Mari kita mulai "kuliah" kita hari ini dengan studi kasus yang sedikit... kontroversial. Anggap saja ini materai kuliah
"Etika dan Studi Kehidupan Beragama Lanjutan."
________________________________________
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, anak-anak. Semoga kita semua selalu dalam lindungan-Nya. Hari ini, kita akan membahas sebuah fenomena yang sayangnya, terkadang kita temui di lingkungan sekitar kita: figur publik keagamaan yang, hmm, mari kita sebut saja, "kurang sejalan antara perkataan dan perbuatan."
Bayangkan, ada seorang ustazah yang sangat terkenal. Ceramahnya selalu membakar semangat umat untuk berbuat kebaikan, selalu menekankan pentingnya kejujuran, kesederhanaan, dan menjauhi sifat-sifat tercela. Beliau lantang mengkritik korupsi, nepotisme, dan segala bentuk kemunafikan. Jemaahnya terpukau, air mata haru seringkali membasahi pipi saat mendengarkan nasihat-nasihat beliau yang terdengar begitu tulus.
Namun, mari kita telaah lebih dalam, seperti kita menganalisis sebuah teks hadis dengan berbagai sanad dan matan. Ternyata, ustazah yang begitu salehah di atas mimbar ini, memiliki "catatan kaki" kehidupan yang sedikit berbeda.
Beliau, misalnya, sangat pandai menasihati jemaah untuk hidup sederhana dan tidak bermewah-mewah. Tapi, tahukah kalian? Koleksi tas branded beliau sudah bisa membuka sebuah butik kecil. Mobil-mobil di garasinya pun lebih banyak dari jumlah jari di tangan. Ketika ada jemaah yang bertanya tentang sumbangan untuk pembangunan masjid, beliau dengan lantang mengatakan bahwa semua dana harus dikelola secara transparan dan akuntabel. Namun, laporan keuangan yayasan beliau sendiri, masya Allah, lebih misterius dari soal ujian mata kuliah filsafat.
Kemudian, tentang kejujuran. Beliau sering sekali mengutip ayat-ayat tentang pentingnya berkata benar. Tapi, pernah suatu kali, beliau "sedikit" melebih-lebihkan jumlah donasi yang terkumpul saat live di televisi demi mendapatkan lebih banyak perhatian dan tentu saja, lebih banyak dana. Ini, dalam istilah akademis, kita sebut sebagai "hiperbola yang problematik dari sudut pandang etika."
Dan yang paling menarik, tentang sifat zalim. Di atas mimbar, beliau begitu fasih menceritakan kisah-kisah tentang pemimpin yang adil dan betapa buruknya seorang pemimpin yang menindas rakyatnya. Tapi, coba lihatlah perlakuan beliau kepada asisten rumah tangganya. Gajinya jauh di bawah UMR, jam kerjanya seperti tidak mengenal waktu istirahat, dan seringkali beliau mengeluarkan kata-kata yang kurang pantas. Ini, ironisnya, sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang selalu beliau dakwahkan.
Nah, di sinilah letak "lelucon"nya, anak-anak.
Suatu hari, ada seorang jemaah yang sangat polos bertanya kepada ustazah setelah ceramah yang begitu menyentuh tentang bahaya riya. "Ustazah, maaf, tapi kok tas yang ustazah bawa bagus sekali? Itu merek apa ya?"
Ustazah itu tersenyum manis, senyum yang sudah terlatih bertahun-tahun di depan kamera. Dengan nada lembut beliau menjawab, "Oh, ini? Ini tas biasa saja, Nak. Hadiah dari seorang sahabat yang sangat baik. Ingatlah, yang penting itu bukan mereknya, tapi manfaatnya. Kita harus selalu rendah hati dan tidak pamer dengan apa yang kita miliki."
Lalu, di belakang ustazah, asisten pribadinya yang sedang membereskan perlengkapan ceramah, tidak sengaja menjatuhkan price tag dari tas tersebut. Sebuah price tag dengan angka yang cukup untuk membeli sepeda motor baru.
Krik... krik...
Suasana menjadi hening seketika. Jemaah yang tadi bertanya hanya bisa melongo. Ustazah itu pun hanya bisa tersenyum kecut, mencoba mencari kalimat penyelamat yang sayangnya, kali ini tidak kunjung datang.
Jadi, anak-anak, dari studi kasus "Ustazah KW Super" ini, kita bisa belajar bahwa integritas itu mahal harganya. Kemunafikan, cepat atau lambat, pasti akan terungkap. Dan terkadang, ironi kehidupan itu bisa lebih lucu dari stand-up comedy manapun, meskipun getir rasanya.
Ada pertanyaan? Atau mungkin ada yang punya pengalaman serupa di lingkungan sekitar kalian? Mari kita diskusikan dengan kepala dingin dan hati yang terbuka. Ingat, tujuan kita bukan untuk menghakimi, tapi untuk belajar dan menjadi pribadi yang lebih baik.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
________
Klik link : https://shopee.co.id/harjuanto01