Semua orang di negeri ini mengenal Liora Janeta bintang panggung dengan suara yang mampu membuat penonton terdiam lalu menangis tanpa tahu sebabnya.
Namun malam ini, di ruang ganti konser megahnya, Liora menatap cermin, melihat pantulan dirinya yang tersenyum… tapi terasa asing.
“Lima menit lagi, Li!” suara manajernya terdengar.
Ia mengangguk, walau dadanya sesak.
Sudah berbulan-bulan ia merasa setiap kali naik panggung, ada yang mengambil alih. Gerak tubuhnya, suara, bahkan tatapannya bukan sepenuhnya miliknya.
Semua itu dimulai di konser amal sebuah gedung tua yang pernah terbakar. Di sana, ia melihat seorang gadis muda di barisan depan bergaun putih, tersenyum sambil menangis. Gadis itu menghilang di tengah lagu, tapi sejak malam itu, Liora tak pernah merasa sendirian di panggung.
Hari ini adalah konser terakhirnya farewell concert. Ia sudah memutuskan: ini akan jadi malam di mana ia menuntaskan semuanya.
Lagu terakhir dimulai. Liora menutup mata, membiarkan musik membawanya. Suara penonton perlahan memudar, berganti keheningan aneh. Saat membuka mata, ia melihat dirinya berada di panggung yang sama, namun hanya ada satu penonton: gadis bergaun putih itu. Rambutnya basah, kulit pucat seperti lilin.
“Kau mengambil milikku,” ucap gadis itu lirih.
“Apa maksudmu?” Liora mencoba tegar.
“Suara itu. Hidup itu. Aku pernah berdiri di sini, sebelum api membakarku. Penonton bersorak, tapi aku tak pernah sempat menuntaskan lagu terakhirku.”
Hening menyelimuti.
Liora tahu, ini bukan sekadar hantu yang marah ini adalah jiwa yang terjebak dalam mimpi yang tak selesai.
“Kalau aku kembalikan suaramu, apa kau akan pergi?” tanya Liora.
Gadis itu menatapnya lama. “Jika kau memberikannya, kau akan pergi bersamaku.”
Liora menutup mata. Dalam pikirannya, ia melihat ulang semua konsernya, semua tepuk tangan, semua senyum palsu yang ia pasang saat sebenarnya merasa hampa. Mungkin… sudah saatnya ia benar-benar turun dari panggung selamanya.
Ia mengangguk. “Ambil.”
Seketika, napas Liora terasa ringan. Suaranya mengalir keluar, hangat namun perlahan memudar. Gadis itu menatapnya dengan mata berbinar, lalu membungkuk seperti seorang diva yang akhirnya menyelesaikan pertunjukan.
Lampu sorot menyala terang dan dalam sekejap, gadis itu menghilang.
Liora merasakan tubuhnya jatuh ke lantai panggung, tapi ia tidak merasa sakit. Ia justru berdiri di sisi lain panggung, mengenakan gaun putih yang sama seperti gadis itu, menatap tubuhnya sendiri yang terbaring.
Sorakan penonton membahana, mengira ini bagian dari pertunjukan. Tirai menutup.
Di belakang tirai, para kru panik, tapi di tengah keributan, Liora tersenyum… dan melangkah pergi, mengikuti gadis yang kini berjalan di depannya menuju cahaya yang tak pernah padam.
Konser itu menjadi legenda bukan hanya karena suaranya, tapi karena malam itu, Liora Janeta memberikan lampu sorot terakhirnya pada jiwa yang menunggu di antara tepuk tangan.