Malam itu, hujan turun rintik-rintik. Yura duduk di tepi ranjang, memandangi layar ponsel yang menampilkan foto Miguel tersenyum lebar. Lelaki itu pernah menjadi rumahnya, tempat ia pulang. Tapi kini, hanya ada keheningan.
Kabar itu datang mendadak—Miguel meninggal karena sesak napas. Tidak ada tanda sakit sebelumnya, tidak ada pesan terakhir. Sehari sebelum kepergiannya, Yura justru mengalami mimpi yang begitu indah.
---
Mimpi Pertama — Padang Gurun Berumput Hijau
Ia berdiri di tengah hamparan padang gurun yang anehnya dipenuhi rumput hijau segar. Angin membawa aroma tanah basah, langit membentang biru tanpa awan. Dan di kejauhan, Miguel berjalan mendekat.
Dia tampak muda, jauh lebih muda dari terakhir kali Yura melihatnya. Senyumnya hangat, matanya teduh.
“Miguel…” Yura berbisik, suaranya bergetar.
“Yura,” jawabnya lembut. “Kau cantik sekali hari ini.”
“Kau… tampak berbeda. Lebih muda,” kata Yura sambil menahan senyum.
Miguel tertawa kecil. “Mungkin karena aku ingin kau mengingatku seperti saat kita pertama bertemu.”
Mereka duduk di atas rumput, bercakap ringan tentang hal-hal sederhana—makanan favorit, tawa lama, rencana yang tak pernah sempat terwujud. Yura ingin bertanya banyak, tapi sebelum ia sempat, Miguel berdiri dan melangkah mundur.
“Jangan lupa aku,” katanya. Lalu pemandangan itu memudar.
Esoknya, berita kematian Miguel datang. Mimpi itu tiba-tiba terasa seperti salam perpisahan.
---
Mimpi Kedua — Pelukan yang Terlalu Nyata
Seminggu setelah pemakamannya, Yura kembali bermimpi. Kali ini mereka berada di sebuah ruangan tanpa dinding, hanya cahaya temaram yang mengelilingi. Miguel berdiri di depannya, menatapnya seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Ia meraih Yura, memeluknya. Pelukan itu hangat, terlalu nyata untuk disebut mimpi. Dan di dalam pelukan itu, mereka menyatu, bercinta dalam keheningan yang sakral. Tak ada kata-kata, hanya tarikan napas dan detak jantung.
Saat terbangun, Yura menatap langit-langit kamar. Tubuhnya masih terasa seperti disentuh Miguel. Air mata mengalir deras. “Kalau ini hanya mimpi… kenapa rasanya begitu nyata, Miguel?” gumamnya.
---
Curhat pada Sahabat
Beberapa hari kemudian, Yura menceritakan semuanya pada sahabat dekatnya, Dina. Mereka duduk di sebuah kafe kecil yang sepi, hanya suara hujan di luar yang menemani.
“Din, aku takut… mimpi itu terlalu nyata. Rasanya Miguel beneran datang.”
Dina menatapnya lekat. “Mungkin dia memang datang, Yur. Lewat mimpi.”
“Tapi… kenapa dia mengajakku pergi?” suara Yura nyaris berbisik.
Dina menggenggam tangannya. “Mungkin dia rindu. Mungkin dia belum rela melepaskanmu. Tapi, Yur… kau masih punya kehidupan di sini. Kalau dia datang lagi dan mengajakmu ikut, kau harus kuat menolak.”
Yura menunduk, pikirannya kacau. Kata-kata Dina menusuk hatinya.
---
Mimpi Ketiga — Sungai Bening
Sebulan kemudian, mimpi lain datang. Yura berdiri di tepi sungai bening dengan arus yang tenang. Airnya berkilau terkena cahaya matahari. Miguel berdiri di seberang, melambaikan tangan.
“Ayo ikut denganku, Yura.”
Yura menatapnya, bingung. “Ke mana?”
“Tempat di mana kita bisa bersama lagi. Selamanya.”
Yura mulai melangkah ke tepi sungai, namun sebelum kakinya menyentuh air, sebuah suara memanggilnya.
“Yura.”
Ia menoleh. Di sana berdiri ayahnya, yang sudah meninggal bertahun-tahun lalu. Wajahnya tegas, tatapannya penuh kasih.
“Tidak, Yura. Belum waktumu.”
“Ayah…” Yura tercekat.
Ayahnya menggeleng pelan. “Dia harus pergi. Dan kau harus tetap di sini.”
Miguel menatap ayah Yura sejenak, lalu kembali menatap Yura. “Aku mengerti.”
Ia tersenyum sedih, lalu perlahan menghilang.
---
Mimpi Keempat — Panggilan yang Tergesa
Beberapa bulan kemudian, Yura kembali bertemu Miguel dalam mimpi. Kali ini ia berada di sebuah jalan setapak, diapit pohon-pohon tinggi. Miguel memanggilnya dari kejauhan.
“Yura! Ayo, ikut aku!”
Suara itu begitu mendesak. Yura mulai berlari ke arahnya, namun baru beberapa langkah, matanya terbelalak—ia terbangun. Napasnya memburu, jantungnya berpacu cepat.
---
Sejak itu, Yura tak pernah lagi bertemu Miguel dalam mimpi. Tapi setiap malam, sebelum tidur, ia menatap foto lelaki itu dan membiarkan hatinya terbuka.
Ia tidak tahu apakah Miguel benar-benar datang atau hanya bayangan rindu yang menjelma. Tapi ia tahu satu hal—di antara dunia mimpi dan nyata, cinta mereka tetap hidup. Dan mungkin suatu hari nanti, ketika waktunya tiba, ia akan melangkah menyeberangi sungai itu… dan tidak pernah kembali.
---Sekian---