– BADAI DI AWAL
Petir menggelegar, membelah langit sore yang kelabu. Di dalam kamar kontrakan yang sempit, Zeva terduduk di tepi ranjang dengan ponsel di tangannya. Getaran notifikasi membuat jantungnya berdegup tak karuan. Ia membuka pesan itu—hanya satu kalimat, tapi cukup untuk menghancurkan hatinya.
"Ze, maaf… kita nggak bisa lanjut. Aku sudah bersama orang lain."
Pesan dari Riko, tunangannya.
Jari-jarinya lemas, ponsel itu hampir terjatuh. Napasnya tersendat. “Bukan… bukan begini caranya, Ko…” bisiknya, sebelum air mata mengalir deras.
Dalam tiga bulan terakhir, badai datang bertubi-tubi. Pertama, ia kehilangan pekerjaan yang selama ini menjadi sumber penghidupannya. Lalu, usaha kecilnya yang dirintis dengan penuh doa bangkrut karena pandemi. Dan kini, pria yang ia percaya akan menemaninya seumur hidup memilih pergi tanpa penjelasan panjang.
Zeva terduduk lama, matanya kosong. Pandangan jatuh pada Alkitab yang tergeletak di meja kecil dekat ranjang. Perlahan ia meraihnya, memeluknya erat seperti anak kecil memeluk selimut.
“Tuhan… aku capek. Aku nggak mengerti kenapa Engkau biarkan ini semua terjadi.” Suaranya pecah, tubuhnya bergetar.
Ketukan di pintu memecah keheningan.
“Ze? Ini aku, Dira.” Suara sahabatnya terdengar.
Zeva membuka pintu. Dira langsung memeluknya erat. “Kamu nggak harus pura-pura kuat di depanku,” ucap Dira lembut.
Zeva menarik napas panjang. “Aku nggak pura-pura, Ra. Aku cuma… mau belajar terima. Kalau Tuhan izinkan semua ini, pasti ada rencana.”
Dira menatapnya heran. “Kamu nggak marah sama Riko?”
Zeva tersenyum pahit. “Kesel, iya. Tapi kalau aku simpan marah itu, hatiku nggak akan sembuh. Aku mau lepasin. Biar Tuhan yang ganti—dengan yang Dia mau.”
Malam itu, Zeva menutup kamarnya dan berlutut. Tangannya gemetar saat ia berdoa.
“Tuhan Yesus… aku nggak mengerti. Tapi aku percaya Engkau tahu yang terbaik. Pegang tanganku. Jangan biarkan aku jatuh terlalu jauh.”
Air matanya membasahi lantai. Namun di tengah sakit yang mencekik, ia merasa ada kehangatan lembut di hatinya—seperti tangan yang menenangkan, mengatakan bahwa badai ini tidak akan selamanya.
Dan di malam penuh luka itu, untuk pertama kalinya, Zeva mulai belajar melepaskan kendali, membiarkan Tuhan menulis kisahnya.
– PELAYANAN YANG MENYEMBUHKAN
Matahari pagi menembus tirai tipis kamar Zeva. Hari itu, untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu, ia bangun tanpa rasa berat di dadanya. Luka itu belum hilang, tapi ia mulai bisa menarik napas sedikit lebih lega.
Di layar ponselnya, sebuah pesan masuk dari Ibu Gracia, ketua pelayanan sekolah minggu di gereja.
"Zeva, kami kekurangan guru minggu ini. Bisa bantu?"
Zeva menatap pesan itu lama. Ia ragu. Terakhir kali ia mengajar sekolah minggu, hatinya masih penuh semangat. Sekarang, ia takut senyumnya akan terlihat palsu. Tapi ada suara lembut di hatinya: “Berikan hatimu untuk melayani, dan Aku akan menyembuhkanmu.”
Ia mengetik singkat: “Iya, Bu. Saya datang.”
---
Minggu pagi, Zeva melangkah masuk ke ruangan kecil penuh warna. Dindingnya dihiasi gambar-gambar Alkitab yang dilukis tangan anak-anak. Aroma krayon dan kertas memenuhi udara.
“Shalom, anak-anak!” sapa Zeva, mencoba tersenyum.
“Shaloooom, Kak Zeva!” jawab mereka serempak.
Anak-anak itu mulai menyanyi lagu pujian sederhana. Zeva memimpin mereka bertepuk tangan mengikuti irama. Sesekali, hatinya terasa hangat. Senyum mereka polos, tawa mereka tulus.
Saat cerita Alkitab dimulai, seorang anak laki-laki bernama Niel duduk di pojok, diam dan menunduk. Setelah kelas selesai, Zeva menghampirinya.
“Kamu kenapa, Niel?” tanya Zeva lembut.
Anak itu menunduk lebih dalam. “Mama sama Papa berantem… Papa udah nggak pulang lagi.”
Zeva tercekat. Ia merasakan nyeri yang sama, perasaan kehilangan dan dikhianati. Ia mengusap rambut Niel.
“Kamu tahu nggak? Tuhan Yesus itu Bapa yang nggak pernah ninggalin kita. Kakak juga pernah ngerasa sendirian, tapi Kakak belajar kalau Tuhan selalu pegang tangan kita.”
Niel menatapnya, matanya berkaca-kaca. “Bener, Kak?”
Zeva mengangguk mantap. “Bener. Tuhan sayang banget sama kamu.”
Hari itu, Zeva pulang dengan hati yang berbeda. Ia sadar, sekalipun ia sedang rapuh, Tuhan bisa memakainya untuk menguatkan orang lain.
---
Minggu-minggu berikutnya, Zeva mulai aktif di pelayanan lagi. Ia membantu menyiapkan materi sekolah minggu, mengunjungi jemaat yang sakit, dan ikut membagikan makanan kepada tunawisma di malam hari.
Suatu malam, saat membagikan nasi bungkus di bawah jembatan, ia melihat seorang ibu tua tersenyum padanya sambil berkata,
“Terima kasih, Nak. Tuhan memberkati.”
Kalimat sederhana itu menusuk hatinya. Ia pulang malam itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada sukacita yang muncul setiap kali ia memberi, meskipun ia sendiri sedang kekurangan.
Di rumah, ia menulis di buku catatannya:
“Tuhan, mungkin aku belum sembuh sepenuhnya. Tapi aku mau terus berjalan. Aku mau tetap mengasihi, bahkan di saat hatiku sedang terluka. Karena Engkau mengasihiku lebih dulu.”
---
Suatu sore, Ibu Grace menghampirinya di gereja.
“Zeva, minggu depan kita ada pelayanan ke panti asuhan di luar kota. Kamu ikut, ya?”
Zeva sempat terdiam. “Saya? Saya nggak kenal siapa-siapa di sana…”
Ibu Grace tersenyum. “Justru itu. Kadang, Tuhan mau kita melangkah ke tempat yang belum kita kenal, supaya kita bertemu dengan rencana-Nya.”
Zeva menatap wajah Ibu Grace, lalu mengangguk. “Baik, Bu. Saya ikut.”
Malam itu, ia berdoa singkat sebelum tidur.
“Tuhan… aku nggak tahu apa yang menunggu di panti asuhan itu. Tapi kalau itu bagian dari rencana-Mu, pimpin aku.”
Dan tanpa ia sadari, langkah kecilnya untuk berkata “ya” pada pelayanan itu akan menjadi awal dari pertemuan yang mengubah seluruh hidupnya.
– PERTEMUAN TAK TERDUGA
Minggu pagi yang cerah. Langit biru terbentang, awan tipis melayang, seolah Tuhan sengaja memberi cuaca terbaik untuk pelayanan hari itu. Zeva duduk di kursi belakang mobil gereja, memeluk tas berisi buku mewarnai dan kotak pensil untuk anak-anak panti asuhan.
“Deg-degan ya?” tanya Ibu Grace sambil menoleh dari kursi depan.
Zeva tersenyum tipis. “Iya, Bu. Takut nggak nyambung sama mereka.”
“Tenang saja. Senyum kamu itu senjata yang ampuh,” balas Ibu Grace sambil berkedip nakal.
Perjalanan memakan waktu hampir dua jam. Ketika mobil berhenti di halaman panti, anak-anak kecil langsung berlari menyambut dengan tawa riang. Zeva ikut turun, disambut suara mereka yang memanggil, “Tante! Kakak!”
Ia berjongkok, meraih tangan-tangan kecil itu. Ada rasa hangat yang mengalir di dadanya.
Saat ia sibuk membagikan buku gambar, matanya menangkap sosok pria tinggi berkulit sawo matang di seberang lapangan. Ia mengenakan kaos putih sederhana, celana jeans, dan sedang mengangkat galon air ke dapur. Rambutnya sedikit berantakan, tapi tatapan matanya lembut.
Pria itu berjalan mendekat sambil tersenyum ramah.
“Halo, saya Adrian,” katanya sambil mengulurkan tangan.
“Zeva,” balasnya, menjabat tangannya singkat.
“Kamu baru pertama ke sini?”
Zeva mengangguk. “Iya, Bu Grace yang ajak.”
“Bagus. Di sini banyak anak yang butuh teman ngobrol. Kalau mau, nanti sore kita bisa ajar musik bareng.”
Zeva tersenyum sopan, lalu kembali ke anak-anak. Tapi entah kenapa, senyum Adrian sempat terpatri di pikirannya.
---
Sepanjang hari, Zeva sibuk memimpin anak-anak menggambar dan bercerita. Sesekali, ia melihat Adrian sedang mengajari beberapa anak memetik gitar di teras. Suaranya merdu, membuat anak-anak terpaku mendengarkan.
Saat makan siang, mereka duduk berseberangan di meja panjang.
“Kamu kelihatan udah akrab sama anak-anak,” kata Adrian sambil menuang sayur.
Zeva tertawa kecil. “Mungkin karena mereka nggak tahu aku orangnya pendiam.”
“Pendiam? Nggak kelihatan kok,” goda Adrian.
Zeva tersipu, lalu pura-pura sibuk memotong ayam di piringnya.
---
Sore menjelang, pelayanan selesai. Anak-anak melambaikan tangan, beberapa memeluk kaki Zeva dan enggan melepas. Saat ia hendak naik mobil, Adrian menghampiri sambil membawa gitar di punggungnya.
“Zeva,” panggilnya. “Makasih udah datang hari ini. Anak-anak senang banget. Kalau ada waktu, datang lagi, ya?”
Zeva tersenyum. “Kalau Tuhan izinkan, aku datang lagi.”
Adrian mengangguk pelan. “Semoga Tuhan izinkan, karena… aku juga senang kenal kamu.”
Mobil mulai melaju, meninggalkan halaman panti. Zeva menatap ke luar jendela, senyum tipis terukir di wajahnya. Hatinya berdebar, tapi bukan seperti rasa jatuh cinta yang dulu. Ini berbeda—ada ketenangan.
Di dalam hati, ia berbisik,
Tuhan… apakah ini bagian dari rencana-Mu?
– PERSAHABATAN DALAM TUHAN
Sejak kunjungan pertama itu, Zeva beberapa kali kembali ke panti asuhan. Awalnya hanya saat gereja mengadakan pelayanan, tetapi lama-lama ia datang di luar jadwal—membawa kue buatan sendiri, buku cerita, atau sekadar untuk bermain bersama anak-anak.
Dan setiap kali ia datang, Adrian hampir selalu ada.
Suatu Sabtu sore, Zeva membawa beberapa alat lukis yang ia beli dari gajinya di toko buku. Saat ia tiba, anak-anak sudah berkumpul di teras panti, bersama Adrian yang memetik gitar.
“Kamu datang tepat waktu,” kata Adrian sambil tersenyum. “Mereka lagi mau belajar lagu baru.”
Zeva tertawa kecil. “Kalau gitu, aku ganggu, dong?”
“Nggak. Justru aku mau kamu nyanyi bareng.”
Zeva sempat ragu, tapi Adrian mengangguk memberi semangat. Ia pun duduk di sebelahnya, dan mereka mulai bernyanyi bersama anak-anak. Suara Adrian yang hangat berpadu dengan suara lembut Zeva, membuat anak-anak ikut bersorak riang.
---
Setelah kelas selesai, mereka duduk di bangku panjang di halaman panti. Udara sore terasa sejuk, langit memerah keemasan.
“Aku lihat kamu cepat akrab sama anak-anak,” ujar Adrian, menatap langit.
Zeva tersenyum tipis. “Mungkin karena aku… pernah merasa sepi. Jadi aku tahu rasanya butuh ditemani.”
Adrian menoleh, sorot matanya lembut. “Aku juga. Waktu kecil, aku dibesarkan di panti lain. Jadi, kalau bisa, aku mau anak-anak di sini ngerasa mereka berharga.”
Zeva tertegun. Ia baru tahu tentang masa kecil Adrian. “Berarti… kamu ngerti banget, ya, perasaan mereka.”
“Lumayan. Dan aku percaya Tuhan nggak pernah buang masa lalu kita. Dia pakai itu buat jadi berkat.”
Kalimat itu menancap di hati Zeva. Ia menatap pria di sampingnya ini—seseorang yang tidak hanya ramah, tapi juga mengerti arti pelayanan dari hati.
---
Hari-hari berikutnya, persahabatan mereka semakin erat. Kadang mereka berbagi cerita lewat pesan singkat malam-malam. Kadang Adrian mampir ke toko buku tempat Zeva bekerja, pura-pura mencari novel, padahal hanya ingin menyapanya.
Suatu malam, Zeva mengirim pesan:
"Adrian, kenapa kamu selalu punya waktu buat orang lain?"
Balasannya datang cepat:
"Karena dulu, Tuhan kirim orang yang punya waktu buat aku. Dan aku mau lakukan hal yang sama buat orang lain."
Zeva menatap layar ponselnya lama. Hatinya hangat, tapi ia juga berdoa, “Tuhan… jangan biarkan aku salah mengerti. Kalau memang ini dari-Mu, biar semua berjalan sesuai rencana-Mu.”
---
Minggu sore, hujan turun deras saat mereka selesai membagikan makanan untuk tunawisma. Adrian mengajak Zeva berteduh di bawah atap kios.
“Kamu nggak kedinginan?” tanya Adrian sambil memberi jaketnya.
Zeva tersenyum malu. “Nggak apa-apa. Tapi makasih.”
“Kalau sampai sakit, pelayanan minggu depan bisa berantakan,” katanya sambil tertawa kecil.
Hening sebentar, hanya suara hujan yang terdengar.
“Zeva,” suara Adrian terdengar lebih pelan, “aku nggak tahu rencana Tuhan ke depan. Tapi aku percaya, orang yang Tuhan pertemukan untuk pelayanan… bukan kebetulan.”
Zeva menatapnya. Ada sesuatu di matanya yang tak hanya ramah, tapi juga penuh kesungguhan. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi memilih diam. Ia tahu, jika ini memang bagian dari rencana Tuhan, semua akan jelas pada waktunya.
---
– UJIAN KESABARAN
Minggu pagi itu, Zeva sedang menata rak buku di tempat kerjanya ketika Reva, sahabat sekaligus rekan kerjanya, tiba-tiba berbisik,
“Eh, aku lihat kamu sering bareng sama Adrian. Itu yang dari panti asuhan, kan?”
Zeva mengangguk sambil tetap fokus merapikan buku. “Kenapa?”
Reva menatapnya serius. “Hati-hati, Zev. Aku dengar dia punya masa lalu yang… nggak semua orang bisa terima.”
Zeva terdiam. “Masa lalu seperti apa?”
Reva mengangkat bahu. “Nggak jelas. Tapi katanya dia pernah nakal sebelum bertobat. Aku cuma nggak mau kamu kecewa.”
Ucapan itu mengendap di hati Zeva sepanjang hari. Saat pulang, ia menatap layar ponselnya, ragu apakah harus menanyakan hal itu pada Adrian.
---
Pelayanan di panti minggu berikutnya terasa berbeda. Zeva tetap tersenyum, tapi hatinya penuh pertanyaan. Adrian sepertinya menyadari perubahan itu. Setelah kegiatan selesai, ia mengajak Zeva berjalan sebentar ke taman dekat panti.
“Kamu kelihatan nggak seperti biasanya. Ada apa?” tanya Adrian pelan.
Zeva menunduk. “Aku cuma… dengar cerita tentang masa lalu kamu.”
Adrian menarik napas dalam. “Kalau itu yang kamu maksud, iya, aku pernah salah jalan. Waktu remaja aku terlibat pergaulan yang nggak sehat. Tapi Tuhan ubah aku, Zeva. Dan aku nggak mau kembali ke hidup yang lama.”
Nada suaranya tulus, matanya menatap lurus ke arah Zeva.
Zeva mengangguk pelan. “Aku percaya Tuhan bisa mengubah orang. Aku cuma… butuh waktu untuk mencerna semuanya.”
Adrian tersenyum tipis. “Ambil waktu yang kamu butuh. Aku nggak mau buru-buru. Yang penting, kita tetap melayani Dia dengan hati yang murni.”
---
Namun, ujian kesabaran tidak berhenti di situ. Beberapa jemaat mulai bergosip.
“Zeva itu cocok nggak sih sama Adrian? Mereka beda jauh,” terdengar bisik-bisik di sudut gereja.
Zeva mendengarnya, tapi ia memilih diam. Malamnya, ia hanya berdoa, “Tuhan, kalau ini bukan dari-Mu, hentikan sekarang. Tapi kalau ini dari-Mu, tolong kuatkan hati kami.”
---
Suatu sore, hujan gerimis ketika Adrian datang ke toko buku, membawa kopi panas untuk Zeva.
“Untuk semangat kamu,” katanya sambil tersenyum.
Zeva menatapnya, rasa hangat mengalir di hatinya. Ia sadar, terlepas dari gosip dan masa lalu, sikap Adrian selalu konsisten—mengasihi, melayani, dan menghormati Tuhan.
Di dalam hatinya, Zeva mulai belajar satu hal: kesabaran bukan hanya menunggu, tapi juga tetap percaya di tengah keraguan.
– SAAT DOA MULAI TERJAWAB
Pagi itu Zeva bangun lebih awal dari biasanya. Udara masih dingin, embun masih menempel di kaca jendela kamarnya. Ia duduk di tepi ranjang, membuka Alkitab, dan membaca ayat renungan hari itu:
> “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” (Yeremia 29:11)
Zeva tersenyum. Ayat itu seperti jawaban langsung dari Tuhan atas doa-doanya selama ini.
---
Hari itu, di panti asuhan, suasana berbeda. Anak-anak sedang mempersiapkan acara ulang tahun untuk salah satu anak, Daniel. Semua orang sibuk, tapi Zeva merasa hatinya begitu damai.
Adrian datang sambil membawa gitar.
“Zev, mau bantu nyanyi buat Daniel nanti?”
Zeva mengangguk. “Tentu. Lagu apa?”
“Lagu tentang kasih Tuhan. Aku pikir, itu hadiah terbaik.”
Saat mereka bernyanyi bersama, mata Zeva bertemu dengan mata Adrian. Bukan sekadar tatapan biasa, tapi tatapan yang seolah berkata: Kita di sini karena Tuhan yang pertemukan.
---
Usai acara, Adrian menghampiri Zeva.
“Aku mau jujur lagi,” katanya, suaranya agak bergetar. “Aku sudah lama berdoa supaya Tuhan memberi pasangan hidup yang mengerti pelayanan, dan mau mengasihi orang lain tanpa syarat. Dan entah kenapa… aku rasa doa itu mulai dijawab lewat kamu.”
Zeva terdiam. Ada kehangatan yang menyelimuti hatinya, tapi juga rasa takut.
“Adrian, aku nggak mau kita terburu-buru. Aku cuma mau pastikan semua ini… sejalan dengan kehendak Tuhan.”
Adrian tersenyum lembut. “Aku pun begitu. Justru karena itu aku nggak mau melangkah tanpa doa.”
---
Malamnya, Zeva menulis di buku hariannya:
> Tuhan, aku nggak tahu apa rencana-Mu sepenuhnya. Tapi aku percaya, jika ini dari-Mu, Engkau akan bukakan jalan. Kalau bukan, Engkau akan tutup dengan cara yang lembut. Aku mau belajar taat, bahkan kalau itu berarti melepaskan.
---
Seminggu kemudian, gereja mengadakan doa bersama. Saat sesi doa pribadi, seorang ibu jemaat mendekati Zeva.
“Anak muda, entah kenapa Tuhan taruh di hati saya untuk bilang… teruslah melayani dan jangan takut akan masa depan. Tuhan sedang membentuk sesuatu yang indah.”
Zeva hampir menangis mendengarnya. Ia merasa, Tuhan sedang memberi konfirmasi kecil bahwa ia berada di jalan yang benar.
---
Sejak hari itu, Zeva mulai tenang. Ia tidak lagi resah memikirkan omongan orang. Fokusnya kembali pada Tuhan dan pelayanan. Dan di sela-sela itu, hubungannya dengan Adrian tumbuh, bukan karena paksaan, tapi karena sama-sama berakar dalam doa.
– JALAN YANG TIDAK MUDAH
Musim hujan mulai turun. Hujan deras mengguyur atap panti asuhan siang itu, membuat suara anak-anak yang bermain di dalam terdengar lebih riuh. Zeva sedang membantu membereskan dapur ketika Adrian masuk dengan wajah tegang.
“Zev… aku baru dapat kabar dari kantor,” ucapnya.
Zeva berhenti mengelap meja. “Kenapa? Ada masalah?”
“Aku… harus pindah tugas ke luar kota. Mungkin enam bulan, mungkin lebih.”
Zeva menatapnya lekat-lekat. “Ke mana?”
“Ke Papua. Proyek pembangunan sekolah. Aku nggak bisa menolak, ini bagian dari pelayanan juga.”
---
Malam itu Zeva tidak bisa tidur. Ia gelisah. Hatinya berkecamuk. Ia tahu pekerjaan Adrian adalah panggilan pelayanan, tapi ia juga takut kehilangan hubungan yang baru saja mulai dibangun.
Ia menutup mata dan berdoa, “Tuhan, kalau ini dari-Mu, Engkau yang pelihara. Kalau bukan, ajari aku melepaskan tanpa membenci.”
---
Hari terakhir sebelum Adrian berangkat, mereka duduk di teras panti asuhan. Hujan rintik-rintik membasahi tanah.
“Zeva,” kata Adrian, “aku nggak janji ini akan mudah. Tapi aku janji akan tetap berdoa untuk kita setiap hari.”
Zeva menarik napas panjang. “Aku juga. Dan aku mau belajar percaya… bahwa kalau Tuhan mau kita bersama, jarak sejauh apa pun nggak akan memisahkan.”
Mereka berdoa bersama. Tangis Zeva pecah, tapi ia merasakan damai yang aneh—damai yang datang dari penyerahan penuh.
---
Enam bulan berikutnya menjadi ujian terberat. Ada saat-saat Zeva merasa kesepian, ada gosip-gosip yang mencoba menggoyahkan hatinya. Teman-teman berkata, “Ngapain sih nungguin cowok? Mending cari yang jelas di sini.”
Zeva hanya tersenyum dan berkata, “Aku nggak nunggu cowok. Aku nunggu waktu Tuhan.”
---
Suatu malam, di telepon, Adrian berkata, “Zev, aku hampir nyerah. Capek rasanya.”
Zeva terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara tegas, “Adrian, ingat kenapa kamu ke Papua. Bukan buat aku, tapi buat Tuhan. Kalau kita lelah, itu wajar. Tapi kita nggak boleh berhenti taat.”
Di ujung telepon, Adrian terdengar menarik napas panjang. “Terima kasih, Zev. Kata-kata kamu nyelametin aku malam ini.”
---
Hingga akhirnya, tepat di hari ulang tahun Zeva, Adrian pulang. Ia datang ke panti asuhan dengan membawa gitar yang sudah usang karena perjalanan. Di depan anak-anak, ia menyanyikan lagu pujian yang dulu mereka nyanyikan bersama.
Usai lagu itu, Adrian memandang Zeva dan berkata, “Aku sudah melihat banyak hal di sana. Tapi yang paling aku tahu pasti… aku mau melangkah ke masa depan dengan kamu. Kalau Tuhan izinkan.”
Zeva tersenyum, menatap ke langit, dan berkata pelan, “Tuhan, kalau ini kehendak-Mu… biarlah jadi.”
– JAWABAN DOA
Pagi itu langit cerah sekali. Panti asuhan penuh dengan tawa anak-anak yang bermain di halaman. Zeva sedang membantu Ibu Maria memotong sayur ketika Adrian datang dengan senyum lebar.
“Zev, ikut aku sebentar,” katanya sambil memberi isyarat ke luar.
Zeva mengikutinya ke taman kecil di belakang panti. Di sana, Adrian menaruh sebuah kotak kecil di bangku taman.
“Aku nggak tahu gimana tepatnya Tuhan mengatur semua ini. Tapi enam bulan di Papua mengajarkan aku, kalau kita menaruh hubungan kita di tangan-Nya, kita nggak akan pernah rugi.”
Zeva menatapnya, matanya sudah mulai basah. “Adrian…”
“Aku nggak minta jawaban sekarang. Aku cuma mau bilang, aku siap jalanin hidup ini sama kamu, selama Tuhan mengizinkan. Aku mau kita melayani bersama, saling menopang, dan… saling mengasihi, apapun yang terjadi.”
Adrian membuka kotak itu—sebuah cincin sederhana, tapi indah.
Zeva menutup mulutnya, menahan tangis. “Aku… aku cuma mau kehendak Tuhan yang jadi, Adrian.”
Adrian tersenyum. “Kalau begitu, mari kita berdoa. Kalau Tuhan bilang ‘ya’, aku akan tunggu jawabannya dari kamu.”
Mereka duduk di bangku itu, saling menggenggam tangan, dan berdoa. Tak ada janji manis berlebihan, tak ada kata-kata dramatis—hanya hati yang benar-benar mau tunduk pada kehendak Tuhan.
---
Beberapa bulan kemudian, doa mereka terjawab. Ibu Maria memanggil Zeva ke dapur.
“Zeva, kamu ingat kan dulu kamu sering bilang kalau yang baik buat kita belum tentu baik di mata Tuhan?”
Zeva mengangguk.
“Kadang Tuhan memang bawa kita ke jalan yang nggak kita rencanakan… tapi ujungnya selalu indah.”
Zeva tersenyum, lalu melihat ke halaman panti. Di sana, Adrian sedang bermain gitar untuk anak-anak, wajahnya dipenuhi sukacita. Hatinya hangat—ia tahu, apapun yang akan terjadi nanti, hidupnya sudah ada di tangan Tuhan.
---
Malam itu, di bawah cahaya lampu halaman panti, Zeva berkata pada Adrian, “Aku siap. Kalau ini memang jalan yang Tuhan pilih, aku mau berjalan di sisimu.”
Adrian menghela napas lega, lalu memeluknya erat.
Di langit malam, bintang-bintang tampak berkelip seakan ikut bersaksi. Zeva menatap ke atas, tersenyum, dan berbisik dalam hati,
“Terima kasih, Tuhan. Kehendak-Mu selalu yang terbaik.”
---
Epilog – Dalam Tangan Tuhan
Hujan turun perlahan di halaman panti asuhan. Aroma tanah basah memenuhi udara. Zeva berdiri di depan jendela, menatap butiran air yang menuruni kaca.
Perjalanan hidupnya terlintas seperti kilasan film—
Rasa perih saat dikhianati orang yang ia percayai…
Air mata yang ia tahan di malam-malam doa…
Pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah ia dapat jawab…
Dan rasa hampa saat semua rencana yang ia bangun runtuh begitu saja.
Namun di sela luka itu, ada suara lembut di hatinya: “Jangan takut, Aku menyertaimu.”
Itu suara yang membuatnya bangun setiap pagi, tetap melayani, tetap mengasihi, walau hatinya remuk.
Zeva belajar satu hal penting—bahwa setia kepada Tuhan bukan berarti hidup bebas dari masalah. Setia berarti tetap berjalan, bahkan ketika jalanan licin dan penuh batu. Setia berarti percaya bahwa rancangan Tuhan tak pernah salah, meski mata manusia tak bisa memahaminya.
Kini, luka-luka itu tidak lagi mengikatnya. Ia tidak lagi bertanya “Mengapa?”—ia hanya berkata, “Terjadilah kehendak-Mu.”
Adrian muncul dari belakang, membawa dua cangkir teh hangat. “Hujannya deras, ya?” katanya sambil menyerahkan satu cangkir pada Zeva.
Zeva tersenyum. “Iya… tapi aku suka. Hujan itu seperti berkat. Turun dari langit, menyentuh semua orang tanpa membeda-bedakan.”
Adrian menatapnya dengan kagum. “Kamu nggak pernah berhenti melihat kebaikan di segala hal, ya?”
Zeva menghela napas pelan. “Bukan karena aku kuat… tapi karena Tuhan kuat di dalam aku.”
Mereka duduk bersebelahan di bangku dekat jendela, menyaksikan hujan yang semakin deras. Zeva memeluk cangkirnya erat, merasakan hangatnya merembes ke telapak tangan—seperti kasih Tuhan yang tak pernah meninggalkannya.
Dan di lubuk hatinya, Zeva tahu… apapun yang akan datang, hidupnya aman, karena ia berada di tempat terindah yang pernah ada—
Dalam tangan Tuhan.
--- TAMAT---