(Catatan: Cerita ini adalah karya fiksi yang menggunakan karakter dari dunia Harry Potter untuk tujuan hiburan semata. Cerita, alur, dan karakteristik para tokoh tidak berhubungan dengan alur cerita resmi.)
Perbincangan Malam Hari
Malam harinya, Aya Sakura pergi ke ruangan Dumbledore. Ruangan itu hangat dan nyaman, dipenuhi dengan buku-buku dan benda-benda aneh yang berdetak dan berdesir. Dumbledore duduk di mejanya, menulis sesuatu dengan pena bulu.
"Ayah," panggil Aya, suaranya pelan.
Dumbledore mendongak, tersenyum hangat. "Aya, putriku. Ada apa? Kau terlihat murung."
Aya duduk di kursi di hadapan Dumbledore. "Ayah, aku... aku ingin bertanya sesuatu."
"Tentu. Tanya saja apa yang ingin kau ketahui," jawab Dumbledore, menaruh pena bulunya.
"Tentang Draco Malfoy," kata Aya, ragu-ragu. "Aku tahu ia adalah musuh dari teman-temanku, dan sering sekali mengejekku. Tapi tadi sore, ia berbicara denganku dengan cara yang berbeda. Aku tidak tahu harus berpikir apa."
Dumbledore tersenyum, matanya berbinar. "Ah, Draco. Dia adalah anak yang rumit."
"Ia terlihat seperti orang yang keras kepala dan jahat," kata Aya.
"Memang terlihat seperti itu," kata Dumbledore, "Tapi, kau tahu, Aya, setiap orang punya dua sisi. Terkadang, kita tidak melihat sisi yang lain, karena mereka menyembunyikannya dengan sangat baik."
"Apa yang Ayah tahu tentangnya?" tanya Aya, penasaran.
"Aku tahu keluarganya, keluarga Malfoy," jawab Dumbledore. "Mereka adalah salah satu keluarga penyihir berdarah murni tertua di dunia sihir. Mereka sangat bangga dengan status itu, dan mereka percaya bahwa penyihir berdarah murni lebih baik daripada penyihir lainnya."
"Jadi, itu sebabnya Draco membenci Hermione dan Harry?"
Dumbledore mengangguk. "Ya. Ia dididik untuk berpikir seperti itu sejak kecil. Ia diajari bahwa ia harus berhati-hati dengan siapa ia berteman dan berinteraksi. Ia diajari bahwa ia harus membenci hal-hal yang berbeda, dan ia harus membela hal-hal yang dianggapnya benar, meskipun itu salah."
"Tapi... apakah ia orang yang jahat?"
Dumbledore menggeleng. "Tidak, Aya. Draco tidak jahat. Ia hanya... tersesat. Ia berada di bawah bayang-bayang ayahnya, Lucius Malfoy. Lucius adalah orang yang sangat kuat, dan ia mendidik Draco dengan cara yang ketat."
"Jadi, ia tidak punya pilihan?"
"Ia selalu punya pilihan," kata Dumbledore, "Namun, terkadang, pilihan itu terasa sangat sulit. Seperti melawan keluarga sendiri, melawan apa yang sudah ia percayai seumur hidupnya."
Aya terdiam, mencerna kata-kata Dumbledore. Ia mulai mengerti mengapa Draco begitu membingungkan.
"Kau memiliki hati yang baik, Aya," kata Dumbledore, "Kau bisa melihat kebaikan di dalam diri seseorang, bahkan saat orang lain tidak bisa melihatnya."
"Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan," kata Aya.
"Dengarkan hatimu," kata Dumbledore, "Jika kau ingin menjadi temannya, jadilah temannya. Jika kau merasa ia membutuhkan bantuan, bantulah ia. Jangan biarkan orang lain, bahkan teman-temanmu, mendikte apa yang harus kau lakukan."
Aya tersenyum. Ia merasa lega. Perbincangan dengan Dumbledore memberikannya pencerahan. Ia menyadari, Draco bukan hanya seorang musuh, tapi juga seorang anak laki-laki yang membutuhkan teman. Ia tahu, ia akan memberikan kesempatan pada Draco, dan ia akan mencoba untuk membantunya menemukan jalan yang benar.
"Terima kasih, Ayah," kata Aya, berdiri dan memeluk Dumbledore.
Dumbledore membalas pelukan itu. "Sama-sama, putriku. Sekarang, pergilah tidur. Dan jangan khawatir. Aku akan selalu ada untukmu."
Aya keluar dari ruangan Dumbledore. Ia tahu, Draco Malfoy akan menjadi tantangan besar baginya. Tapi ia juga tahu, ia tidak akan pernah sendirian dalam menghadapi tantangan itu.