Pagi berikutnya, lapangan Quidditch diselimuti kabut tipis. Dinginnya udara tidak mengurangi semangat para pemain Ravenclaw. Yn, yang sudah mengenakan seragam Quidditch-nya, mengecek sapu terbangnya untuk terakhir kali. Rambut cokelatnya diikat kencang, matanya yang fokus menatap ke arah lapangan. Ia adalah seorang Seeker, dan hari ini, musuh mereka adalah Slytherin.
Di sisi lain lapangan, Draco Malfoy berdiri dengan pongah di tengah timnya. Matanya yang kelabu sesekali melirik ke arah Yn. Ia mengenali sapu terbang yang Yn gunakan, itu adalah sapu terbang favorit Yn sejak kecil.
Wasit meniup peluit, dan pertandingan dimulai. Bola Bludger melesat di udara, para Chaser saling berebut Quaffle, namun mata Yn hanya tertuju pada satu hal: Golden Snitch. Ia terbang memutari lapangan, naik dan turun, dengan lincah menghindari Bludger yang dilemparkan oleh Beater Slytherin.
Di tengah-tengah pertandingan, Yn melihatnya. Kilatan emas yang begitu kecil, melaju dengan cepat di antara para pemain. Itu adalah Golden Snitch. Ia langsung melesat mengejarnya, mengabaikan segala hal di sekitarnya. Namun, saat ia mendekat, bayangan lain juga mendekat. Itu adalah Draco, Seeker Slytherin.
"Menyerahlah, Maddalane," teriak Draco, suaranya dipenuhi arogansi. "Kau tidak akan pernah bisa mengalahkanku."
Yn tidak menjawab, ia hanya fokus pada Snitch. Ia tahu Draco hanya mencoba memancingnya. Mereka berdua terbang berdampingan, persis seperti masa lalu. Namun, kali ini, bukan lagi permainan, melainkan pertarungan.
Tiba-tiba, Draco mengayunkan sapunya, mencoba menabrak Yn. Yn dengan sigap menghindar, namun ia kehilangan keseimbangan, dan sapunya oleng. Tanpa disengaja, ia menabrak pemain Gryffindor, Harry Potter. Harry marah, ia berteriak pada Yn, "Awas, Maddalane!"
Draco tertawa sinis, "Lihat? Kau menyusahkan semua orang."
Yn tidak peduli. Ia kembali fokus. Ia melirik ke arah Snitch yang kini melaju ke arah tribun penonton. Ia mengayunkan sapunya, mengejar Snitch dengan kecepatan penuh. Draco mengikuti di belakangnya.
Yn tahu ia harus mengambil risiko. Ia tidak bisa membiarkan Draco menang. Dengan sekuat tenaga, ia mengulurkan tangannya, jari-jarinya menegang. Tangannya terasa terbakar, namun ia tidak peduli. Ia hanya memikirkan satu hal, kemenangan.
"Aeternum Felix," bisiknya, tanpa suara, diiringi memori kenangan manis saat ia mengobati luka Draco.
Seketika, sebuah cahaya kebiruan muncul di jari-jarinya. Itu adalah sihir dari mantra penyembuh yang diberikan Draco. Snitch yang melihat cahaya itu, langsung melambat dan terbang ke arah Yn.
Yn berhasil menangkapnya. Ia mengepalkan tangannya, dan Snitch itu berhenti bergetar. Wasit meniup peluit panjang, dan sorak sorai penonton memecah udara.
Yn menatap Draco, yang menatapnya dengan tatapan tak percaya, kaget, dan bingung. Yn hanya tersenyum tipis, lalu turun dari sapunya.
Kemenangan itu bukan hanya miliknya, namun milik mereka berdua.
Yn mendarat dengan anggun, memegang erat Golden Snitch di tangannya. Senyum lebar tak lepas dari bibirnya saat ia berjalan menghampiri Draco yang baru saja turun dari sapunya. Tanpa ragu, Yn mengulurkan tangannya, memamerkan Snitch yang bergetar.
"Lihat ini, Malfoy," kata Yn, suaranya dipenuhi nada kemenangan. "Aku menang."
Mata Draco menyala penuh amarah. Ia terlihat sangat kesal. Ia mendorong Yn ke dinding di belakangnya, mengurungnya dengan kedua lengan di samping kepala Yn. Wajahnya begitu dekat hingga Yn bisa merasakan napasnya yang hangat.
"Jangan sombong!" desis Draco. "Kau hanya beruntung. Aku tahu kau curang. Cahaya aneh itu... kau pakai mantra, kan?" Draco memukul pelan kepala Yn.
Yn hanya diam, tak gentar sedikit pun. Ia tahu Draco hanya mencoba menutupi kekesalannya.
"Lagipula, kau itu bodoh," lanjut Draco. "Kau terlalu baik. Kau seharusnya tidak menggunakan mantra itu untuk menang. Itu mantra penyembuh."
Yn menatap Draco, matanya yang tajam menantang. "Bukankah kau yang memberikannya?"
Draco terdiam. Suasana menjadi hening. Draco kembali mendekat, kali ini tatapannya melunak. Ia kembali memukul pelan kepala Yn, lebih lembut dari sebelumnya.
"Bodoh," bisiknya pelan, lalu menyatukan bibir mereka. Ciuman itu singkat, namun sarat akan emosi yang rumit. Saat mereka berpisah, Draco tersenyum kecil. Senyum yang jarang ia tunjukkan pada orang lain.
"Lain kali, jangan sampai terluka lagi," ucap Draco, lalu ia berbalik dan pergi, meninggalkan Yn yang masih tertegun di dinding.
Yn menatap punggung Draco yang menjauh. Hatinya dipenuhi perasaan hangat. Ia tahu, di balik sikap sombong dan arogannya, Draco memiliki sisi lain yang hanya ia tunjukkan pada Yn. Dan entah kenapa, Yn merasa ini adalah kemenangan terbaik yang pernah ia dapatkan.