah. Ia harus menemukan cara untuk membantu Draco, bahkan jika itu berarti harus membahayakan dirinya sendiri.
Hubungan yang Dingin
Hari-hari di Hogwarts terasa berat. Hubungan Y/N dengan Draco dan Harry menjadi semakin dingin, hampir tak terlihat. Y/N merasa seperti terperangkap di antara dua orang yang paling ia cintai, namun tak bisa ia jangkau.
Y/N sering melihat Harry di perpustakaan, terlarut dalam buku kuno milik "Pangeran Berdarah-Campuran". Harry terlihat semakin pendiam dan terobsesi, seolah-olah dunia hanya miliknya.
Suatu hari, Y/N mencoba mendekati Harry. "Harry, kamu baik-baik aja?" tanyanya lembut.
Harry hanya mengangguk tanpa menoleh. "Iya. Kenapa?"
"Kamu... kamu gak pernah ngobrol lagi sama aku," kata Y/N, suaranya tercekat. "Kita... kita saling menjauh."
"Aku sibuk, Y/N," jawab Harry dingin. "Ada banyak hal yang harus aku selesaikan. Dan kamu juga, kan? Kamu sama Malfoy."
Kata-kata Harry terasa seperti tamparan. "Kami... kami gak ada apa-apa," Y/N berbohong. Ia merasa bodoh karena masih mencoba menyembunyikan hubungannya dengan Draco. Harry hanya menggelengkan kepalanya dan melanjutkan membaca, membuat Y/N merasa tak terlihat.
Di sisi lain, hubungan Y/N dengan Draco juga semakin rumit. Di koridor, mereka akan melewati satu sama lain tanpa berinteraksi. Draco memasang wajah acuh tak acuh, dan Y/N membalasnya dengan tatapan kosong. Namun, di balik itu, Y/N bisa merasakan tatapan Draco yang penuh kesakitan dan penyesalan.
Suatu malam, Y/N melihat Draco keluar dari Ruang Kebutuhan. Ia terlihat sangat lelah, dan ada bercak darah di lengan jubahnya. Y/N tidak bisa menahan diri. Ia mendekat, memastikan tidak ada orang di sekitarnya.
"Draco, apa yang kamu lakukan?" bisik Y/N, matanya membelalak. "Ada apa?"
Draco mendongak, matanya yang biasanya dingin kini dipenuhi rasa takut. "Jangan dekat-dekat, Y/N. Aku sudah bilang, aku berbahaya."
"Kenapa? Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Y/N, suaranya pecah. "Aku tahu kamu gak seburuk itu. Aku tahu kamu gak ingin menjadi... menjadi dia."
Draco menunduk, tak berani menatap Y/N. "Kamu gak akan mengerti. Ada hal-hal yang gak bisa aku ceritakan. Aku harus melakukan ini."
"Melakukan apa? Membunuh Dumbledore?" tanya Y/N, suaranya pelan tapi penuh emosi.
Draco terkejut. Ia menatap Y/N dengan mata melebar. "Bagaimana kamu tahu?"
"Aku tahu. Aku tahu kamu tidak punya pilihan. Tapi... kita bisa mencari cara lain. Kita bisa lari," Y/N memohon.
Draco menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Gak ada jalan keluar, Y/N. Gak ada." Ia kemudian berbalik dan menghilang dalam kegelapan. Y/N ditinggalkan sendirian, hatinya hancur berkeping-keping.
Ia menyadari, di tahun keenam ini, cinta dan hubungan mereka tidak lagi tentang gengsi. Melainkan tentang perjuangan untuk bertahan di tengah kegelapan yang menyelimuti dunia sihir, dan mereka harus berjuang sendiri-sendiri, setidaknya untuk saat ini.
Hubungan yang Berakhir
Beberapa hari setelah itu, hubungan Y/N dan Draco tidak kunjung membaik. Mereka nyaris tidak berinteraksi. Y/N merasa ada jurang tak terlihat yang memisahkan mereka. Suatu malam, ia melihat Draco duduk sendirian di tepi Danau Hitam, tempat di mana mereka pertama kali berani mengakui perasaan mereka. Y/N mendekat, hatinya berdebar tak karuan.
"Draco?" panggil Y/N.
Draco menoleh, wajahnya terlihat lelah. "Kenapa kamu di sini? Aku sudah bilang, jangan dekat-dekat."
"Aku tidak bisa, Draco," kata Y/N, duduk di sampingnya. "Kamu menjauh. Kamu mengabaikanku. Aku gak tahu apa yang terjadi. Aku gak tahu apa-apa."
Draco menghela napas, matanya menatap pantulan bulan di danau. "Kita harus mengakhiri ini, Y/N."
Jantung Y/N terasa seperti berhenti. "Mengakhiri apa? Hubungan kita?" Suaranya bergetar.
Draco mengangguk. "Ini gak akan berhasil. Aku gak bisa bersamamu. Aku... aku menyakitimu. Aku minta maaf. Seharusnya aku gak pernah biarin ini dimulai. Seharusnya aku gak biarin kita jadi dekat."
Y/N menggelengkan kepala, air matanya mulai menetes. "Kenapa? Apa... apa karena Pelahap Maut?"
Draco menatapnya dengan mata kosong. "Ini bukan tentang kamu, Y/N. Ini tentang aku. Aku bukan orang yang kamu pikirkan. Aku gak sanggup jalani ini. Aku gak bisa lagi..." Suaranya pecah, ia menunduk. "Aku merindukan... merindukan saat kita cuma saling mengganggu. Saat kita gak mikirin apa-apa selain gengsi. Saat itu, segalanya jauh lebih mudah."
Y/N merasakan kesedihan yang mendalam. Ia ingin memeluk Draco, ingin mengatakan bahwa ia tidak peduli. Namun, ia juga merasakan kebingungan. Hubungan mereka terasa seperti badai yang tak kunjung berhenti.
Draco bangkit berdiri. "Semua sudah berakhir, Y/N. Kamu harus pergi. Lupakan aku." Tanpa menoleh, ia berjalan pergi, meninggalkan Y/N sendirian dalam keheningan yang menyakitkan.
Pergulatan Emosi
Y/N kembali ke asrama dengan perasaan hancur. Kata-kata Draco terus terngiang di telinganya. "Merindukan saat kita cuma saling mengganggu." Y/N tahu Draco masih mencintainya, dan itu membuat semuanya terasa lebih sulit. Ia ingin kembali, memperbaiki semuanya, meskipun ia tahu hubungan mereka tidak akan pernah bisa kembali seperti semula.
"Apa yang harus aku lakukan?" Y/N bergumam pada dirinya sendiri, di kamarnya yang kosong. "Apa aku harus membiarkannya pergi? Atau... apa aku harus berjuang?"
Y/N menyadari, Draco memutuskan hubungan bukan karena tidak cinta. Tapi karena ketakutan. Ketakutan yang sama yang membuat Y/N sempat menyangkal perasaannya. Namun, ia juga tahu, ia tidak bisa memaksa Draco untuk kembali. Cinta tidak bisa dipaksakan. Ini adalah perjuangan yang harus mereka hadapi sendiri-sendiri, setidaknya untuk saat ini.