Lowa terbangun. Tubuhnya kaku. Otot menegang. Dingin menusuk kulit, merayap ke tulang, sampai sumsum. Napas tersengal. Lidah berat. Tenggorokan seperti disayat. Bayangan di sudut kamar menempel di tubuhnya, basah, seperti tangan tak terlihat menekannya. Jantung berdetak liar, seperti hendak meledak.
Cahaya ponsel menyorot dinding retak, tapi kegelapan hidup, merambat, membungkus tiap sudut. Ia sudah membaca beritanya. Virus itu menyebar. Manusia berubah. Menjadi makhluk lapar, haus darah. Tapi bukan itu yang paling menakutkan. Ada sesuatu di tepi dunia—makhluk yang hidup dari ketakutan, menunggu momen tepat untuk memangsa.
Di televisi, orang-orang berlari. Mata liar. Mulut berlumuran darah. Jeritan yang tak terdengar, tapi ia merasakannya di kulit, di tulang, di darahnya sendiri. Tubuhnya gemetar, napas tersengal, perut mual. Setiap hembusan napas terasa disayat di paru-paru. Kepala pening.
Suatu sore, Nyonya Hargrove muncul di halaman. Kulit pucat, mata kosong.
“Tolong… itu… datang…” Suaranya serak, tersangkut di tenggorokan.
Tangan gemetar hebat. Sekejap, Lowa menangkap kilatan di matanya—lapar, kuno, bukan manusiawi.
Lowa mundur. Nafas tercekat. Perut kram. Otot menegang. Jantung seperti diremas.
“Ibu harus masuk! Di luar… tidak aman!”
Tatapannya menembus, menusuk ke pikiran.
“Mereka bukan sekadar sakit… Mereka berubah… Ada yang menunggu.”
Malam itu, ia mengurung diri. Jantung berdetak keras. Telapak tangan berkeringat dingin. Raungan angin menggetarkan jendela, sesuatu mahluk bergerak, menekan kulit, menusuk tulang. Ketukan terdengar—lambat... cepat membuat jiwa ini tak berkutik.
Ia mengintip dari lubang pintu, bayangan bergerak wujudnya bengkok, groteks, cair, seperti realitas pecah. Matanya pekat sampai cahayapun engan menyinarinya, tentakel hitamnya merayap dan menempel di dinding itu udaranya merambat di udara. Tubuhnya memegang, kulit terbakar dingin hingga bulu kuduk tegak.
Ketukan itu mulai berhenti . Suara lembut tapi jahat memanggil:
“Lowa…”
Darahnya membeku. Bau logam, busuk, amis darah, lembap menempel di hidungnya. Suara familiar tapi terdistorsi, menyelimuti kepala, menusuk telinga.
“Buka pintu… aku bisa menyelamatkanmu.
Ia mundur. Napas tersengal, dada sesak, perut mual. Otot kaku, jari gemetar.
“Kau… bukan Nyonya Hargrove!”
“Tentu saja aku,” bisik suara itu, hangat tapi menusuk, merayu. “Kau tak mau sendiri, kan?”
Bayangan menekan, tentakel mencakar celah pintu. Dinding kewarasan runtuh. Pikiran tercerabut. Lowa berada di ambang kengerian murni.
Tangan gemetar, ia memutar kunci. Pintu berderit. Angin dingin menusuk kulit. Aroma logam, busuk, darah, lembap… menusuk hidung, tenggorokan, paru-paru. Bayangan menyebar, menelan rumah, membelit tubuh. Tentakel menempel, dingin menusuk, menyentuh saraf. Sentuhan menakutkan tapi memikat.
“Bergabunglah… Kau tak akan pernah sendiri lagi.
Lowa tersenyum. Takut mencair, diganti rasa gelap manis tapi mematikan. Dunia kabur. Virus, kekacauan, hilang. Ia menyerah pada kegelapan, memeluk entitas di bawah permukaan pikirannya.
Bayangan menelannya. Ia sadar: makhluk ini hidup dari ketakutan, keputusasaan, dan kini… ia miliki Lowa sepenuhnya. Kegelapan bukan akhir—tapi awal. Dunia di luar runtuh. Di dalam dirinya, kelaparan tak pernah puas bangkit.
Lowa tidak takut lagi. Ia pulang.