Nada Soraya menatap pantulan dirinya di cermin. Bibirnya tersenyum tipis, tapi matanya tidak. Sepuluh tahun bukan waktu sebentar untuk merencanakan balas dendam. Sepuluh tahun sejak keluarganya hancur, ayahnya dijebloskan ke penjara dengan tuduhan korupsi yang tidak pernah ia lakukan, ibunya meninggal karena depresi, dan dirinya… terbuang, menjadi gadis panti asuhan. Semua itu karena satu orang: Rendra Adiputra, pengusaha properti yang dulu menjadi sahabat dekat ayahnya.
Kini, Rendra menjadi seorang duda kaya yang senang memamerkan kekuasaan. Tapi dunia tidak tahu, bahwa kekayaannya dibangun di atas kebohongan, fitnah, dan darah.
Nada kembali menatap cermin, merapikan gaun satin merah marun yang menempel pas di tubuhnya. Malam ini, ia akan menghadiri gala amal yang diadakan Rendra. Undangannya palsu, identitasnya baru, dan rencananya matang.
Begitu memasuki ballroom, kilauan lampu kristal menyambutnya. Nada berjalan anggun, membiarkan tatapan orang-orang mengikuti langkahnya. Ia tahu bagaimana membuat dirinya menjadi pusat perhatian itulah yang dia pelajari dari bertahun-tahun bekerja sebagai event organizer di luar negeri. Ia mendekat ke meja utama, tempat Rendra duduk.
“Selamat malam, Pak Rendra,” sapanya, suaranya lembut namun penuh nada misterius.
Rendra menatapnya, sedikit tertegun. “Kita… pernah bertemu sebelumnya?”
Nada tersenyum samar. “Mungkin di masa lalu, mungkin hanya di mimpi.”
Sepanjang acara, Nada mendekati Rendra perlahan. Ia tahu semua kelemahannya cara ia menyukai perempuan yang misterius, rasa hausnya akan pengakuan, dan yang paling penting: paranoidnya terhadap rahasia masa lalu.
Saat musik mulai mengalun, Nada mengajaknya berdansa. Tangannya melingkar di pundaknya, bibirnya mendekat ke telinga pria itu, lalu ia berbisik, “Bagaimana rasanya tidur di ranjang emas yang kau rebut dari orang lain?”
Rendra menegang. “Apa maksudmu?”
Nada hanya tersenyum. “Tenang saja, waktunya belum tiba… tapi semua orang akan tahu.”
Dalam hitungan menit, Nada meninggalkan lantai dansa. Ponselnya sudah mengunggah seluruh dokumen bukti korupsi Rendra ke media online besar, lengkap dengan rekaman suara yang ia ambil diam-diam malam itu.
Ketika Rendra berlari keluar ballroom, wajahnya pucat, puluhan wartawan sudah menunggunya. Kilatan kamera menyerbu, suara teriakan memenuhi udara. Nada berdiri di balkon atas, memandang kerumunan itu.
Ia tidak berteriak. Tidak merayakan kemenangannya. Ia hanya berbisik pada dirinya sendiri, “Ayah, Ibu… sekarang dia merasakannya.”
Di kejauhan, sirene polisi terdengar. Nada berbalik, melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Balas dendamnya bukan tentang membuat darah tumpah tapi memastikan orang itu tenggelam dalam penyesalan yang tidak bertepi.
Dan malam itu, musik gala masih mengalun, seolah menertawakan seseorang yang baru saja kehilangan segalanya.