Saya bingung setelah melihat dokumen-dokumen ini… sembilan tusukan pada organ vital, kepala, jantung, hati, paru-paru, dan perut…. Siapa yang tidak memiliki hati sehingga sanggup melakukan perkara yang tidak manusiawi ini.
Apa yang saya sadari adalah pola pembunuhan yang sangat terencana… pihak forensik mengatakan mayat-mayat belum mulai membusuk, saya juga mendengar bahwa tusukan yang ada pada mayat-mayat ini sama dengan mayat ini, sembilan tusukan, kepala, jantung, hati, paru-paru, dan perut…
Aku menutup dokumen itu. Perasaan buntu benar-benar menghantui diri ini. “Apa sebenarnya yang dia inginkan?“
Aku menatap foto yang terpanjang di dinding, “Camilla… apa yang harus aku lakukan?“
Aku meletakkan gagang telepon perlahan-lahan. Ruangan kembali sunyi, namun kata-kata itu—sembilan lagi—terus bergema di kepalaku.
Di sudut ruangan, papan putih berdiri, kosong dan menunggu. Aku meraih kotak bukti dari bawah meja, menarik keluar foto-foto yang dibungkus dalam plastik transparan. Bau kertas lama dan debu segera menyambut.
Satu demi satu, aku tempelkan foto korban di papan. Ada wajah pucat kaku, ada tubuh tergeletak di lorong sempit, ada lantai berlumuran darah. Setiap foto diambil dari sudut berbeda, namun satu hal sama—sembilan tusukan di organ vital.
Aku tambahkan foto lokasi kejadian. Lorong belakang toko lama, kamar hotel murah, rumah banglo yang gelap—semuanya berbeda, tidak ada kaitan jelas. Aku mencoba mencari persamaan: jarak, susunan barang, arah tubuh korban.
Spidol hitam di tanganku mulai bergerak, menghubungkan korban dengan lokasi, menandai waktu pembunuhan, dan menyisipkan catatan kecil dari laporan forensik. Perlahan-lahan, papan putih itu berubah menjadi peta kematian.
Tapi ketika aku menarik sedikit ke belakang untuk melihat keseluruhan susunan, darahku terasa membeku. Foto-foto itu, tanpa aku sadari, membentuk simbol aneh—garis melengkung dan titik yang mengingatkanku pada sesuatu… sesuatu yang pernah aku lihat di tempat kejadian dua tahun lalu.
Dan seolah-olah pintu ingatan terbuka sendiri, aku kembali ke malam itu.
Hujan turun deras, membasahi lorong sempit di belakang sebuah bangunan usang. Lampu jalan berkedip-kedip, memantulkan kilau pada genangan air yang bercampur darah. Bau logam dan busuk menusuk hidung.
Dia terbaring di situ—korban terakhir sebelum kasus itu ditutup. Wajahnya pucat, mata terbuka lebar memandang langit yang tak peduli. Sembilan tusukan yang sama, dengan ketepatan yang mengerikan.
Tapi yang paling mengganggu… adalah dinding bata di belakangnya. Di sana, dengan darah pekat, terlukis simbol yang sama seperti di papan putihku sekarang. Simbol itu bukan sekadar coretan—garisnya begitu rapi, seolah dibuat oleh tangan yang sudah lama berlatih.
Ketika aku hampir menyentuhnya, suara di belakangku berbisik:
“Kalau kau paham maksudnya… kau akan jadi yang berikutnya.”
Aku berbalik, tapi lorong itu kosong.
…
“Tuan!” Suara itu memecah lamunanku.
“Apa? Bukankah aku sudah suruh kamu mencari informasi di tempat kejadian?” tanyaku, nada sedikit tidak sabar.
“Err… saya tidak bisa memastikan… tapi ini ada kaitan dengan kasus dua tahun lalu…”
Kata-kata itu membuat jantungku berdebar kencang. Napas terasa berat. Apakah Tuhan sengaja ingin aku hancur… bisikku, terlalu pelan untuk orang lain dengar.
Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri.
“Tuan… Anda oke, kan?” suara perempuan itu lembut, ragu-ragu.
“Ya… apa kamu lihat mata ini seperti mata orang yang sehat?” balasku sambil meraih cangkir di atas meja.
Aku bangun, menggenggam cangkir itu terlalu kuat. Langkahku tidak lurus, seakan orang mabuk yang mencari arah.
“Err… Tuan…”
“Apa lagi yang kamu mau?” tanyaku sambil menoleh.
“Bukankah kopi itu belum cukup? Saya rasa… sepuluh saset sehari sudah melampaui batas normal manusia.”
“Sepuluh saset… iya kah?” aku mengulang, seolah-olah memeriksa fakta itu.
Dia mengangguk, wajahnya separuh cemas, separuh tidak percaya.
Aku tertawa, tapi nadanya keras. “Nama aku Alfie. Seratus cangkir pun belum cukup untuk menumbangkan aku!”
Dia mencoba membalas, “Tapi… dengan empat cangkir per sepuluh saset sehari… saya rasa Tuan akan terkena sakit jantung lebih awal—”
“Mia! Apakah kamu baru saja mendoakan aku mati?” potongku, kening terangkat, separuh serius, separuh sinis.