Maya membuka etalase kecilnya setiap pagi, menyusun arloji jadul di antara cangkir dan buku catatan tua. Jam Saku, bengkel sekaligus toko benda-benda bekas yang diberi nyawa kembali. Pelanggan datang untuk memperbaiki strap, menuntut suara detak, atau sekadar menanyakan kisah di balik setiap jarum.
Yang tidak diketahui pelanggan adalah rahasia arlojinya sendiri: sebuah jam saku perak kecil yang diwariskan neneknya. Jam itu tidak hanya menahan waktu ia meminjamnya, lalu menukar. Dengan membuka penutupnya, Maya bisa melangkah kembali ke satu momen terikat pada sebuah benda; tetapi setiap kali ia memindahkan satu jam dalam kenyataan, ia harus menukar satu memori miliknya. Semakin jauh pergeseran, semakin berat yang harus hilang.
Aturan itu membuat pekerjaannya seperti pembayaran dengan harga kecil: satu ingatan per jam. Maya biasa membantu hal-hal sepele seperti surat cinta yang terlambat, kata maaf yang tak sempat diucap, menukarkan senyum masa lalu untuk sebuah kenangan yang kabur tentang sore di pantai. Ia tidak pernah menggunakan jam itu untuk dirinya sendiri; ia takut kehilangan sesuatu yang tak ingin kembali dicari.
Suatu sore, seorang wanita paruh baya masuk ke toko. Rambutnya diikat rapi, matanya tajam seperti yang tak mudah dipengaruhi. Ia meletakkan sebuah syal merah pada meja dan berkata, “Aku mau waktu kembali. Sepuluh tahun lalu, tepat di persimpangan Jalan Kamboja, aku memilih untuk melangkah ke kanan dan meninggalkan rumah sakit. Kalau aku tak lari, mungkin hidupnya anakku tidak akan lenyap.”
Maya memegang syal itu, merasakan bekas bau obat dan hujan. “Perubahan besar,” gumamnya. “Biayanya… akan sangat mahal.”
Wanita itu tersenyum pahit. “Biaya bukan masalah. Hanya lakukan.”
Maya mengangkat jam saku, menutup mata, dan memutar jarum ke belakang. Dunia menipis seperti kertas yang digosok, lalu membuka ke suatu sore yang lain: ia berdiri di pinggir trotoar, sisa kafe panas di tangan, melihat seorang perempuan muda menunduk di pintu rumah sakit. Di sana, perempuan itu memegang bayi, bibirnya bergetar. Maya tahu momen itu bukan dari kisah yang diceritakan wanita tadi, melainkan perlahan memori baru menyelinap: suara tangis kecil, tangan menggenggam erat.
Tapi saat Maya hendak menepis tangan perempuan itu mengalihkan langkah, mendorongnya untuk menunggu ambulans ia melihat refleksi di jendela rumah sakit: perempuan itu menatap tepat ke arahnya. Wajah di cermin itu bukan asing. Di bawah lampu sore, garis rahangnya, bekas luka kecil di dagu, cara ia mengusap rambut semua itu milik Maya.
Maya menjerit dalam kepala. Ia mundur; jarum jam terasa berat. Wanita tambah tua yang datang tadi bukan orang asing. Ia adalah versi Maya beberapa dekade ke depan.
“Kenapa kau…?” Maya tidak menyelesaikan. Tubuhnya gemetar karena perasaan yang kacau: kebingungan, takut, sesuatu seperti penyesalan yang membentang jauh.
Maya tua menjawab dengan suara serak: “Aku butuh kau membuat pilihan yang aku tak berani buat dulu. Jika kau mendorongnya agar tinggal, dia tak akan mati. Aku… aku kehabisan waktu untuk menanggung rasa bersalah ini.”
Maya melihat kembali ke bayi di pelukan perempuan muda. Wajah bayi itu menyengat sinar kecil yang tak pernah ia kenal tapi terasa seperti bagian dari peta hatinya. “Kalau aku lakukan, bukankah itu mengubah hidupku? Kau… aku”
Maya tua mengangguk. “Mungkin kau tak dilahirkan. Mungkin garis hidup ini berbeda. Aku tahu resikonya. Aku juga tahu menanggung hidup tanpanya lebih berat.”
Jam di sakunya berdengung pelan. Di logika neneknya: setiap arloji punya harga. Membalikkan tragedi besar akan menelan memori besar bukan hanya tentang sore di pantai, tapi seluruh potongan hidup yang menuju ke titik ini. Maya membayangkan dunia tanpa namanya, tanpa kenangan masa kecil, tanpa orang yang ia cintai sekarang. Ia juga membayangkan dunia lain, di mana bayi itu tumbuh, tertawa, mengisi ruang yang sama dengan kenangan yang mungkin harus hilang.
Ia menunduk, menutup mata. Waktu di jam bergerak, energinya siap dicabut. Pilihan itu berat—menolong seorang yang tidak ia kenal demi kebenaran masa depan yang dibawa orang yang kelak menjadi dirinya sendiri; atau menolak demi menjaga kesinambungan hidup yang selama ini ia kenali.
Akhirnya Maya membuka mata. “Aku akan membantu,” katanya pelan. “Tapi bukan dengan cara yang kau minta.”
Ia menahan napas, merangkul wanita muda itu dari belakang memberi alasan kecil agar perempuan itu menunggu ambulans, bukan pergi sendiri. Hanya satu pesan, satu dorongan yang tampak sepele pada saat itu. Maya tahu setiap sentuhan itu berdampak. Ia merasa jarum jam berputar, dan sesuatu di dalam kepalanya robek: ingatan tentang tawa nenek pada malam saat ia kecil, lagu yang nenek nyanyikan semua memudar jadi kabut.
Ketika ia kembali, butik jam tampak sama, tapi ada perubahan: wanita tua itu menatapnya dengan air mata lega, namun ada pula kekosongan di matanya. “Kau melakukannya,” suaranya gemetar. “Terima kasih.”
Maya menoleh ke jam saku. Di dalamnya tidak lagi tersisa gema lagu nenek. Ia berdiri di sana, meraba saku hatinya, dan menemukan lubang kecil seperti kantong di jaket yang kehilangan koin berharga. Rasa itu sakit, namun selain sakit ada sesuatu lain: di sudut pikirannya muncul memori asing suatu suara tawa kecil, kecil tapi penuh, yang ia tahu kini ada dalam dunia karena pilihannya.
Beberapa hari setelahnya, kabar menyebar: suatu keluarga kecil ditemukan selamat dari kecelakaan karena seseorang menahan langkah seorang ibu. Berita itu tidak menyebut nama Maya. Ia pulang ke ruang kerjanya, menutup penutup jam saku, dan untuk pertama kali sejak lama menggenggam sesuatu yang tak lagi ia bisa nyanyikan: lagu nenek. Ia lupa setiap liriknya tapi entah bagaimana tiap kali ia melewati jendela toko, ia mendengar tawa kecil yang menuntun langkahnya, membuatnya tersenyum meski tak tahu kenapa.
Di meja, ada selembar kertas kecil tangan Maya tua menulis cepat sebelum ia menghilang: “Jika suatu hari kau merasa hilang, ingat: memilih hidup lain bukanlah pengkhianatan. Ada yang tumbuh karena keberanianmu.”
Maya menyentuh kertas itu, lalu menutup arloji peraknya. Ia tidak bisa mengembalikan memori yang hilang. Tapi ketika malam turun dan lampu toko menyala, ia membuka buku catatan, menulis ulang lagu nenek sesuka hatinya bukan dengan kata-kata yang hilang, tapi dengan nada yang baru. Di meja, jam saku berdetak pelan; di luar, dari sebuah rumah tidak jauh, terdengar tawa anak kecil yang belum pernah ia kenal dan Maya tahu, beberapa pilihan harus dibayar agar hidup lain bisa bernapas.
Dia kehilangan sebuah ingatan; dunia mendapatkan sebuah nafas. Itu lunas.