(Catatan: Cerita ini adalah karya fiksi yang menggunakan karakter dari dunia Harry Potter untuk tujuan hiburan semata. Cerita, alur, dan karakteristik para tokoh tidak berhubungan dengan alur cerita resmi.)
Misi Cupid Aya Sakura
Suatu sore, Aya dan Cho sedang duduk di halaman sekolah, mengerjakan tugas Herbologi. Aya melihat Cho tidak fokus, matanya terus melirik ke arah lapangan Quidditch, di mana Cedric Diggory, Kapten Hufflepuff, sedang berlatih.
"Kau menyukainya," bisik Aya, tersenyum jahil.
Wajah Cho memerah. "Siapa? Cedric? Tentu saja tidak!"
"Jangan berbohong, Cho," kata Aya, "Aku bisa melihatnya dari matamu."
Cho menghela napas. "Oke, baiklah. Aku memang menyukainya. Tapi, aku tidak tahu bagaimana cara mendekatinya."
"Aku akan membantumu," kata Aya, dengan semangat.
Cho menatapnya dengan terkejut. "Sungguh?"
"Tentu saja!" kata Aya, "Aku akan menjadi cupid-mu. Pertama, kita harus membuat dia melihatmu."
Rencana pertama adalah membuat Cedric melihat Cho. Aya menyarankan Cho untuk berjalan-jalan di sekitar lapangan Quidditch saat Cedric sedang berlatih. Cho merasa malu, tapi ia setuju.
"Ingat," kata Aya, "Jangan langsung ke dia. Berjalan saja di sekitarnya. Dan berpura-pura tidak melihatnya."
Rencana kedua adalah membuat Cedric berbicara dengan Cho. Aya menyarankan Cho untuk "tidak sengaja" menjatuhkan buku-buku di dekat Cedric.
"Aku akan menunggumu di perpustakaan," kata Aya. "Dan ketika kau menjatuhkan buku, aku akan berpura-pura tidak melihat. Dan Cedric akan membantumu."
Semua berjalan sesuai rencana. Cho menjatuhkan buku-buku di depan Cedric, dan Cedric membantunya. Mereka mulai berbicara, dan akhirnya, Cedric mengajak Cho berkencan.
"Aku tidak bisa melakukannya tanpa bantuanmu, Aya," kata Cho, memeluk Aya dengan erat.
"Tentu saja kau bisa," kata Aya, "Kau hanya butuh sedikit dorongan."
Namun, di tengah-tengah kebahagiaan itu, sebuah suara dingin menginterupsi. "Apa yang kalian lakukan di sini?"
Aya menoleh, dan melihat Draco Malfoy berdiri di belakang mereka.
"Bukan urusanmu, Malfoy," kata Cho, nadanya tajam.
"Tentu saja ini urusanku," kata Draco, "Aya adalah... temanku. Aku tidak ingin dia berada di antara kalian."
"Kami hanya berbicara," kata Aya, berusaha menenangkan situasi.
"Berbicara tentang apa?" tanya Draco, matanya memicing.
"Tentang... tentang cinta," jawab Aya.
Wajah Draco berubah. Ia tahu Aya tidak berbohong. Ia menatap Cho, lalu menatap Aya. Ia menghela napas, lalu berbalik dan pergi.
"Dia aneh," kata Cho.
"Dia memang aneh," kata Aya, tersenyum kecil. Ia tahu, Draco hanya cemburu. Ia hanya ingin Aya untuk dirinya sendiri.
Aya merasa bahagia. Ia berhasil membantu Cho. Ia merasa, ia tidak hanya bisa membantu Draco, tapi ia juga bisa membantu orang lain. Ia merasa, ia sudah menemukan jalan yang benar. Ia tidak lagi peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain. Ia hanya ingin membantu orang yang ia cintai.
(Catatan: Cerita ini adalah karya fiksi yang menggunakan karakter dari dunia Harry Potter untuk tujuan hiburan semata. Cerita, alur, dan karakteristik para tokoh tidak berhubungan dengan alur cerita resmi.)
Rahasia yang Terbongkar
Malam itu, setelah makan malam yang canggung, Draco menunggu Aya di dekat Danau Hitam. Ia merasa sedih, hatinya dipenuhi dengan kecemasan. Aya datang dan melihat Draco. Ia bisa merasakan kesedihan yang dipancarkan oleh Draco.
"Ada apa, Draco?" tanya Aya, suaranya lembut.
Draco menatap Aya. "Aku... aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Ayahku... dia terus mengirimiku surat. Dia ingin aku menjadi seperti dia. Dia ingin aku membenci orang-orang yang tidak seperti kami."
Aya memegang tangan Draco. "Kau tidak harus menjadi seperti dia, Draco. Kau bisa memilih jalanmu sendiri."
Draco menghela napas. "Tapi, aku takut. Aku takut mengecewakannya. Dan aku takut... aku takut kehilangannmu. Jika dia tahu tentang kita... dia akan membenciku."
Aya memeluk Draco dengan erat. "Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku akan selalu ada untukmu."
Draco membalas pelukan Aya. "Aku... aku mencintaimu, Aya. Lebih dari apapun."
Aya mendongak dan menatap Draco. "Aku juga mencintaimu."
Draco menunduk, dan mencium Aya. Ciuman itu lembut, penuh dengan cinta, dan keraguan. Mereka tidak tahu, dari balik semak-semak, George dan Fred Weasley melihat mereka. Wajah George terlihat terkejut, sementara wajah Fred menunjukkan campuran antara terkejut dan marah.
Mereka tidak bisa berkata-kata. Mereka hanya bisa melihat, dan mereka tahu, mereka harus melakukan sesuatu.
Berita yang Menyebar
Keesokan paginya, seluruh Hogwarts sudah tahu. George dan Fred menyebarkan berita tentang Aya dan Draco.
"Kau tahu, Aya dan Malfoy berciuman di tepi Danau Hitam," bisik George kepada Harry, Ron, dan Hermione.
Harry dan Ron terkejut. Hermione terdiam.
"Aku tidak percaya," kata Hermione, "Aya tidak akan melakukan itu."
"Aku melihatnya sendiri!" kata George, "Aku dan Fred. Mereka berciuman!"
Berita itu menyebar seperti api. Saat sarapan, seluruh siswa menatap Aya dan Draco. Meja Gryffindor dan Ravenclaw terlihat seperti dua kutub yang berlawanan. Tidak ada yang berani berbicara dengan Aya.
Aya berjalan ke meja Ravenclaw, dan duduk sendirian. Ia merasa seperti semua mata menatapnya. Ia merasa malu, dan hancur. Ia tahu, rahasianya sudah terbongkar.
Tiba-tiba, suara keras terdengar di aula besar. Draco Malfoy berjalan ke arah meja Gryffindor, wajahnya merah padam karena marah.
"Weasley!" desis Draco, "Apa yang kau lakukan? Kenapa kau menyebarkan berita itu?"
Fred dan George berdiri dari meja mereka. "Kau pantas mendapatkannya, Malfoy!" kata Fred, "Kau tidak pantas untuk Aya!"
"Diam!" teriak Draco, "Kau tidak tahu apa-apa!"
Aya berdiri, dan berjalan ke tengah aula besar. "Hentikan! Semuanya, hentikan!"
Semua mata menatapnya. Aya menatap Fred dan George. "Aku tidak menyangka kalian akan melakukan ini. Aku pikir kalian adalah temanku."
Fred menatap Aya, matanya menunjukkan rasa sakit. "Aya, kami hanya... kami hanya khawatir."
"Khawatir?" tanya Aya, air matanya mengalir di pipinya. "Kalian tidak khawatir. Kalian menghakimi. Kalian menghancurkan kepercayaan yang sudah aku berikan pada kalian."
Aya menoleh ke arah Draco. "Draco, ayo pergi dari sini."
Draco mengangguk. Ia dan Aya berjalan keluar dari aula besar, meninggalkan keributan di belakang mereka. Mereka tahu, hubungan mereka akan menjadi lebih sulit. Tapi mereka juga tahu, mereka akan menghadapinya bersama.
(Catatan: Cerita ini adalah karya fiksi yang menggunakan karakter dari dunia Harry Potter untuk tujuan hiburan semata. Cerita, alur, dan karakteristik para tokoh tidak berhubungan dengan alur cerita resmi.)
Perubahan dan Kekacauan
Beberapa minggu berlalu, dan hidup Aya di Hogwarts berubah total. Ia yang dulunya ceria dan penuh senyum, kini menjadi lebih pendiam. Ia jarang bicara, dan sering menyendiri. Sikapnya menjadi aneh; ia sering kali terlihat berbicara pada bunga atau pepohonan, sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sejak ia meninggalkan dunia dongeng. Kemarahannya juga mudah meledak. Hanya karena hal kecil, ia bisa membentak teman-teman asramanya atau bahkan guru.
Sumber dari semua perubahan ini adalah perpisahan dengan Draco Malfoy. Setelah berita hubungan mereka menyebar, Lucius Malfoy, ayah Draco, mengetahui semuanya. Ia mengancam akan mengeluarkan Draco dari Hogwarts jika ia tidak segera mengakhiri hubungannya dengan Aya. Draco, yang takut dan merasa tidak berdaya, terpaksa menuruti perintah ayahnya.
Suatu malam, Draco menemui Aya di sebuah lorong sepi.
"Kita harus mengakhirinya," kata Draco, suaranya parau.
Aya menatapnya, matanya berkaca-kaca. "Kenapa?"
"Ayahku tahu semuanya," bisik Draco, "Dia mengancam akan... akan melakukan sesuatu yang buruk jika aku tidak menuruti perintahnya."
Aya menggelengkan kepalanya. "Tidak... kau tidak bisa meninggalkanku."
"Maafkan aku, Aya," kata Draco, air matanya mengalir di pipinya. "Aku... aku harus melakukannya. Ini demi keselamatanmu."
Aya merasa hatinya hancur. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa melihat Draco berjalan pergi, meninggalkannya sendirian di lorong yang gelap.
Setelah perpisahan itu, Aya mulai menyalahgunakan kekuatannya. Saat ia marah, ia bisa membuat bunga-bunga layu, dan pepohonan kehilangan daunnya. Ia sering kali merapal mantra-mantra yang berbahaya, dan ia tidak peduli jika itu menyakiti orang lain.
Suatu sore, Profesor Dumbledore memanggil Aya ke ruangannya. Wajahnya terlihat sedih dan kecewa.
"Aya, ada apa denganmu?" tanya Dumbledore, suaranya lembut. "Kau sudah membuat beberapa siswa terluka dengan sihirmu. Kau tahu itu dilarang."
Aya menunduk, tidak bisa menatap mata Dumbledore. "Aku... maafkan aku. Aku tidak tahu apa yang aku lakukan."
"Kau tahu," kata Dumbledore, "Kekuatanmu adalah berkah, bukan kutukan. Kau tidak boleh menyalahgunakannya."
"Aku tidak peduli!" teriak Aya. "Aku hanya ingin... aku hanya ingin melupakan semuanya!"
"Aku tahu kau merasa sakit, Aya," kata Dumbledore, "Tapi, kau tidak boleh membiarkan rasa sakit itu mengendalikanmu. Kau harus bisa mengendalikan kekuatanmu."
"Aku tidak bisa!" teriak Aya. "Aku tidak bisa! Semuanya... semuanya salah! Aku tidak seharusnya berada di sini!"
Dumbledore terdiam, ia melihat betapa hancurnya hati Aya. Ia mendekat dan memeluk Aya. "Aya, putriku. Dengarkan aku. Kau akan melalui ini. Aku akan membantumu. Tapi, kau harus mengendalikan dirimu."
Aya hanya bisa menangis di pelukan Dumbledore. Ia tahu, ia telah melakukan kesalahan besar. Ia tahu, ia harus berjuang untuk mendapatkan kembali dirinya. Tapi ia tidak tahu, apakah ia bisa melakukannya. Ia merasa, ia sudah terlalu jauh.
(Catatan: Cerita ini adalah karya fiksi yang menggunakan karakter dari dunia Harry Potter untuk tujuan hiburan semata. Cerita, alur, dan karakteristik para tokoh tidak berhubungan dengan alur cerita resmi.)
Hilang Ingatan dan Awal yang Baru
Aya duduk di ruangannya yang gelap. Rambut pinknya terlihat kusam, dan matanya yang dulunya cerah kini kehilangan sinarnya. Ia merasa lelah, lelah dengan semua rasa sakit yang ia rasakan. Perpisahan dengan Draco, perpecahan dengan teman-temannya, dan kenyataan bahwa ia mulai menyalahgunakan kekuatannya. Ia tidak bisa melanjutkan hidup seperti ini.
Aya mengeluarkan buku sihirnya yang kuno. Di dalamnya, ia menemukan mantra kuno. Mantra itu bisa menghapus ingatan seseorang. Mantra yang sangat berbahaya. Namun, Aya tidak peduli. Ia hanya ingin melupakan semuanya.
Ia mengangkat tongkat sihirnya dan merapal mantra itu. "Memoriun Deleto."
Cahaya hijau menyelimuti tubuhnya. Ia merasakan sensasi aneh, seperti ada sesuatu yang ditarik dari dalam dirinya. Ia merasakan sakit, sakit yang luar biasa, lalu semuanya menjadi gelap.
Ketika ia membuka matanya, ia berada di ranjang di Sayap Rumah Sakit. Ia melihat Madam Pomfrey dan Dumbledore berdiri di sampingnya.
"Aya, kau baik-baik saja?" tanya Madam Pomfrey.
Aya menatapnya dengan bingung. "Siapa... siapa aku?"
Madam Pomfrey dan Dumbledore saling pandang dengan cemas. Aya benar-benar kehilangan ingatannya.
"Kau Aya Sakura," kata Dumbledore, suaranya lembut. "Kau adalah murid Hogwarts."
Aya menggeleng. "Hogwarts? Aku tidak ingat apa-apa. Aku tidak tahu apa-apa tentang tempat ini."
Dumbledore dan Madam Pomfrey mencoba menjelaskan semuanya. Namun, Aya hanya bisa mendengarkan. Ia tidak mengingat apa pun. Ia tidak mengingat Harry, Hermione, Ron, atau Fred dan George. Ia tidak mengingat Draco, atau hubungannya dengan dia. Semua kenangan itu hilang.
"Aku... aku hanya ingat dari mana aku berasal," kata Aya, matanya berkaca-kaca. "Aku... aku datang dari dunia lain. Aku dibesarkan oleh sebuah pohon sakura."
Dumbledore dan Madam Pomfrey terkejut. Mereka tahu, Aya tidak berbohong.
"Itu adalah satu-satunya hal yang aku ingat," kata Aya, "Satu-satunya hal yang aku punya."
Dumbledore tersenyum, lalu memegang tangan Aya. "Tidak apa-apa, Aya. Kita akan membantumu. Kita akan mulai dari awal. Kau akan hidup baru di sini. Kau akan menemukan teman-teman baru. Dan kau akan menemukan siapa dirimu yang sebenarnya."
Aya mengangguk, ia merasa sedikit lega. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya. Ia tidak tahu siapa dirinya, atau dari mana ia berasal. Tapi ia tahu, ia akan mencoba untuk memulai hidup baru. Ia akan mencoba untuk melupakan masa lalunya, dan fokus pada masa depannya.
(Catatan: Cerita ini adalah karya fiksi yang menggunakan karakter dari dunia Harry Potter untuk tujuan hiburan semata. Cerita, alur, dan karakteristik para tokoh tidak berhubungan dengan alur cerita resmi.)
Transformasi dan Awal yang Baru
Aya Sakura memulai hidup barunya di Hogwarts dengan mengubah penampilannya. Rambutnya yang dulu berwarna merah muda kini diubahnya menjadi cokelat kemerahan yang hangat. Ia menyukainya, merasa bahwa warna baru ini merepresentasikan dirinya yang baru. Penampilannya yang baru cocok dengan sifatnya yang baru, yang lebih ramah, rendah hati, dan lemah lembut.
Setelah keluar dari Sayap Rumah Sakit, Aya berjalan ke asrama Ravenclaw. Lorong-lorong yang dilaluinya terasa asing, seolah ia belum pernah melewatinya. Kamar asramanya juga terasa asing, seperti ia baru pertama kali masuk ke dalamnya.
Ia melihat bayangan wajahnya di cermin. Wajahnya sama, tapi ada sesuatu yang berbeda di matanya. Matanya yang dulu dipenuhi dengan rasa sakit dan kekecewaan, kini dipenuhi dengan rasa ingin tahu.
Saat ia sedang membereskan barang-barangnya, ia mendengar suara ketukan di pintu. Pintu terbuka, dan Cho Chang masuk.
"Aya, kau sudah kembali!" kata Cho, tersenyum lebar.
Aya menatapnya dengan bingung. "Maaf, apa aku mengenalmu?"
Wajah Cho berubah menjadi sedih. "Kau... kau tidak mengingatku?"
"Aku... aku tidak ingat apa-apa," jawab Aya, "Aku hanya tahu aku bernama Aya, dan aku datang dari dunia lain."
Cho menghela napas, ia kemudian tersenyum lembut. "Tidak apa-apa. Aku Cho. Kita pernah berteman, dan aku harap kita bisa berteman lagi."
Aya mengangguk. "Aku juga berharap begitu."
Sejak saat itu, Cho membantu Aya beradaptasi. Ia mengenalkan Aya pada hal-hal kecil di Hogwarts, seperti perpustakaan, meja makan, dan lapangan Quidditch. Aya yang baru, dengan sifatnya yang ramah dan rendah hati, segera membuat Cho merasa nyaman.
Suatu hari, saat mereka berjalan di lorong, Cho bertanya, "Aya, kenapa kau mengubah warna rambutmu?"
Aya menyentuh rambutnya. "Entahlah. Aku hanya... ingin perubahan. Aku merasa, warna ini lebih cocok denganku."
Cho tersenyum. "Kau terlihat cantik, Aya. Tapi, kau tahu, warna rambutmu yang dulu juga sangat cantik."
Aya menatapnya dengan penasaran. "Dulu... aku punya rambut merah muda?"
Cho mengangguk. "Ya. Itu sangat unik. Sama sepertimu."
Aya hanya mengangguk. Ia tidak tahu apa yang harus ia rasakan. Ia tidak mengingat masa lalunya, tapi ia tahu, masa lalu itu ada. Ia tahu, ada bagian dari dirinya yang hilang, tapi ia tidak tahu apa itu.
Ia terus berteman dengan Cho. Cho adalah orang yang sabar, dan ia tidak pernah mendesak Aya untuk mengingat masa lalunya. Cho hanya ada untuk Aya, sebagai teman, dan sebagai orang yang bisa Aya percaya.
Aya tidak tahu apa yang akan terjadi padanya. Ia tidak tahu apa yang akan ia hadapi di masa depan. Tapi ia tahu, ia tidak sendirian. Ia punya Cho, dan ia punya harapan. Ia akan memulai hidupnya yang baru dengan semangat, dan ia akan mencoba untuk menemukan siapa dirinya yang sebenarnya.