Tepat saat Y/N sampai di koridor yang sepi, ia masih asyik dengan senandungnya. "Inikah jatuh cinta?" gumamnya, matanya menerawang. Tiba-tiba, dua sosok meloncat keluar dari balik patung ksatria.
"DOR!"
Y/N terperanjat, jantungnya hampir copot. Di hadapannya, George dan Fred Weasley menyeringai lebar. Mereka membawa gulungan perkamen dan tampak seperti sedang merencanakan sesuatu.
"Y/N, kamu mau ke mana? Kok nyanyi-nyanyi kayak orang kasmaran gitu?" tanya Fred dengan nada menggoda.
George merangkul pundak Y/N. "Pasti lagi mau ketemu pujaan hati, ya? Ayo, kita temenin. Siapa tau kita bisa bantu bikin rencana."
"Hush! Enggak kok," jawab Y/N, pipinya merona. "Aku... aku cuma mau ke perpustakaan."
George dan Fred saling melirik. Mereka tahu Y/N tidak mungkin berbohong, tapi juga merasa ada yang disembunyikan.
"Ke perpustakaan kok malah lewat koridor gelap ini? Biasanya kan kamu lewat jalan pintas, Y/N?" goda Fred.
Y/N gelagapan. "Itu... aku lagi mau cari suasana baru."
George dan Fred tertawa. Mereka tidak memaksa Y/N untuk jujur, namun mereka tahu ada sesuatu yang terjadi. "Yaudah, kalau gitu kita temenin. Kita juga lagi mau bikin rencana jail, siapa tau kamu bisa bantu," kata George.
Y/N menghela napas, ia tidak punya pilihan. "Yaudah, ayo!" Akhirnya Y/N terpaksa kembali berjalan dengan dua kakak kelasnya itu. Padahal, ia ingin menemui Draco, dan bukan ke perpustakaan.
Ia tahu, ia tidak bisa lari dari takdirnya. Ia harus menghadapi semuanya. Baik itu Harry, teman-temannya, maupun Draco. Ia tahu, perjalanan ini tidak akan mudah, namun ia siap menghadapinya demi cinta yang ia rasakan.
Perjalanan ke perpustakaan bersama George dan Fred terasa sangat panjang. Mereka terus melontarkan lelucon dan ide-ide jahil, membuat Y/N sulit untuk fokus pada rencananya. Sesekali, mereka melirik Y/N, menyadari ada yang berbeda dari adik Harry itu.
"Y/N, kamu beneran mau ke perpustakaan?" tanya Fred, saat mereka hampir sampai di depan pintu kayu besar.
"Serius. Aku butuh referensi buat tugas Ramuan," jawab Y/N, mencoba meyakinkan.
George dan Fred saling berpandangan. "Oke deh, kita tunggu di sini. Kalau butuh bantuan, panggil aja ya?" kata George, menyenggol lengan Y/N.
"Hati-hati ya, siapa tahu nanti ketemu Malfoy," canda Fred, lalu mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
Y/N hanya memaksakan senyum tipis. Ia mengangguk, lalu masuk ke dalam perpustakaan. Aroma buku tua dan lilin langsung menyambutnya. Ia berjalan pelan, matanya menyapu setiap lorong, mencari sosok berambut pirang platina. Hatinya berdebar kencang, takut, tapi juga penuh harap.
Di pojok paling gelap, di antara rak-rak buku tentang ramuan tingkat lanjut, Y/N menemukannya. Draco sedang duduk di sebuah meja, buku terbuka di hadapannya, tapi matanya menatap kosong ke jendela. Punggungnya yang tegak tampak tegang.
Y/N memberanikan diri mendekat. Ia mengambil napas dalam, lalu duduk di kursi seberang Draco. Draco mendongak, matanya yang abu-abu menatap Y/N dengan pandangan dingin. Ada jarak yang terasa begitu jauh, lebih jauh dari jurang Gryffindor dan Slytherin.
"Apa yang lo lakuin di sini?" tanya Draco, suaranya datar. "Nyari bahan buat ngadu ke Potter lagi?"
Y/N menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Aku... aku minta maaf, Draco."
Draco menyeringai pahit. "Minta maaf buat apa? Buat apa yang lo bilang kemarin? Atau buat bikin gue terlihat bodoh di depan kakak lo?"
"Aku gak bermaksud kayak gitu," Y/N berbisik, suaranya tercekat. "Gengsi aku terlalu besar. Aku takut. Aku gak bisa jujur."
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Draco membuang pandangannya ke jendela, seolah ia tidak ingin melihat Y/N.
"Kenapa lo ke sini, Y/N? Mau nambahin luka?" tanya Draco, tanpa menoleh.
"Aku cuma mau bilang... aku gak bisa berhenti mikirin kamu," kata Y/N, air matanya mulai menetes. "Aku tahu aku bodoh. Aku menyesal. Perasaan ini terlalu kuat, Draco. Aku gak bisa lari lagi."
Draco akhirnya menoleh. Ia melihat Y/N yang menangis, dengan wajah tulus yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Hati Draco yang dingin mencair. Ia berdiri, berjalan mengitari meja, lalu berlutut di hadapan Y/N.
"Kenapa lo nangis?" tanya Draco, suaranya melembut. "Lo bikin gue bingung."
"Aku cuma... aku cuma gak mau kehilangan kamu, Draco. Aku gak peduli lagi sama gengsi. Aku cuma peduli sama kamu," jawab Y/N, mengusap air matanya.
Draco mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Y/N. Ia tersenyum tipis, senyum yang begitu tulus, yang tidak pernah ditunjukkan pada siapa pun. "Gue juga, Y/N."
Di tengah rak buku, di dalam perpustakaan yang hening, dua hati yang terluka menemukan kembali satu sama lain. Gengsi yang selama ini memisahkan mereka, kini telah melebur, digantikan oleh penerimaan diri dan cinta yang tidak sempurna, namun begitu nyata.
Tepat saat Draco dan Y/N saling menatap, pintu perpustakaan tiba-tiba terbuka dengan suara berderit. George dan Fred masuk, wajah mereka menunjukkan ekspresi serius yang tidak biasa.
"Y/N! Akhirnya ketemu," kata George, suaranya sedikit terengah-engah. "Kami denger... eh, lihat... Harry lagi nyariin kamu. Kami mau kasih tau Harry kalau kamu sama Malfoy."
Wajah Y/N langsung pucat. Ia bangkit berdiri, menghalangi George dan Fred. "Tunggu! Jangan! Jangan kasih tahu Harry!"
"Kenapa? Kalian berdua kan musuhan?" tanya Fred dengan nada bingung.
Y/N melirik Draco yang masih berlutut, lalu kembali menatap si kembar Weasley. Otaknya berputar mencari alasan. "Oke, gini aja. Aku janji, aku bakal kasih kalian beberapa galleon kalau kalian mau tutup mulut soal ini. Besok, aku akan beliin kalian semua bahan lelucon di Toko Sihir Weasley."
George dan Fred saling melirik. Mata mereka berbinar mendengar kata "galleon" dan "bahan lelucon". Ekspresi serius mereka berubah menjadi seringai khas Weasley.
"Hmm, tawaran yang menarik," kata Fred.
"Tapi kami juga harus dapat jaminan," timpal George. "Kami akan janji tutup mulut, tapi kami akan mengawasi kalian. Kalau kami lihat kalian berdua aneh-aneh lagi, janji itu batal."
Y/N menghela napas lega. Ia mengangguk. "Deal! Aku janji!"
Mereka berdua pun pergi, meninggalkan Y/N dan Draco berdua lagi. Y/N kembali duduk, wajahnya masih memerah. Draco tersenyum tipis, berdiri, dan duduk di sampingnya. "Baru aja baikan, udah ada drama lagi," bisik Draco sambil tertawa kecil.
Y/N menyenggol bahu Draco, namun hatinya terasa jauh lebih ringan. Ia tahu, perjalanan mereka tidak akan mudah. Tapi, dengan George dan Fred yang sekarang menjadi "sekutu" mereka, setidaknya ada satu masalah yang bisa mereka hadapi bersama.
Draco tersenyum tipis, berdiri, dan duduk di samping Y/N. "Baru aja baikan, udah ada drama lagi," bisik Draco sambil tertawa kecil. Y/N menyenggol bahu Draco, namun hatinya terasa jauh lebih ringan. Ia tahu, perjalanan mereka tidak akan mudah. Tapi, dengan George dan Fred yang sekarang menjadi "sekutu" mereka, setidaknya ada satu masalah yang bisa mereka hadapi bersama.
Pelarian di Kastil Hogwarts
Setelah perjanjian damai dengan si kembar Weasley, suasana antara Y/N dan Draco kembali mencair. Mereka menghabiskan waktu di perpustakaan, tidak belajar, melainkan saling melempar lelucon. Akhirnya, Draco mengusulkan sesuatu yang spontan.
"Udah, ayo kita pergi dari sini," ajak Draco tiba-tiba.
Y/N mengerutkan kening. "Ke mana?"
"Ikut aja," kata Draco, sambil menarik tangan Y/N. "Gue tahu tempat yang lebih asyik."
Mereka berdua keluar dari perpustakaan, lalu mulai berlari kecil menyusuri koridor-koridor kosong. Suasana di dalam kastil terasa berbeda di malam hari. Hening, misterius, dan terasa seperti dunia mereka berdua saja. Mereka tertawa, bersembunyi di balik patung-patung, dan sesekali saling mengejar.
"Ayo, kejar kalau bisa!" teriak Y/N, berlari lebih cepat menaiki tangga spiral.
Draco menyeringai. "Jangan lari dari gue!"
Ia melompat dua anak tangga sekaligus, berhasil meraih tangan Y/N, dan menariknya. Mereka berhenti di sebuah pintu yang tersembunyi, di salah satu menara tertinggi Hogwarts. Draco membuka pintu itu, dan mereka melangkah keluar ke sebuah balkon kecil.
Angin malam langsung menyambut mereka, menerbangkan rambut Y/N dan jubah Slytherin Draco. Di depan mereka, terbentang pemandangan luar biasa. Seluruh area Hogwarts, Danau Hitam, Hutan Terlarang, dan langit malam yang bertabur bintang, semuanya terlihat jelas.
Y/N terdiam, matanya terpaku pada keindahan di depannya. Draco berdiri di sampingnya, menatap ke arah yang sama.
"Ini tempat favorit gue," bisik Draco. "Gue sering ke sini kalau lagi… ya, lo tahu."
Y/N menoleh ke arah Draco. Ia melihat kerentanan di mata Draco yang jarang ditunjukkannya. "Indah banget," bisik Y/N. "Aku gak pernah lihat Hogwarts dari sini."
Mereka berdiri berdampingan dalam keheningan yang nyaman. Perasaan cinta yang begitu kuat, yang tidak bisa mereka hindari, seolah menyelimuti mereka. Di tengah keheningan, Y/N menyandarkan kepalanya di bahu Draco. Draco membalasnya dengan melingkarkan lengannya di bahu Y/N.
"Lo tahu," kata Draco. "Mungkin... kita gak butuh kata-kata."
Y/N tersenyum. "Mungkin. Karena... perasaan ini lebih dari sekadar kata-kata."
Di bawah langit berbintang, di puncak kastil, mereka berdua menemukan kedamaian. Gengsi, perbedaan asrama, bahkan masalah dengan Harry, semuanya terasa tidak penting. Yang ada hanyalah mereka berdua, yang kini berani mengakui bahwa cinta mereka lebih kuat dari segalanya.