(Catatan: Cerita ini adalah karya fiksi yang menggunakan karakter dari dunia Harry Potter untuk tujuan hiburan semata. Cerita, alur, dan karakteristik para tokoh tidak berhubungan dengan alur cerita resmi.)
Bantuan yang Berujung Kesalahpahaman
Beberapa minggu terakhir, Aya menghabiskan sebagian besar waktunya dengan Draco Malfoy. Saat Draco kesulitan memahami mantra, Aya membantunya. Ketika Draco terluka saat pelajaran Latihan Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam, Aya menyembuhkan lukanya dengan sihirnya yang unik. Saat Draco merasa kecil di bawah bayang-bayang ayahnya, Aya memberikan kata-kata dukungan yang tulus.
Aya melakukannya karena ia merasa Draco membutuhkan seseorang yang bisa ia percaya. Namun, ia tidak menyadari bahwa perhatiannya pada Draco telah membuat teman-temannya sendiri merasa diabaikan.
Suatu sore, Aya duduk sendirian di meja Ravenclaw. Biasanya, ia akan dikelilingi oleh Hermione, Harry, dan Ron, atau Fred dan George. Namun, hari itu, mereka semua duduk di meja Gryffindor, jauh darinya.
Aya memutuskan untuk menghampiri mereka. Ia berjalan ke meja Gryffindor dan menyapa mereka.
"Hai, kalian sedang apa?" tanya Aya.
Hermione hanya membalasnya dengan senyuman kecil. Harry dan Ron sibuk berbicara. George dan Fred bahkan tidak menoleh ke arahnya.
Aya merasa aneh. "Ada apa? Kalian terlihat... tidak seperti biasanya."
Ron menatapnya. "Tidak ada apa-apa," jawabnya dingin.
"Aya, kau sibuk sekali akhir-akhir ini," kata Hermione, nadanya terdengar kecewa.
"Aku... maaf," kata Aya, "Aku hanya... membantu seseorang."
"Kami tahu siapa," kata Fred, suaranya terdengar sinis, "Kau membantu musuh kami. Kau menghabiskan waktumu dengan si Rambut Platinum."
"Draco?" tanya Aya. "Dia bukan musuh. Dia hanya... butuh teman."
"Teman?" tanya George, dengan nada mencemooh, "Sejak kapan Malfoy jadi teman? Dia bahkan mengejek kita setiap kali dia melihat kita."
"Dia sudah berubah!" kata Aya, membela Draco, "Dia hanya... butuh waktu untuk menjadi orang yang lebih baik."
"Kau membelanya?" tanya Hermione, terkejut. "Setelah semua yang dia lakukan pada kita?"
"Dia tidak seburuk itu," kata Aya.
"Sepertinya kau lupa dengan siapa kau berteman," kata Harry. "Kami adalah teman-temanmu. Kami yang selalu ada untukmu."
Aya merasa sakit. "Aku tidak pernah lupa. Aku hanya... Aku mencoba untuk membantu seseorang."
"Kau terlalu sibuk membantu musuh kami sampai kau lupa dengan teman-temanmu," kata Hermione, nadanya terdengar seperti ia akan menangis.
Aya merasa hatinya hancur. "Aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya... Maaf."
"Tidak apa-apa," kata Hermione, berdiri dari mejanya. "Kita bicara lagi nanti."
Hermione, Harry, dan Ron berjalan pergi, meninggalkan Aya sendirian. Fred dan George juga ikut pergi, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Aya merasa hancur. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tidak bermaksud menyakiti perasaan teman-temannya. Ia hanya ingin membantu Draco. Ia sekarang sendirian. Ia duduk kembali di mejanya, dan air matanya jatuh.
Pada saat itu, ia menyadari, jalan untuk membantu Draco tidak akan mudah. Ia harus bisa menyatukan kembali teman-temannya, dan ia harus bisa menjelaskan pada mereka bahwa Draco tidak seburuk itu. Dan ia tahu, ia harus melakukannya sendiri, tanpa bantuan siapa pun.
Rahasia di Tepi Danau
Malam itu, setelah seharian merasa hancur, Aya menerima sebuah catatan dari Draco. Singkat, padat, dan langsung ke intinya: Temui aku di Danau Hitam, sekarang. Aya tahu ini akan menjadi pertemuan yang serius. Ia menyelinap keluar dari asramanya, hatinya berdebar tak karuan.
Ia menemukan Draco berdiri di tepi danau, memandang pantulan bulan di permukaan air. Wajahnya yang biasanya dingin kini terlihat murung.
"Draco," panggil Aya, suaranya pelan.
Draco menoleh. "Aya," katanya, suaranya lembut. "Aku dengar apa yang terjadi."
Aya menatapnya dengan terkejut. "Bagaimana kau tahu?"
"Aku punya mata-mata," jawab Draco, mencoba bercanda, tapi gagal. "Aku minta maaf. Ini semua salahku."
"Bukan, ini bukan salahmu," kata Aya. "Aku yang terlalu fokus padamu sampai lupa dengan teman-temanku."
Draco menghela napas. "Tidak, Aya. Aku yang egois. Aku hanya ingin kau menjadi milikku, dan aku tidak peduli dengan orang lain."
Aya memegang tangan Draco. "Kau tidak egois. Kau hanya... mencoba menemukan jalanmu."
Draco menatap Aya, matanya yang abu-abu berkilau di bawah sinar bulan. "Aku... aku tidak ingin hanya berteman denganmu lagi. Aku... aku ingin lebih dari itu."
Aya merasa jantungnya berdebar kencang. "Draco..."
"Aya, aku mencintaimu," bisik Draco. "Aku tahu ini gila. Tapi... aku tidak bisa menyangkal perasaanku lagi. Aku mencintaimu."
Aya tidak bisa berkata-kata. Ia hanya menatap Draco, air matanya mengalir di pipinya. Ia memeluk Draco dengan erat. "Aku juga mencintaimu," bisiknya.
Mereka berpelukan di bawah cahaya bulan, menjalin hubungan rahasia yang tidak diketahui siapa pun.
Draco melepaskan pelukan itu, menatap Aya dengan serius. "Kita harus merahasiakannya. Jika orang lain tahu... itu akan berbahaya. Terutama bagi ayahku."
Aya mengangguk. "Aku mengerti."
"Tapi, kau harus berbaikan dengan teman-temanmu," kata Draco. "Aku tahu mereka marah, tapi... mereka adalah teman-temanmu. Mereka yang selalu ada untukmu."
"Kau tahu, aku sudah mencoba," kata Aya, "Tapi mereka tidak mau mendengarku."
"Kau harus mencoba lagi," kata Draco. "Aku akan mendukungmu. Aku akan memberimu waktu untuk mereka. Aku akan memberikanmu kesempatan untuk memperbaiki semuanya."
Aya tersenyum. "Terima kasih, Draco."
Draco mengusap pipi Aya. "Tidak perlu berterima kasih. Sekarang, pergilah. Berbicara dengan mereka. Aku akan menunggumu."
Aya mengangguk. Ia tahu, Draco benar. Ia harus berbaikan dengan teman-temannya. Ia harus bisa membagi waktunya untuk semua orang. Ia harus bisa mendapatkan kembali kepercayaan mereka. Dan ia akan melakukannya, demi dirinya sendiri, dan demi Draco. Ia meninggalkan Draco di tepi danau, lalu ia kembali ke kastil, siap untuk menghadapi teman-temannya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi ia tahu, ia tidak akan menyerah.