1. Prolog
Namaku adalah sesuatu yang mungkin tak lagi berarti ketika kau membaca kisah ini. Sebab pada akhirnya, aku hanyalah salah satu dari miliaran jiwa yang berjalan di bumi, menunggu giliran untuk berhenti. Namun, ada satu hal yang membedakanku dari kebanyakan orang: aku telah bertemu dengan Kematian. Bukan sebagai konsep, bukan sebagai takdir yang samar, tapi sebagai sosok nyata yang menatapku… dan berbicara.
Pertemuan itu mengubah segalanya. Aku, yang dulunya menganggap hidup hanyalah perjalanan tanpa tujuan pasti, mulai melihat setiap detik sebagai jarum jam yang bergerak menuju pintu yang sama. Pintu itu dingin, hitam, namun entah mengapa… tidak sepenuhnya menakutkan.
---
2. Awal Pertemuan
Hari itu adalah hari Rabu, hujan turun deras, dan jalanan dipenuhi genangan air yang memantulkan cahaya lampu jalan. Aku pulang dari kantor lebih malam dari biasanya. Bukan karena lembur, tapi karena aku sengaja menghindari rumah. Rumahku terlalu sepi, terlalu sunyi, dan terlalu penuh kenangan yang menggores hati.
Saat aku melewati taman kota yang hampir kosong, aku melihat seseorang duduk di bangku besi tua. Payung hitam besar menutup sebagian wajahnya, tapi entah kenapa, langkahku melambat. Ada sesuatu dari sosok itu yang membuat udara di sekitarnya terasa… berbeda.
“Dingin sekali malam ini,” katanya, tanpa menoleh.
Aku ragu. “Ya… hujan membuat semuanya lebih menusuk.”
Ia tertawa pelan, suara yang entah kenapa membuat bulu kudukku berdiri. “Dingin ini bukan dari hujan, tapi dari aku.”
Aku menatapnya lebih lama. Payungnya bergerak sedikit, dan aku melihat wajah yang begitu pucat, hampir transparan, seolah cahaya lampu jalan menembus kulitnya. Mata hitamnya terlalu dalam, seperti sumur yang tak memiliki dasar.
“Aku… pernah melihatmu,” ujarku spontan.
Ia tersenyum. “Tentu. Aku ada di setiap sudut hidupmu, meski kau pura-pura tidak melihat.”
---
3. Nama yang Tidak Disebut
Kami duduk di bangku itu, hujan menjadi musik latar yang anehnya menenangkan.
“Aku tidak tahu harus memanggilmu apa,” kataku.
Ia menatapku sebentar lalu berkata, “Orang-orang memanggilku banyak nama. Malaikat Maut. Azrael. Thanatos. Tapi namaku tidak penting. Panggil saja aku… Kematian.”
Tidak ada nada dramatis ketika ia mengucapkannya. Seperti seseorang yang memperkenalkan diri sebagai ‘tukang roti’ atau ‘guru matematika’. Biasa saja. Terlalu biasa untuk sesuatu yang seharusnya menakutkan.
Aku mencoba tertawa untuk mengusir rasa tegang. “Kalau kau Kematian, lalu kenapa kau di sini? Sudah waktukah aku?”
Ia menggeleng. “Belum. Tapi aku suka berbicara dengan orang-orang sebelum mereka tiba pada waktunya. Kau… menarik perhatianku.”
Aku menelan ludah. “Kenapa aku?”
Ia menatapku lama sekali. “Karena kau sudah mati di dalam, bahkan sebelum tubuhmu berhenti bernapas.”
---
4. Pengakuan yang Menyakitkan
Perkataannya menusuk.
Aku tahu maksudnya. Sejak istriku meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan, aku memang berjalan seperti mayat hidup. Pekerjaan hanya rutinitas. Makan hanya untuk bertahan. Tidur hanya untuk melewati hari. Tidak ada yang benar-benar berarti.
“Aku… memang lelah,” aku mengaku.
“Lelah berbeda dengan mati rasa,” jawabnya cepat. “Kau memilih untuk tidak merasakan apa pun, karena rasa sakit itu terlalu besar. Tapi kau lupa, rasa sakit adalah tanda kau masih hidup.”
Aku menunduk. “Kalau rasa sakit adalah hidup… aku tak yakin ingin hidup.”
Kematian tersenyum tipis. “Kau mengira aku adalah akhir dari segalanya. Padahal aku hanyalah pintu. Di balikku ada sesuatu… tapi bukan tugasku untuk memberitahumu apa itu.”
---
5. Perjalanan Bersama
Entah bagaimana, malam itu aku berjalan bersamanya. Ia tidak memegang payung lagi, namun hujan tak pernah benar-benar menyentuhnya.
“Kau bisa melihatku karena kau berada di ambang batas,” katanya sambil melangkah. “Tidak semua orang bisa.”
“Ambang batas?”
“Kau tidak hidup sepenuhnya, tapi belum mati sepenuhnya. Ruang di antara keduanya adalah tempat aku bisa menampakkan diri.”
Kami melewati gang-gang sempit, rumah sakit yang lampunya menyala pucat, dan jembatan di mana aku melihat seorang pria berdiri terlalu dekat ke tepi.
“Dia akan melompat?” tanyaku.
Kematian menatap pria itu sebentar. “Belum tentu. Kadang manusia berdiri di tepi hanya untuk melihat apakah ada yang akan menahan mereka.”
Aku ingin menghampiri, tapi Kematian menahan lenganku. “Itu bukan urusanmu malam ini.”
---
6. Kisah yang Ia Bawa
Kami duduk di sebuah warung kopi kecil yang anehnya buka tengah malam. Pemiliknya tidak bereaksi aneh melihatku duduk dengan seseorang yang, dari pantulan kaca, tampak seperti bayangan.
Kematian bercerita. Tentang seorang anak yang memanggilnya sambil tersenyum karena akhirnya bisa bertemu ibunya. Tentang seorang pria yang memohon tambahan satu hari untuk mengucap kata yang tak pernah sempat ia ucapkan. Tentang seorang wanita yang menolak mengikutinya karena takut akan neraka.
“Kau tahu,” katanya sambil menyeruput kopi yang entah kenapa tidak berkurang isinya, “aku tidak pernah memutuskan siapa yang pergi dan siapa yang tinggal. Aku hanya… menjemput. Yang memutuskan bukan aku.”
“Kalau begitu, siapa?”
Ia mengangkat bahu. “Itu pertanyaan yang bahkan aku tidak tahu jawabannya.”
---
7. Tawaran
Ketika kami kembali ke taman, hujan sudah reda. Udara masih dingin, tapi lebih ringan.
“Kau ingin tahu rasanya mati?” tanyanya tiba-tiba.
Aku tercekat. “Sekarang?”
“Hanya sebentar. Kau akan kembali. Anggap saja… uji coba.”
Aku tidak tahu kenapa aku mengangguk.
Ia menyentuh dahiku dengan ujung jarinya. Dan dunia padam.
---
8. Di Antara Napas Terakhir
Tidak ada cahaya terang seperti cerita-cerita yang sering kudengar. Tidak ada terowongan panjang. Hanya keheningan. Dan kesadaran bahwa aku bukan lagi tubuhku. Aku adalah… sesuatu yang melayang.
Aku melihat ingatan masa kecil, suara tawa istriku, bahkan detik-detik aku menunggu di rumah sakit saat ia tak sadarkan diri. Semuanya datang sekaligus, seperti ombak yang menghantam.
Lalu aku melihat taman tempat kami duduk. Tubuhku masih ada di sana, mataku terpejam, Kematian duduk di sampingku, tersenyum tenang.
“Bagaimana rasanya?” suaranya menggema entah dari mana.
“Sunyi… tapi damai.”
“Itulah yang kutawarkan pada semua orang. Tapi sebagian besar takut padaku, karena mereka tidak pernah merasakannya lebih dulu.”
---
9. Kembali
Satu kedipan mata, dan aku kembali di bangku taman. Dadaku terangkat-angkat, seolah baru saja naik ke permukaan setelah lama tenggelam.
Kematian berdiri. “Sekarang kau tahu. Pilihan selalu ada padamu.”
“Kenapa kau memberiku kesempatan itu?”
“Karena aku ingin kau mengerti: kematian tidak selalu berarti kehilangan. Kadang, ia adalah kebebasan.”
---
10. Epilog
Sejak malam itu, aku tidak pernah lagi melihat Kematian. Tapi aku tahu ia di dekatku. Mungkin di sudut kamar saat aku tak bisa tidur. Mungkin di antara kerumunan orang di jalan.
Aku masih hidup—atau setidaknya berusaha. Karena aku tahu, pintu itu selalu ada, dan aku akan melewatinya suatu saat nanti. Tapi tidak sekarang.
Sekarang, aku ingin berjalan sedikit lebih jauh.
---