__________________________
Suasana di halaman belakang rumah Gadang Uni Ros di Bukittinggi sedang heboh bana, maklum, persiapan untuk alek pernikahan anak gadisnya besok pagi. Asap dari tungku memasak mengepul, aroma randang mulai menusuk hidung, dan suara ibu-ibu bercampur logat Minang kental bersahut-sahutan mengalahkan riuh pasar. Di tengah hiruk pikuk itu, muncullah Da Kamek, pemuda kampung yang terkenal agak lola (lambat loading) tapi selalu semangat membantu.
Uni Ros, sang komandan dapur, sedang sibuk mengawasi proses pembuatan lemang yang baru diangkat dari bambunya. Puluhan batang lemang asli, panas mengepul, tersusun rapi di atas daun pisang. Tak jauh dari situ, dekat tumpukan kayu bakar, tergeletak sebuah benda panjang, bulat, terbungkus plastik hitam agak kusam. Benda itu adalah pipa paralon sisa proyek WC umum kampung yang belum sempat dipindahkan tukang.
"Da Kamek!" teriak Uni Ros dari seberang halaman, suaranya nyaris tenggelam oleh bunyi kuali. "Tolong angkek ciek lemang nan paliang gadang di dakek kayu api tu! Bawa ka mari, capek! Tamu dari Jambi lah datang!" (Tolong angkat satu lemang yang paling besar dekat kayu api itu! Bawa ke sini, cepat! Tamu dari Jambi sudah datang!)
Da Kamek, yang sedang asyik mengipasi bara sate, langsung sigap. "Siap, Uni!" sahutnya.
Matanya menyapu area dekat kayu api. Ada tumpukan lemang asli yang ukurannya standar. Tapi... matanya tertumbuk pada benda panjang bulat terbungkus plastik hitam itu. Ukurannya memang paling gadang, paling menonjol.
"Ondeh mandeh, Uni Ros bikin lemang raksasa kini ko yo? Mantap bana!" gumam Da Kamek dalam hati, terkesima. Tanpa pikir panjang, ia langsung menghampiri pipa paralon berbungkus plastik itu. Agak berat, tapi Da Kamek pantang menyerah demi tugas mulia dari Uni Ros.
Dengan susah payah, sambil sedikit terhuyung, Da Kamek memanggul 'lemang raksasa' itu melintasi halaman, melewati ibu-ibu yang sedang mengupas bawang dan bapak-bapak yang merokok di bawah pohon. Beberapa orang melirik heran, tapi tak ada yang menegur, mungkin dikira bagian dari atraksi alek.
"Uni! Iko ha lemangnyo! Nan super duper jumbo!" seru Da Kamek bangga sesampainya di depan Uni Ros, sambil meletakkan pipa paralon itu di meja bambu dengan bunyi 'gedebuk' yang keras.
Uni Ros menoleh, matanya membelalak. Sendok gulai di tangannya nyaris jatuh. Para ibu di sekitarnya berhenti bekerja, semua menatap horor pada 'lemang' yang dibawa Da Kamek. Hening sejenak.
"DA KAMEK!!!" Suara Uni Ros melengking tujuh oktaf. "ITU PIPA PARALON BEKAS JAMBAN KAMPUNG, PAMAEK! BUKAN LEMANG! Aden suruah angkek lemang nan asli, nan angek tu ha! Bukan pipa laget!" (ITU PIPA PARALON BEKAS WC KAMPUNG, PEMALAS/BODOH! BUKAN LEMANG! Saya suruh angkat lemang yang asli, yang panas itu! Bukan pipa sialan!)
Da Kamek membeku. Ia menatap pipa paralon itu, lalu menatap Uni Ros, lalu kembali ke pipa. Wajahnya pucat pasi. "Ma... ma... ma'af, Uni.
Kirain lemang edisi khusus... bantuaknyo samo lo, agak panjang se." (Ma... ma... ma'af, Uni. Kirain lemang edisi khusus... bentuknya sama juga, agak panjang saja.)
Tawa ibu-ibu langsung meledak. Bahkan randang di kuali seolah ikut bergolak geli. Da Kamek hanya bisa cengengesan menahan malu, sementara pipa paralon itu tergeletak mengenaskan di meja bambu, saksi bisu kekeliruan fatal yang berawal dari semangat membantu (dan rabun dekat).
Hari itu, Da Kamek belajar: tidak semua yang panjang dan bulat di dekat kayu api saat alek adalah lemang. Kadang, itu hanyalah kenangan dari proyek sanitasi desa.
_________
By : Karim
Klik : shopee.co.id/harjuanto01