Sebelum dunia bernafas, sebelum cahaya mengenal bayangan, para dewa berjalan di antara gema kekosongan, terikat oleh ikatan hati yang suci.
Namun mereka bukan daging dan darah, bukan pula roh seperti yang manusia kenal.
Mereka adalah jelmaan dari konsep yang tak bernama—
dan siapa pun yang mencoba memahami wujud mereka sepenuhnya akan terjerembab dalam kegilaan yang tak berakhir.
Keselarasan itu rapuh.
Perbedaan yang tak pernah bisa dijembatani tumbuh menjadi bara, lalu menjadi api.
Perang meletus, dan dari bara itulah kehidupan—kita—lahir, tak lebih dari kebetulan dalam badai kehancuran.
Void—ruang tanpa arah dan tanpa batas—menjadi arena akhir perdebatan mereka.
Di sanalah makhluk-mahluk mahakuasa saling menelan dan meremukkan satu sama lain,
mencabik-cabik keberadaan, menghapus sebagian wujud dari sejarah semesta.
Tidak ada langit, tidak ada bumi—hanya gelap yang berdenyut, bergetar oleh jeritan kekuatan purba.
Dan saat segalanya hampir hilang… Mereka turun.
Bukan sekadar lebih kuat—Mereka adalah hukum yang melahirkan hukum.
Nama-Nama yang bahkan dewa pun tak berani sebut.
Berasal dari ketiadaan murni, Mereka melangkah,
dan dengan tatapan yang tak memiliki emosi,
Mereka memusnahkan siapa saja yang berani menolak kehendak-Nya.
Keheningan yang Mereka tinggalkan lebih mengerikan dari perang itu sendiri.
“Bagaimana? Sekarang kau mengerti?”
“Yang aku mengerti… hanyalah ini kedengaran seperti cerita anak-anak.”
Lelaki itu berdiri, kursinya mengerang pelan saat bergeser.
“Aku tak punya waktu untuk dongeng. Fikirkan kisah lain.”
Aku hanya menatap punggungnya yang menjauh,
senyum tipis membeku di wajahku.