Hujan sore itu turun deras. Langit kelabu, petir sesekali menyambar, dan suara hujan membasuh atap rumah seperti lagu yang menenangkan sekaligus menyayat hati.
Maria duduk di tepi ranjang, memandangi jendela yang dipenuhi butiran air. Di tangannya ada Alkitab yang sampulnya mulai berdebu. Ia genggam erat, tapi jemarinya gemetar. Matanya sembab, tanda ia sudah menangis lama.
Sudah lama sekali ia tidak membuka firman Tuhan. Dulu, setiap pagi ia memulai hari dengan doa dan renungan. Setiap minggu ia tidak pernah absen ibadah. Ia melayani di paduan suara, menyanyi dengan hati yang berkobar.
Namun semua itu berubah ketika ia pindah ke kota demi pekerjaan. Awalnya hanya sibuk, lalu malas, lalu… jauh. Panggilan telepon teman gereja ia abaikan. Undangan ibadah ia tolak. Perlahan, Maria mulai mengisi kekosongan hatinya dengan hal-hal dunia—hiburan, pesta, pergaulan yang mengaburkan batas benar dan salah.
Ia tahu ia salah, tapi hatinya membujuk, "Aku cuma butuh istirahat sebentar dari semua ini… Tuhan pasti mengerti." Sebentar itu berubah jadi bertahun-tahun.
Hingga suatu malam, Maria bermimpi aneh. Ia berada di sebuah padang luas yang kering. Langkahnya terasa berat, tenggorokannya kering, dan matahari membakar kulitnya. Dari kejauhan, ia melihat Yesus berdiri, tersenyum lembut, mengulurkan tangan. Tapi ada jurang besar di antara mereka. Maria berusaha melangkah, tapi kakinya terikat rantai. Air matanya mengalir, ia berteriak memanggil, tapi suaranya seakan tertelan angin. Tepat saat ia akan jatuh ke jurang, ia terbangun dengan nafas tersengal dan hati berdegup kencang.
Sejak malam itu, Maria gelisah. Ia mulai mengingat betapa hangatnya hati saat dulu ia menyembah. Betapa damainya saat ia berdoa. Dan betapa kosongnya kini.
Puncaknya datang ketika sebuah kabar duka menghantamnya. Sahabat baiknya, Dina—yang dulu selalu mengajaknya ibadah—meninggal dunia karena kecelakaan. Maria tak bisa berhenti menangis di pemakaman. Melihat tubuh Dina terbujur kaku membuatnya sadar: hidup ini bisa berakhir kapan saja. Dan ia bertanya dalam hati, "Kalau aku yang meninggal hari ini… apakah aku siap menghadap Tuhan?" Jawabannya, ia tahu—tidak.
Malam itu, Maria menutup pintu kamarnya, mematikan lampu, dan berlutut di lantai. Dengan tangan gemetar, ia membuka Alkitab di bagian yang tak sengaja terbuka: Lukas 15—perumpamaan anak yang hilang.
Suara hatinya pecah. Ia membaca perlahan, setiap kata seperti menghantam jiwanya:
> "Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayah itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia."
Air matanya tumpah tanpa bisa ditahan. “Tuhan… itu aku… aku anak yang hilang itu,” ucapnya dengan suara serak. “Aku sudah jauh… aku buang semua waktu yang Kau beri… aku memilih dunia dan meninggalkan-Mu… tapi aku rindu, Tuhan. Aku mau pulang.”
Ia menangis lama di hadapan Tuhan malam itu, mencurahkan semua penyesalan yang selama ini ia simpan. Ia mengaku satu per satu dosanya, semua kebohongan, semua momen ketika ia tahu kebenaran tapi memilih yang salah. Dan di tengah isak tangisnya, ia merasakan sesuatu yang hangat—bukan dari luar, tapi dari dalam hati.
Seperti ada tangan yang memeluknya erat. Seperti suara lembut yang berbisik, "Aku tidak pernah meninggalkanmu."
Hari-hari berikutnya tidak langsung sempurna. Rasa malas kadang datang, godaan dari masa lalu sesekali muncul. Tapi Maria belajar untuk setiap hari berkata, "Tuhan, aku butuh Engkau hari ini." Ia kembali ke gereja, kembali melayani, dan kembali mengisi harinya dengan doa serta firman.
Beberapa bulan kemudian, saat ia berdiri di paduan suara untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia menyanyi dengan air mata mengalir. Bukan karena sedih, tapi karena ia tahu: ini bukan sekadar lagu, ini kesaksian hidupnya.
Sore itu, Maria duduk di balkon rumahnya, membaca Alkitab sementara matahari tenggelam di ufuk barat. Langit jingga berbaur ungu, angin sepoi-sepoi membawa damai. Ia menutup Alkitabnya dan memandang ke langit.
“Terima kasih, Yesus… karena Engkau tidak menyerah padaku,” ucapnya pelan.
Dan ia tahu, betapapun ia pernah jauh, jalan pulang selalu ada—karena Bapa di surga selalu menunggu, dengan tangan terbuka dan hati penuh kasih.
Selesai