Di lorong kelas yang bising, Jeno bersandar di loker dengan tatapan mata yang tak pernah lepas dari sosok itu. Sosok yang sudah beberapa bulan ini mengisi hari-harinya dengan getaran aneh di dada.
Park Jisung.
Jeno masih ingat betul, bagaimana pertama kali ia melihat Jisung. Saat itu, Jisung sedang tertawa lepas bersama Chenle, wajahnya memerah, matanya menyipit menjadi garis lucu, dan tangannya menepuk bahu Chenle dengan gemas.
Pemandangan itu, entah kenapa, langsung mengunci pandangan Jeno.
Sejak saat itu, Jeno mulai menyadari keberadaan Jisung di mana pun ia berada. Di kantin, di perpustakaan, di lapangan basket, bahkan di depan gerbang sekolah saat pulang.
Jeno seperti memiliki sensor otomatis yang selalu aktif begitu Jisung berada di sekitarnya.
Awalnya, Jeno menganggap itu hanya rasa penasaran biasa. Namun, seiring berjalannya waktu, rasa itu berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam.
Jeno mulai mencari-cari cara untuk bisa dekat dengan Jisung. Ia sering pura-pura ke toilet padahal hanya ingin melihat Jisung yang sedang bermain basket. Ia bahkan rela duduk di kantin sendirian hanya untuk bisa mendengarkan tawa Jisung yang renyah dari kejauhan.
Hari ini, Jeno memutuskan. Ia tidak bisa lagi menyembunyikan perasaannya. Ia harus menyatakan perasaannya pada Jisung. Jeno menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan seluruh keberaniannya. Ia berjalan pelan menghampiri Jisung yang sedang membereskan buku di lokernya.
"Jisung," panggil Jeno pelan.
Jisung menoleh, matanya yang bulat mengerjap lucu. "Oh, Kak Jeno? Ada apa?"
"Ada yang mau aku omongin." Jeno mencoba terdengar setenang mungkin, padahal jantungnya sudah berdetak tak karuan.
Jisung mengangguk, lalu menutup lokernya. "Mau ngomong di mana?"
"Di taman belakang sekolah aja. Sepi."
Jeno berjalan lebih dulu, diikuti Jisung di belakangnya. Di sepanjang jalan, tidak ada satu pun kata yang keluar dari mulut mereka. Jeno sibuk merangkai kata-kata di kepalanya, sedangkan Jisung hanya berjalan santai sambil bersiul kecil.
Sesampainya di taman, mereka duduk di bangku panjang di bawah pohon rindang.
Jeno menyandarkan punggungnya, lalu menatap Jisung yang sedang memainkan daun kering.
"Jisung," panggil Jeno lagi.
Jisung mendongak, matanya menatap Jeno dengan polos. "Iya, Kak?"
"Aku... aku suka sama kamu."
Jisung terdiam. Matanya yang tadi berbinar kini sedikit meredup. Ia menunduk, lalu kembali memainkan daun kering. "Kak Jeno serius?"
"Iya, serius. Aku suka sama kamu dari... dari pertama kali aku lihat kamu ketawa di kantin bareng Chenle," jawab Jeno jujur.
"Tapi... Kak Jeno kan... cowok?"
Jeno tersenyum tipis. "Emang kenapa kalau aku cowok? Aku suka kamu bukan karena kamu cowok atau cewek, tapi karena kamu ya kamu, Jisung."
Jisung mendongak lagi, matanya menatap Jeno penuh arti. Ada semacam keraguan di sana, tapi Jeno bisa melihat kilatan lain yang sulit ia artikan.
"Aku... aku gak tau harus jawab apa, Kak," kata Jisung pelan.
"Kamu gak perlu jawab sekarang. Aku cuma mau kamu tau perasaan aku," Jeno membalas dengan lembut.
Setelahnya, keheningan menyelimuti mereka. Jeno menunggu. Menunggu jawaban yang mungkin tidak akan pernah ia dapatkan. Ia tahu, perasaannya ini tidak wajar bagi sebagian orang.
Namun, Jeno tidak peduli. Perasaannya pada Jisung terlalu kuat untuk ia abaikan.
Beberapa hari setelahnya, Jisung mulai menghindari Jeno.
Setiap kali Jeno mencoba mendekat, Jisung akan pergi. Di kantin, Jisung memilih duduk di meja lain.
Di perpustakaan, Jisung selalu mencari tempat yang jauh dari Jeno. Jeno merasa sedih. Ia tahu, penolakannya ini memang menyakitkan. Namun, ia tidak menyangka jika Jisung akan menghindarinya sampai seperti ini.
Suatu sore, saat Jeno sedang duduk sendirian di taman belakang, ia melihat Jisung berjalan sendirian. Jeno mengumpulkan seluruh sisa keberaniannya dan memutuskan untuk menghampiri Jisung.
"Jisung, tunggu," panggil Jeno.
Jisung berhenti, namun tidak menoleh.
"Aku... aku minta maaf kalau aku bikin kamu gak nyaman," kata Jeno dengan nada lirih. "Aku gak akan maksa kamu buat suka sama aku. Tapi... aku cuma mau bilang, aku gak mau kehilangan kamu sebagai teman. Aku... aku kangen sama kamu, Jisung."
Perlahan, Jisung menoleh. Matanya berkaca-kaca. Ia memeluk Jeno dengan erat. "Aku juga minta maaf, Kak. Aku gak bermaksud hindarin Kak Jeno. Aku cuma... bingung."
Jeno membalas pelukan Jisung. "Bingung kenapa?"
"Aku... aku gak pernah ngerasa kayak gini sebelumnya. Ada cowok yang... nembak aku." Jisung melepaskan pelukannya, lalu menatap Jeno dengan mata sembab. "Aku gak tau apa ini bener atau salah, tapi... aku gak bisa bohongin diri aku sendiri kalau aku juga... suka sama Kak Jeno."
Jeno membeku. Ia tidak salah dengar, kan? Jisung... membalas perasaannya?
"Jisung... kamu serius?" tanya Jeno tak percaya.
Jisung mengangguk, air matanya mulai menetes. "Iya, Kak. Aku serius. Aku... aku juga suka sama Kak Jeno."
Jeno tersenyum lebar. Senyum yang selama ini hanya bisa ia tunjukkan saat melihat Jisung tertawa dari kejauhan, kini ia tunjukkan langsung di depan Jisung. Ia menghapus air mata di pipi Jisung, lalu menangkup wajah Jisung dengan kedua tangannya.
"Jangan nangis," kata Jeno lembut. "Mulai sekarang, kamu gak boleh nangis lagi. Ada aku yang jagain kamu."
Jisung kembali tersenyum, kali ini senyum yang lebih tulus. "Makasih, Kak Jeno."
Jeno tidak bisa menahan dirinya. Ia mendekatkan wajahnya, lalu mencium bibir Jisung dengan lembut. Ciuman pertama yang penuh dengan perasaan tulus dan kelegaan. Setelah ciuman itu berakhir, Jeno memeluk Jisung lagi, kali ini dengan pelukan yang lebih erat.
"Jadi... kita pacaran sekarang?" tanya Jeno dengan suara berbisik.
Jisung mengangguk di dalam pelukan Jeno. "Iya, Kak."
"Panggil aku 'sayang' mulai sekarang," goda Jeno.
Jisung mendongak, wajahnya memerah. "Iya... sayang."
Jeno tertawa gemas. Ia mengacak-acak rambut Jisung, lalu mencium puncak kepala Jisung. "Aku sayang kamu, Jisung."
"Aku juga, sayang," balas Jisung.
Hari itu, di taman belakang sekolah, di bawah pohon rindang, Jeno dan Jisung memulai kisah cinta mereka. Kisah cinta yang mungkin tidak akan pernah mereka duga, namun menjadi kisah cinta paling indah yang pernah mereka miliki. Jeno akhirnya mendapatkan apa yang selama ini ia inginkan. Hati Jisung.