Hujan sore itu turun dengan bau tanah yang pekat, tapi bukan itu yang membuat Saka menghentikan langkahnya di tengah trotoar. Ada aroma lain manis, samar, dan sangat dikenalnya aroma teh melati yang biasa dibuat ibunya.
Masalahnya, ibunya sudah meninggal lima tahun lalu.
Saka berdiri mematung, memejamkan mata, mencoba mengikuti arah wangi itu. Hidungnya membawanya menelusuri gang kecil di belakang deretan toko. Di ujung gang, ada sebuah pintu kayu usang dengan cat yang mengelupas. Bau melati semakin tajam.
Tanpa pikir panjang, ia mengetuk. Pintu itu terbuka sedikit, memperlihatkan cahaya lampu temaram dan suara bisik-bisik yang tidak jelas. Saka melangkah masuk.
Di dalam, ia menemukan sebuah ruangan seperti warung teh tua, dengan rak-rak penuh cangkir antik. Di sudut, seorang wanita tua tersenyum padanya sambil menuangkan teh ke cangkir.
“Sudah lama kau tidak pulang, Nak,” ucapnya.
Suara itu… sama persis seperti suara ibunya.
Saka merasa dadanya sesak. “Ibu?” suaranya nyaris pecah.
Wanita itu hanya tersenyum, lalu mendorong cangkir teh ke arahnya. “Minumlah, lalu kau akan mengerti.”
Saka menyesap. Seketika, ia melihat kilasan masa lalu dapur rumah lama, tawa ibunya, aroma melati yang mengalun setiap sore. Tapi bersamaan dengan itu, ia melihat sesuatu yang tidak pernah ia ingat: ibunya berdiri di halaman, berbicara dengan seorang lelaki asing, lalu menyerahkan sebuah kotak kecil berwarna hitam.
Kilasan itu berhenti, dan Saka tersadar. Warung teh itu kosong. Tidak ada wanita tua, tidak ada aroma melati. Hanya dirinya sendiri, duduk di kursi kayu yang sudah lapuk.
Namun di meja, ada cangkir teh melati yang masih hangat… dan sebuah kotak hitam kecil.
Saka meraih kotak itu, membukanya. Di dalamnya, ada sebuah kunci perak dengan ukiran aneh dan secarik kertas bertuliskan:
"Aroma akan membimbingmu pulang, tapi tidak semua rumah menunggumu."