Babak 1: Penyesalan dan Benih Ketaatan
Bau kapur barus menusuk hidung, bercampur aroma keringat dingin dan rasa takut yang mencengkeram. Ruang tahanan sempit, dingin dan tak nyaman. Kecelakaan itu—karena kelalaianku saat mengemudi—telah merenggut nyawa seseorang. Bayangan wajah korban terus menghantuiku. Tuduhan lalai, dan keluarga korban menuntut.
"Yah... maafkan aku telah melakukan kesalahan yang tak disengaja," isakku, suara bergetar, perasaan ketakutan yang begitu dalam menggerogoti jiwaku.
Ayah memelukku erat, tubuhnya yang hangat menjadi satu-satunya sumber kekuatan di tengah dinginnya sel. "Ssst... sudahlah, Nak," bisik Ayah, suaranya lembut namun tegas. "Ikhlaslah. Shalat dan berdoa. Ayah akan mencari jalan keluar."
Shalatku sebelumnya hanya rutinitas, gerakan tanpa makna. Karier dan gemerlap dunia telah membutakanku. Kecelakaan ini, ujian yang tak terduga, memaksaku membuka mata. Suara azan dari masjid dekat ruang tahanan, samar dan menusuk, menggetarkan kalbuku. Di balik jeruji besi aku mulai menanam benih ketaatan. Setiap sujud adalah pengakuan dosa, setiap doa adalah permohonan ampun yang sungguh-sungguh.
Seminggu kemudian, kesaksian Pak Hendra menjadi keajaiban. "Bebas?!" teriakku mengalir air mata bahagia. Pelukan Ayah terasa hangat, seperti pelukan yang menyelamatkan. Kebebasan ini bukan hanya dari jeruji besi, tetapi juga dari beban dosa yang berat. Berkat rahmat Allah dan kesaksian Pak Hendra yang melihat korban seperti sengaja menabrakkan diri, pria itu terbukti bunuh diri. Ayah menjadi penjamin. Keluarga korban berdamai.
Di rumah, di antara foto keluarga yang tersenyum hangat, aku termenung. Aku banyak belajar dari peristiwa kemarin, tetapi trauma masih membekas di dalam benakku. Dua hari aku mengurung diri, hanya suara detak jam dinding yang menemani kesunyian dan penyesalanku yang mendalam. Namun sampai kapan aku seperti ini terus? Aku harus bangkit.
Ayah masuk, meletakkan kopi hangat, aromanya harum dan menenangkan. “Sudahlah Dina,” kata beliau yang penuh kasih sayang. “Tenangkan pikiranmu. Ayah sudah memesan tiketmu ke Bali. Seminggu di penginapan keluarga. Anggap ini liburan untuk memulihkan diri.”
Babak 2: Ketenangan di Pulau Dewata, Persahabatan yang Tak Terduga
Dua hari kemudian, aku di Bali. Setelah beres-beres di penginapan Dalang House Bali. Aku berjalan di pantai, pasir putih lembut di bawah kaki. Angin Pantai Kuta berembus lembut, membawa aroma laut yang segar. Bayang-bayang kecelakaan itu masih melayang-layang di pikiranku. Namun, kedamaian batin yang kucari seakan sirna. Aku melihat seorang pria asing tampak kebingungan, rambutnya sedikit basah terkena air laut. Pria berkulit putih, bermata sipit, menarik perhatianku.
Aku menghampirinya dengan ragu, dan bertanya, "Excuse me," kataku, suara ombak berdesir di telingaku, "is there anything I can help you with?" Aku menawarkan bantuan padanya.
Ia melepas kacamata hitamnya, memperlihatkan wajah tampan yang membuatku sedikit terkejut. "Astagfirullah," gumamku dalam hati. Hatiku berdebar sedikit lebih cepat.
“Halo, nama saya Dae Hyun, dari Seoul Korea,” jawabnya, logat Korea kental diselingi bahasa Indonesia fasih. Suaranya tenang dan ramah. “Kamu berasal dari Indonesia, kan?”
Aku tersenyum, sedikit gugup. “Iya, benar. Saya Dina.”
Dae Hyun melengkungkan bibirnya, balasan senyum yang ramah dan menenangkan. Ia menguasai bahasa Indonesia dan pernah ke Bali. Ia mencari penginapan murah, Dalang House Bali. Kebetulan sekali, aku tahu penginapan itu dan tak jauh dari pantai. Aku pun mengantarnya. Sepanjang perjalanan, kami berbincang, suara motor beradu dengan suara tawa. Suasana terasa cair dan nyaman.
Percakapan kami mengalir begitu saja. Dae Hyun bercerita tentang pekerjaannya sebagai desainer fashion di Korea, suaranya bersemangat ketika membicarakan desain-desainnya. Ternyata tujuannya ke Bali adalah mencari kedamaian. Ia kelelahan karena kerja keras dan hubungan rumit dengan Yuri, kekasihnya yang posesif. Ia ragu melanjutkan hubungannya, tapi takut menyakiti Yuri.
Ceritanya mengingatkanku pada pengalamanku. Aku berbagi tentang kecelakaan dan hikmahnya: pentingnya ketaatan kepada Tuhan. Beban di pundakku berkurang. Dae Hyun mendengarkan dengan serius, tatapan matanya menunjukkan empati. Kami sampai di penginapan. Aku memperkenalkan Dae Hyun pada Om Komar. Beliau menyambut teman baruku dengan ramah.
Hari-hari berikutnya, kami menjelajahi Bali, menikmati keindahan alamnya. Kami berbincang tentang kehidupan, mimpi, dan harapan. Aku merasa mengenal Dae Hyun dengan baik, kepribadiannya yang tenang dan bijaksana membuatku nyaman. Aku tetap menjaga diri. Aku nyaman bercerita tentang bisnis perhiasan yang kurang baik di Yogyakarta. Dae Hyun mendengarkan dengan penuh perhatian dan empati, memberikan saran yang bijak dan membangun.
Kami menikmati kuliner Bali, rasa pedas dan gurihnya memenuhi lidah. Kami mengabadikan momen indah, suara jepretan kamera mengiringi tawa kami. Suasana santai dan akrab tercipta. Persahabatan kami tumbuh cepat. Aku menemukan kenyamanan. Bali bukan hanya liburan biasa, tapi awal pemahaman baru tentang diriku, ketaatan, dan persahabatan berharga. Dae Hyun, dengan kepekaannya, membantu aku melihat sisi positif dari setiap tantangan.
Babak 3: Jarak dan Doa, Pergulatan Hati
Pesan Ibu bergema di telingaku, “Ingatlah selalu akan Allah, Nak. Ketaatan kepada-Nya kunci kebahagiaan sejati.” Kalimat itu mengingatkanku pada pentingnya keimanan dan doa. Hangatnya matahari Bali masih terasa di kulitku. Liburan di Bali telah menghilangkan sebagian beban pikiran. Dalam perjalanan pulang, zikirku mengalun pelan, menenangkan hati. Aku merasa lebih dekat pada Allah SWT.
Di Bandara YIA, suasana modern berpadu dengan suara gamelan Jawa, menciptakan suasana tenang yang menenangkan. Aku bersyukur perjalanan dari Bali ke Yogyakarta lancar. Aku mengeluarkan ponsel dari tas selempang kecil. Di Bali aku sempat bertukar nomor telepon dengannya. Aku teringat Dae Hyun menyebutkan Kakao Talk. Aku mengunduhnya, secara otomatis Dae Hyun berteman denganku di aplikasi itu.
Aku mengetik pesan: [Hai Dae Hyun! Alhamdulillah, aku sudah sampai di Yogyakarta. Apa kabarmu? Semoga perjalananmu ke Seoul lancar dan selamat.] Aku mengirimnya dengan sedikit ragu, mengharapkan balasan darinya.
Beberapa jam kemudian, notifikasi Kakao Talk berbunyi. Balasannya dari Dae Hyun: [Annyeong, Dina! Kabarku baik. Aku juga baru saja sampai Seoul setelah 8 jam perjalanan. Semoga perjalananmu menyenangkan. Sekarang aku harus istirahat. Aku akan mengirim pesan kembali nanti.] Aku tersenyum membaca pesan terakhirnya.
Komunikasi kami terus berlanjut melalui SMS dan Kakao Talk. Aku tak pernah melupakan kewajiban umat muslim untuk shalat dan membaca Al-Quran. Bagiku mendekatkan diri dengan Allah lebih penting. Setiap chat, aku bercerita tentang kesibukan di toko emas. Berkat saran Dae Hyun, bisnisku maju. Ia selalu mendukung, saran-sarannya bijak dan membangun. Sedangkan Dae Hyun bercerita tentang pergulatan batinnya dengan Yuri.
Suatu hari, suaranya terdengar lesu di telepon. "Dina," katanya pelan, "aku merasa terkekang... Aku ragu melanjutkan hubungan ini..."
Aku mendengarkan dengan sabar, mencoba memahami perasaannya. “Dae Hyun, ingatlah kebaikan dan kebenaran. Carilah jalan terbaik dan bijak. Jangan takut membuat keputusan sulit, asal didasari kejujuran dan kebaikan. Aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu.”
“Terima kasih, Dina,” jawabnya, suaranya terdengar lega, seperti beban berat telah terangkat dari pundaknya. “Kata-katamu memberiku kekuatan.”
Tiga hari kemudian, pesan singkatnya datang. [Aku sudah putus dengan Yuri.] Keputusan Dae Hyun mengakhiri hubungan itu adalah keputusan yang tepat, meskipun berat. Aku merasa lega untuknya.
“Kamu sedang chat dengan siapa, Nak?” tanya Ayah tiba-tiba, suaranya sedikit keras. Aku tersentak, dan buru-buru mematikan ponsel. Dengan ragu, aku menceritakan Dae Hyun pada Ayah.
"Dia hanya teman, Yah," kataku pelan, mencoba menjelaskan. Ia bukan pacarku. Ayah mengungkapkan kekhawatirannya, bukan hanya karena perbedaan agama dan budaya. Ayahku sangat protektif.
Hening. Tengah malam. Aku berdoa setelah usai shalat tahajud. “Ya Allah, aku memohon perlindungan-Mu, bimbing aku untuk memilih jalan yang benar. Aku berserah diri sepenuhnya kepada-Mu, ya Allah. Amin.”
Babak 4: Pengakuan Cinta, Ujian Iman
Dua hari lalu Dae Hyun kembali ke Indonesia. Ia datang ke Yogyakarta untuk menemuiku. Setelah mengantarnya ke hotel dekat Malioboro, aku langsung pulang. Sehari kemudian, ia berjanji akan menghabiskan waktu bersamaku seperti di Bali. Rencana kami menikmati kuliner Yogyakarta, foto-foto, dan membuat video bersama. Aku tetap menjaga batasan.
Di sepanjang jalan Malioboro, ia meraih tanganku, tetapi aku sedikit menyingkir dan menjelaskan bukan muhrim. Dae Hyun mengangguk dan tersenyum. Setelahnya ia menyatakan perasaan cintanya padaku. Aku tertegun, belum sempat menjawab. Kegembiraanku lenyap saat kulihat seorang wanita berkulit putih, berperawakan seperti model, lebih cantik dariku, mendekati Dae Hyun.
"Han Dae Hyun!" Wanita itu memanggilnya, suaranya tajam, raut wajahnya tampak sedih dan marah.
Tiba-tiba kedatangan wanita itu membuat Dae Hyun terkejut. "Kim Yuri..."
Aku juga ikut terkejut. Kenapa Yuri bisa menyusul ke sini? Matanya memerah dan berkaca-kaca. Aura kesedihan terpancar semakin jelas. Air matanya mengalir di pipi.
"Han Dae Hyun! Dangsin-i chaegim-eul jeohaeseoya haeyo!" teriaknya, jelas sekali suara wanita itu penuh keputusasaan dan amarah bercampur menjadi satu.
Aku tak mengerti apa yang dikatakan Yuri, tetapi firasat buruk siap menerkam. Pandangan mataku tertuju saat wanita asal Korea itu mengusap perutnya.
Dae Hyun tampak syok, mulutnya terbuka sedikit, seolah tak mampu berkata-kata. “Heol...?” Ia tampak menatap Yuri dengan mata terbelalak, seperti sangat terkejut dan bingung.
Aku melangkah mendekat, hati berdebar-debar. “Apa maksudnya ini?” tanyaku, suaraku gemetar.
Yuri mengalihkan pandangannya padaku, tatapannya tajam dan menusuk, penuh kebencian. “Aku hamil! Dan Han Dae Hyun harus bertanggung jawab!”
Dunia seakan runtuh. Aku merasa dipermainkan. Aku tak menyangka wanita itu bisa berbahasa Indonesia. Aku berlari menjauhi mereka, kesedihan yang tak terbendung membanjiri jiwaku. Tangisku pun pecah. Aku memarkir motor di pasar Malioboro, tempatku berjanji dengan Dae Hyun. Air mata terus mengalir sepanjang jalan. Aku tak peduli dengan para pengendara di sekitar.
Sesampai di rumah, kulihat Ibu menyiram tanaman. Aku memeluknya erat, menangis tersedu-sedu. Aku tak bisa menjawab pertanyaannya. "Ada apa, Nak?" tanya Ibu lembut, merangkulku. Di ruang tamu, aku menceritakan semuanya. Ketaatanku telah diuji oleh cinta. Aku jatuh cinta pada Dae Hyun. Aku kecewa padanya. Rasa sakit dan kecewa memenuhi hatiku.
"Sudah Ayah katakan padamu," Ayah tiba-tiba datang, suaranya terdengar berat. "Ayah mendengar semuanya. Jatuh cintalah pada seseorang yang bisa menjadi seorang Imam untukmu, Nak. Jangan terburu-buru." Ayahku selalu mengingatkan tentang pentingnya memilih pasangan hidup yang baik.
Aku terus menangis. Aku menolak telepon dan chat dari Dae Hyun. Kemudian aku menghapus aplikasi Kakao Talk. Aku tak tahu harus menyesal atau tidak. Malam harinya aku Shalat Istikharah. Aku meminta petunjuk dari Allah. Aku berserah diri. Aku mengadu keluh kesahku. Dalam hati yang hancur, aku berdoa.
"Ya Allah, Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang, aku berserah diri sepenuhnya kepada-Mu. Aku mengakui ketidakmampuanku sendiri dalam menghadapi perasaan ini. Aku mohon bimbingan-Mu agar aku dapat mengendalikan hati dan pikiran ini, agar aku tidak terjerumus dalam hal yang dilarang-Mu. Berikanlah aku kekuatan untuk melawan godaan ini dan fokus pada hal-hal yang lebih bermanfaat. Anugerahkanlah kesabaran dan keikhlasan dalam menerima takdir-Mu. Aamiin."
Babak 5: Kebenaran Terungkap, Pelabuhan Hati
Dua bulan berlalu, bayang-bayang Dae Hyun masih menghantui. Suatu siang, ketukan pintu memecah lamunanku. Aku membukanya, dan di sana berdiri Dae Hyun. Wajahnya lebih tenang, namun masih tampak tegang. Sebelum aku bicara, Ibu dan Ayah sudah menyambutnya—Ayah dengan wajah waspada yang tak bisa disembunyikan. Aku bergabung, jantungku berdebar-debar, campuran penasaran dan gugup yang menyesakkan.
“Masuk, Nak,” kata Ayah, suaranya ramah, tetapi matanya masih tajam. Ibu menyuruh Dae Hyun duduk. Aku duduk juga, bertanya-tanya ada apa gerangan ia datang ke rumah? Dae Hyun tahu rumahku dari mana?
Dae Hyun tampak kikuk, tangannya mengepal di sisi tubuh. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, “Pak, Bu, Dina,” suaranya sedikit gemetar, “saya... saya ingin menjelaskan semuanya. Saya menemukan beberapa informasi tentangmu secara online, termasuk nama tokomu. Dari situ, saya bisa melacak lokasi tokomu melalui Instagram dan kemudian menggunakan Google Maps untuk menemukan alamat tokomu. Tokomu tutup saat aku sampai di sana, tetapi beberapa orang di sekitar tokomu berbaik hati memberi tahu alamat rumahmu.” Jeda. Hening. Hanya suara detak jantungku yang terasa begitu nyaring.
Dae Hyun menjelaskan ada yang janggal. Mereka pernah berpacaran tetapi tak pernah tinggal serumah. Dae Hyun tak pernah melakukan hubungan badan dengan Yuri. Ia sempat kembali ke Korea, sehari setelah kemarahan Yuri.
Ia mengeluarkan ponselnya, jari-jarinya terlihat gemetar saat membuka video. “Ini rekaman Yuri. Dia berbohong.”
Ayah dan Ibu saling berpandangan, sebuah percakapan bisu terjadi antara mereka. Ibu mengangguk kecil ke arah Ayah, memberi isyarat untuk melanjutkan. Ayah mengambil ponsel itu, jarinya menyentuh layar, mengamati dengan saksama. Ibu menatapku, matanya menanyakan sesuatu yang tak perlu diucapkan. Aku hanya bisa mengangguk, jantungku berdebar kencang. Tekanan di dadaku semakin kuat.
Dae Hyun memutar video. Wajah Yuri memenuhi layar, air mata membasahi pipinya, suaranya terisak-isak. Pengakuannya detail, terbata-bata, diselingi isakan yang menyayat hati. Ketakutan kehilangan Dae Hyun, itulah alasan kebohongannya. Kebenaran yang pahit, namun membebaskan. Aku merasakan beban di pundakku sedikit berkurang.
Setelah video selesai, hening. Hening yang berat, dipenuhi emosi yang belum terungkap. Aku menatap Dae Hyun, menunggu. Harapan dan ketakutan bercampur aduk dalam hatiku.
“Jadi… dia berbohong?” tanyaku, suaraku serak.
“Iya,” jawab Dae Hyun, matanya menatapku penuh harap, penuh penyesalan. “Maafkan aku, Dina. Aku… aku sangat mencintaimu.” Tatapannya dalam, mencari jawaban, memohon maaf. Air mata mulai menggenang di sudut matanya, menunjukkan ketulusan yang tak bisa dipungkiri. Perlahan, perlahan, perasaan bersalahku mulai memudar.
Ayah mengangguk pelan ke arah Ibu, sebuah persetujuan tanpa kata. “Nak Dae Hyun,” Ayah memulai, suaranya lebih lembut, “kami telah mendengar penjelasanmu. Kami melihat kesungguhanmu.” Sebuah beban berat terangkat dari pundakku.
Ibu mengambil kotak tisu, memberikannya kepada Dae Hyun dengan lembut. “Nak, jika kamu sungguh-sungguh mencintai Dina, apakah kamu bersedia menjadi mualaf?” Suaranya lembut, tetapi tegas. Ini bukan pertanyaan biasa; ini ujian. Ujian yang menentukan masa depanku.
Dae Hyun mengangguk mantap, air mata tampak membasahi pipinya. Ia mengambil tisu, menyeka air mata dengan tangan gemetar. “Iya, Pak, Bu. Saya bersedia. Saya sungguh-sungguh mencintai Dina, dan saya ingin menjadi bagian dari keluarganya. Saya ingin membina rumah tangga dengannya di bawah naungan agama Islam.” Suaranya mantap, penuh keyakinan. Sebuah keyakinan yang membuatku terharu.
Di masjid, suasana khidmat menyelimuti. Kyai membimbing Dae Hyun mengucapkan dua kalimat syahadat. Lancar, mantap, suara Dae Hyun bergetar, tetapi penuh keyakinan. “Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah.” Air mata haru membasahi pipinya. Pelukan Ayah dan Ibu menyatukan kami, menyatukan keluarga kami dalam ikatan cinta dan iman. Rasanya seperti mimpi.
Sehari setelahnya, pernikahan kami berlangsung. “Saya terima nikah dan kawinnya, Dina Sekar Kirana binti Muhammad Dalang, dengan mas kawin dan seperangkat alat sholat dibayar tunai,” ucap Dae Hyun, lantang, mantap. Ijab kabul, suara yang menggemakan awal babak baru dalam hidup kami. Alhamdulillah. Aku membangun pelabuhan hatiku pada seorang mualaf, sebuah cinta yang dibangun di atas dasar keimanan dan ketaatan kepada Allah, sebuah cinta yang diridhoi-Nya. Akhirnya, aku menemukan kebahagiaanku.