Suatu siang di padang rumput hijau yang terbentang luas, di bawah naungan sebuah pohon besar yang menjulang tinggi, seorang anak kecil bernama Verona duduk sambil terisak.
Ia tersesat saat bermain. Ketakutan mencekam, membuat jantungnya berdegup kencang. Air mata mengalir tanpa henti, membasahi kerah bajunya. Ia memandang sekeliling—yang ada hanya hamparan rumput sejauh mata memandang.
Sudah berkali-kali ia berteriak minta tolong, namun tak ada jawaban. Hanya angin yang membalas suaranya.
“Tolong aku! Tolong aku! Kumohon… ada siapa pun di sini?” serunya putus asa.
Air matanya mulai habis, namun rasa takutnya tidak berkurang. Dalam hati, ia bertanya—Apakah aku akan mati di sini? Apakah tak ada yang akan menemukanku?
Hari itu, penyesalan menyelimuti Verona. Ia tak seharusnya bermain hingga masuk ke hutan.
Tiba-tiba, sebuah suara memecah kesunyian.
“Apa kau baik-baik saja?”
Verona menoleh. Di hadapannya berdiri seorang anak lelaki berambut hitam dengan mata biru sejernih langit.
“Sepertinya kau dari desa yang tak jauh dari sini,” katanya sambil mengulurkan tangan. “Aku akan mengantarkanmu pulang.”
Rasa takut dan khawatir Verona perlahan sirna. Ada sesuatu di mata anak itu—sebuah harapan. Ia pun meraih tangan itu.
“Tenanglah, aku pasti akan mengantarkanmu pulang,” ucapnya dengan senyum hangat.
Entah kenapa, Verona percaya padanya. Ia hanya mengangguk sambil menatap senyuman itu. Mereka pun berjalan menjauh dari pohon besar itu, tangan mereka saling menggenggam.
---
Hutan tampak gelap, dedaunannya menutup sebagian besar cahaya matahari. Suasananya menekan, seakan-akan ada makhluk tak terlihat yang sedang mengawasi. Padahal, itu hanya ilusi dari naluri manusia untuk bertahan hidup—itulah yang dirasakan Verona ketika pertama kali masuk ke hutan.
Kini, bersama anak lelaki itu, Verona berjalan melewati deretan pohon tinggi dan semak-semak rapat. Rasa takutnya memudar, digantikan ketenangan. Senyuman lembut dan tatapan hangat anak itu menenangkannya.
Genggaman tangannya terasa hangat, membuat Verona sedikit malu. Namun, rasa malu itu justru membuatnya semakin tenang. Sesekali, anak itu berkata agar ia tidak khawatir, dan Verona hanya mengangguk sambil menatapnya.
Matahari menyusup di sela dedaunan, memandikan mereka dengan cahaya keemasan. Bunga-bunga berwarna-warni menghiasi jalan setapak yang mereka lalui.
Tak lama kemudian, cahaya terang tampak di balik pepohonan.
“Ayo kita berjalan sedikit lebih cepat. Apa kau sanggup?” tanyanya.
Verona mengangguk. Mereka mempercepat langkah, berharap cahaya itu adalah jalan keluar.
Benar saja—mereka berhasil keluar dari hutan, dan di hadapan mereka terbentang jalan setapak yang mengarah ke desa Verona.
“Kau hanya perlu mengikuti jalan ini untuk sampai ke desamu,” katanya. “Kalau begitu, aku pergi. Semoga kau tiba dengan selamat.”
Ia mulai berbalik untuk pergi.
“Tunggu!” seru Verona.
Anak itu menoleh, dan mereka saling menatap.
“Hei, maukah kau membuat janji denganku?” tanya Verona.
“Janji?”
“Ya… Saat kita dewasa nanti, ayo bertemu lagi. Saat itu, aku akan membalas kebaikanmu.”
Senyum lembut Verona membuat wajah anak itu memerah. Ia memalingkan muka.
“Hei, apa kau mendengarkan?”
“I-iya.”
“Kalau perempuan bicara, lelaki harus menatap matanya dan tersenyum—ibu yang mengajarkan itu padaku.”
Anak itu menatap kembali, dan mereka bertukar pandang.
“Jadi… kau mau dengan yang kubilang tadi?”
“Baiklah,” jawabnya sambil tersenyum. “Kurasa tak ada salahnya.”
“Janji ya! Aku akan menantikannya.”
“Ya.”
Dua anak itu saling mengukuhkan janji di bawah sinar matahari, seakan alam memberkati awal yang baik bagi mereka.
“Oh iya, aku belum tahu namamu.”
“Oh, maaf. Namaku Ten—”