Sejak dua belas tahun lalu, meja kerja Arta selalu berada di sudut belakang kantor posisi yang jauh dari jendela, dekat printer yang sering macet, dan cukup terlupakan jika bos sedang mencari sukarelawan untuk lembur.
Bukan karena Arta tidak mampu naik jabatan, tapi karena ia tidak pernah mencalonkan diri. “Aku bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja,” begitu jawabnya setiap kali teman-temannya bertanya.
Namun, siang itu, situasi berubah.
Bos besar mengumumkan akan ada restrukturisasi, dan salah satu posisi yang dibuka adalah Supervisor di lantai atas ruangan dengan jendela besar yang menghadap ke langit sore. Semua orang antusias. Semua, kecuali Arta.
“Kenapa kamu nggak daftar?” tanya Sari, rekan kerjanya yang sedang menumpuk berkas.
Arta tersenyum tipis. “Aku nggak mau kehilangan jam pulang soreku.”
Tapi diam-diam, kata-kata itu tidak sepenuhnya benar. Malam harinya, Arta menatap langit kamar, teringat janji masa kecilnya pada ayahnya yang dulu seorang mandor pabrik: “Nanti kalau besar, aku mau punya kantor dengan jendela gede biar bisa lihat senja tiap hari.”
Ayahnya sudah tiada. Janji itu terkubur di balik rutinitas dan rasa aman.
Keesokan harinya, Arta mengisi formulir pendaftaran. Tidak ada target muluk hanya ingin memenuhi janji lama.
Proses seleksi berjalan cepat. Arta kaget saat dipanggil HRD: ia diterima. Rekan-rekan mengucapkan selamat, tapi beberapa terlihat iri. Arta hanya tertawa canggung, memikirkan bahwa mungkin ia akan merindukan sudut belakang kantor dan printer yang rewel.
Hari pertama di ruangan baru, Arta membuka tirai lebar-lebar. Langit sore menumpahkan warna jingga ke meja kerjanya. Ia menghela napas panjang.. lega, tapi sekaligus hampa. Ruangan ini tenang, tapi sepi. Tidak ada tawa rekan-rekan di belakang, tidak ada aroma kopi instan dari pantry, tidak ada suara printer yang memanggilnya untuk dibetulkan.
Beberapa minggu berlalu. Pekerjaan baru lebih berat, tanggung jawab lebih besar, dan waktu pulang sering lewat magrib. Sore-sore indah yang ia impikan ternyata jarang ia nikmati. Senja yang dulu ingin ia tatap setiap hari, kini lebih sering hanya dilihat dari pantulan layar laptop.
Suatu hari, saat rapat, ia mendengar kabar bahwa meja kerjanya yang lama sudah diisi karyawan baru, seorang fresh graduate yang tampak kikuk. Arta turun ke bawah untuk menyapanya.
Gadis itu tersenyum gugup. “Printer ini agak rewel, ya?”
Arta tertawa. “Iya, dia memang begitu. Tapi nanti kamu akan terbiasa.”
Sebelum kembali ke lantai atas, Arta menatap sudut itu sekali lagi. Rasanya seperti melihat rumah lama yang sudah ditinggalkan.
Malam itu, ia memandangi jendela besar di ruangannya. Senja sudah hilang, berganti lampu kota. Arta tersenyum kecil, menyadari bahwa karir bukan hanya soal naik atau turun tapi soal memilih tempat di mana hati kita tidak merasa sendirian.
Esoknya, ia mengajukan mutasi kembali ke lantai bawah. Rekan-rekan terkejut.
“Apa nggak sayang melepas posisi ini?” tanya Sari.
Arta hanya menjawab, “Aku sudah menepati janji masa kecilku. Sekarang aku mau menepati janji pada diriku sendiri… untuk tetap pulang dengan hati penuh.”
Dan sore itu, printer kembali macet, memanggilnya seperti teman lama.