Ini adalah kelanjutan dari cerita "Cinta dalam Gengsi".
Tinjuan Harry mendarat di rahang Draco. Pertarungan tak terhindarkan, membuat Ron dan Hermione bergegas melerai. Y/N, yang terkejut, berteriak, "STOP! Berhenti, Harry!"
Harry dan Draco saling menatap dengan pandangan membara. Draco menyeringai tipis, "Potter, lain kali jangan sok pahlawan. Adek lo ini yang mulai."
"Apa-apaan lo ngomong gitu!" Harry balas membentak. "Y/N, kamu baik-baik aja? Malfoy gak ngapa-ngapain kamu, kan?"
Y/N merasa dadanya sesak. Hati kecilnya ingin jujur, ingin menjelaskan semuanya pada kakaknya, tapi gengsi itu masih terlalu kuat. Ia menatap Harry, lalu berbalik ke arah Draco.
"Malfoy... lo bener-bener nyebelin! Gue gak mau lagi berurusan sama lo! Sana pergi!" Y/N membuang muka, berusaha menyembunyikan air matanya yang hampir tumpah.
Draco menatap Y/N dengan pandangan yang sulit diartikan. Ada kekecewaan, kemarahan, tapi juga kesedihan. Ia mengusap sudut bibirnya yang berdarah, lalu menatap Y/N dengan sinis, seolah semua yang terjadi di danau tadi malam hanyalah ilusi. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi, meninggalkan mereka.
Hermione mendekat, menepuk pundak Y/N. "Y/N, kamu yakin baik-baik aja? Draco Malfoy ngapain kamu?"
Y/N menggeleng, menghindari kontak mata. Ia merasa seperti pecundang. "Gue... gak mau bahas ini, Hermione. Gue capek," jawab Y/N, suaranya bergetar.
Ia pun berbalik dan berjalan cepat meninggalkan teman-temannya, kembali ke asrama Gryffindor. Di balik pintu yang tertutup, Y/N bersandar, menarik napas dalam-dalam. Ia tidak bisa menahan air matanya. Gengsi yang ia pertahankan, kini terasa seperti bom yang meledak di dalam hatinya, menghancurkan segalanya, termasuk hubungan yang baru saja ia rasakan.
Malam itu, asrama Gryffindor terasa sepi. Y/N membiarkan pintu kamarnya tertutup rapat, mengabaikan ketukan pelan dari Hermione yang khawatir. Ia hanya ingin sendirian, menenggelamkan diri dalam kekosongan yang memenuhi hatinya. Setelah perkelahian Harry dan Draco, ia merasa seperti berada di jurang. Gengsi yang ia junjung tinggi selama ini, yang tadinya terasa seperti perisai, kini terasa seperti belenggu yang mencekiknya.
Y/N merebahkan diri di tempat tidurnya. Bantalnya yang empuk seolah menyambutnya, kasurnya yang hangat menjadi satu-satunya tempat yang terasa aman dan nyaman di seluruh dunia. Ia memeluk bantalnya erat-erat, membenamkan wajahnya, dan membiarkan air mata mengalir.
"Kenapa gue... kenapa gue sebrengsek ini," bisiknya pada bantal. "Kenapa gue harus bohong? Kenapa gue gak jujur aja ke Harry?"
Setiap kali ia memikirkan wajah Draco yang terluka, hatinya terasa sakit. Ia tahu, Draco pasti berpikir ia membencinya. Perasaan yang mereka akui di danau, kini hancur karena kebohongan yang ia ciptakan. Kekuatan sihir yang dulu terasa kuat, sekarang terasa seperti debu yang hilang tertiup angin.
"Rasanya... sakit banget," Y/N menangis tanpa suara. "Gue gak pernah ngerasa sesepi ini."
Di tengah kesepiannya, ia mengingat kembali momen-momen bersama Draco. Cara Draco memperhatikannya dari jauh, cara ia menyelamatkannya di perpustakaan, bisikannya di koridor... semua terasa begitu nyata, namun kini terasa jauh.
"Apa... apa ini harganya buat gengsi?" Y/N bertanya pada dirinya sendiri, pada langit-langit kamarnya yang gelap. "Kalau iya, gue gak mau. Gue gak mau..."
Air mata membasahi bantalnya, namun perlahan, rasa sakit itu mulai mereda. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kelembutan kasur, seolah-olah tempat tidur itu adalah satu-satunya teman yang bisa memeluknya saat ia merasa hancur. Malam itu, Y/N tertidur, berharap keesokan harinya, ia bisa menemukan cara untuk memperbaiki segalanya.
Minggu-minggu berlalu bagaikan debu yang tertiup angin. Y/N masih sering menghindari Harry dan teman-temannya. Ia juga tidak lagi bertemu Draco, yang sepertinya juga memilih untuk menjauh. Hari-harinya terasa kosong, seolah ada bagian dari dirinya yang hilang. Pelukan bantal di kamarnya kini tidak lagi terasa nyaman, melainkan hampa.
Suatu sore, Y/N duduk di tepi Danau Hitam, tempat di mana ia dan Draco pernah berbagi perasaan. Ia merenung, memikirkan semua yang terjadi. Awalnya, ia selalu berpikir cinta itu harus sempurna, tanpa cacat, tanpa keraguan. Namun, perasaannya pada Draco mengajarinya bahwa cinta tidak seperti itu. Cinta bisa datang dalam bentuk yang tak terduga, dalam situasi yang rumit. Dan yang paling penting, cinta tidak meminta kesempurnaan.
Y/N menyadari, ia tidak mencintai Draco karena ia sempurna. Ia mencintai Draco karena ia adalah dirinya. Begitu juga sebaliknya. Draco tidak mencintai Y/N karena ia adalah "Gadis Sempurna" dari Gryffindor, melainkan karena ia adalah Y/N. Gengsi, ketakutan, dan ego hanya menghalangi mereka untuk menerima kenyataan itu.
Ia menghela napas panjang. Gengsi itu sudah terlalu lama menguasai dirinya, menghalangi kebahagiaan. Hari ini, ia memutuskan untuk melepaskannya. Ia tidak lagi peduli apakah ia akan terlihat bodoh atau lemah. Yang terpenting, ia ingin berjuang untuk cinta yang ia rasakan. Cinta yang tidak sempurna, namun sangat nyata.
Y/N bangkit, lalu berjalan menuju tempat persembunyian Draco di kastil. Ia akan mencari Draco, berbicara jujur, dan menerima apa pun konsekuensinya. Ia siap menghadapi apa pun, asalkan ia bisa mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya dan memperjuangkan cinta yang begitu kuat, bahkan mampu mengalahkan sihir. Ia tersenyum, kali ini bukan karena gengsi, melainkan karena ia telah menemukan keberanian dan kekuatan sejati dalam dirinya.