Sore itu hujan turun dengan deras membasahi seluruh tubuhku. Aku berlari sambil melindungi diriku dari hujan dengan sebuah syal kacil. Aku frustasi, beberapa tahun belakangan ini hidupku terasa dijatuhi sebuah beban yang amat berat. Aku sudah mencari pekerjaan dimana-mana, semua uangku telah ku habiskan hanya untuk mengirim surat lamaran pekerjaan. Tapi, belum ada satu perusahaan pun yang menerima ku. Aku berteduh di sebuah kedai roti tua yang sudah tutup. Di seberang jalan, ada sebuah bengkel besar dengan pegawai yang lumayan banyak. Sempat terpikir di benakku, mungkin saja aku bisa bekerja di sana. Malamnya, aku berdoa pada Tuhan. Berharap Tuhan akan mengabulkan permohonan ku supaya aku bisa bekerja di bengkel itu. Besok paginya, aku pergi kembali ke sana. Di dalam bus, naik seorang anak kecil penjual koran. Dia memaksaku untuk membeli korannya, tapi aku menolak. Dia tak mengatakan apapun dan langsung turun dari bus. Sampainya di pusat kota, aku berjalan menuju bengkel itu. Aku menunggu untuk melamar pekerjaan. Hampir 30 menit lamanya aku berdiri di sana, tapi yang kudapatkan hanya penolakan surat kerja. Aku benar-benar frustasi, Tuhan tidak adil padaku. Aku kembali ke halte untuk menunggu bus berikutnya. Jam 12, bus berikutnya tiba dan aku segera naik. Di tengah perjalanan, anak kecil penjual koran itu kembali naik ke dalam bus. Dia berjalan masuk dan berdiri didepan ku. Dia benar-benar memaksa ku untuk membeli korannya. Hatiku menjadi tergerak, akhirnya aku terpaksa merogoh saku celanaku dan membeli koran itu. Setelah menerima uang itu, wajah anak itu menjadi bersinar, dia benar-benar tersenyum padaku. Dia segera meninggalkan bus itu dan berjalan di tengah keramaian kota hingga tak terlihat keberadaannya. Sesampainya di rumah, aku duduk di teras depan rumah sambil merenung. Sejenak kulihat koran tadi, aku membacanya perlahan. Mataku tertuju pada sebuah iklan lowongan pekerjaan. Aku pun mencoba mengirimkan surat lamaran ke perusahaan itu. Awalnya aku tak berharap banyak tentang itu, tapi bak disambar petir rasanya, sedikit rasa kaget bercampur senang. Kali pertama aku diterima di sebuah perusahaan. Sejak hari itu, setiap sore sepulang kerja, aku selalu mencari anak penjual koran itu. Butuh waktu yang lama untuk aku menemukannya. Aku melihatnya lagi di perempatan lampu merah, dia masih tetap sama, baju lusuh dengan rambut sedikit berantakan. Aku menghampirinya dan membawakannya roti, air, dan sedikit uang. Dia memandangku terkejut. "Ini untukmu." Kataku sambil tersenyum. "Terima kasih kau sudah jadi malaikat kecilku." Senyuman anak itu seketika merekah. Ternyata aku salah menyalahkan bahwa Tuhan tidak adil. Dan hari ini aku sadar, kadang kebaikan datang dari orang yang bahkan tak pernah kita sangka.