1. Perpisahan
Stasiun itu ramai, tapi buat Mika, semua suara seakan redup. Orang-orang berlalu lalang, menyeret koper, memanggul ransel, mengobrol atau tergesa-gesa mencari gerbong mereka. Mika berdiri di peron, tangannya dingin, menggenggam erat jemari Dean.
“Kereta sebentar lagi berangkat,” ucap Dean, suaranya tenang tapi matanya tak bisa menyembunyikan kegamangan.
Mika menatap wajah itu—wajah yang selalu memberinya rasa aman. Sebentar lagi, wajah itu hanya bisa ia lihat lewat layar ponsel.
“Aku nggak tahu bakal sekuat apa,” kata Mika, menahan air mata.
Dean mengangkat jemarinya, menyelipkan anak rambut Mika ke belakang telinga. “Kita berdua bakal kuat. Ini cuma sementara, Mik. Pekerjaan ini penting buat masa depan kita.”
Kata “kita” membuat Mika tersenyum tipis. Ia tahu Dean berusaha menguatkannya, tapi rasa takut tetap menggelayut. Takut jarak mengubah segalanya.
Peluit panjang terdengar. Dean meraih Mika ke dalam pelukan. Pelukan itu hangat, tapi juga membuat dada Mika sesak.
“Aku berangkat dulu.” Dean melepaskan pelukan, menatapnya sekali lagi, lalu berjalan menuju gerbong.
Mika berdiri di tempat, matanya mengikuti langkah Dean sampai tubuhnya menghilang di balik pintu kereta. Begitu kereta bergerak, air mata Mika pun jatuh tanpa bisa ia tahan.
2. Hari-hari Tanpa Dean
Malam pertama tanpa Dean terasa aneh. Biasanya, ada suara gitar pelan dari ruang tamu. Ada Dean yang suka menggodanya hanya untuk membuatnya tertawa. Sekarang, hanya ada kesunyian. Mika menatap ponselnya, berharap Dean menghubungi.
Pesan datang pukul 11 malam.
> Dean: “Baru selesai unpack barang. Kamu udah tidur?”
Mika: “Belum. Kangen.”
Dean: “Aku juga.”
Singkat, tapi cukup membuat Mika menangis lagi.
Hari-hari berikutnya berjalan lambat. Mika bekerja seperti biasa, tapi sore terasa kosong. Kadang Dean mengirim foto pemandangan dari kota barunya—lampu-lampu malam, jalanan ramai, atau secangkir kopi.
> Dean: “Andai kamu di sini.”
Mika: “Andai kamu di sini.”
Mereka saling bertukar rindu lewat kata-kata, tapi rindu itu seperti ombak yang tak pernah surut.
3. Rindu yang Mengendap
Tiga bulan berlalu. Video call jadi ritual wajib tiap malam. Mika menceritakan harinya, Dean juga. Tapi kadang Dean terlihat lelah. Matanya berat, bahunya jatuh. Mika tahu, pekerjaannya menuntut banyak tenaga.
Suatu malam, sinyal buruk membuat panggilan mereka terputus berkali-kali. Mika mulai kesal.
“Kenapa sih di sana susah banget sinyalnya?” protes Mika lewat chat.
Dean membalas cepat.
> “Maaf. Aku nggak mau bikin kamu kesal. Aku cuma… capek banget hari ini.”
Rasa kesal berubah jadi bersalah. Mika mengetik pelan.
> “Istirahat, ya. Aku ngerti.”
Ia memeluk bantal, berharap bisa mengirimkan rasa sayang itu lewat udara.
4. Hujan dan Kejutan
Enam bulan setelah perpisahan itu, hujan turun sejak pagi. Mika libur kerja hari itu. Ia duduk di teras, menyeruput teh hangat sambil memandangi jalan.
Semalam, pesan Dean masuk.
> Dean: “Besok libur? Jangan kemana-mana. Aku mau kasih kejutan.”
Mika menebak-nebak. Mungkin Dean akan mengirim paket. Mungkin video call spesial. Ia tak berani berharap lebih.
Jam 10 pagi, hujan makin deras. Mika menunggu sambil menggulir layar ponsel. Jam 12, tak ada kabar. Jam 2 siang, ia mulai pasrah.
Hingga suara mesin mobil berhenti di depan rumah. Mika menoleh.
Sosok tinggi keluar dari mobil dengan jas hujan biru. Ia membuka helm, dan wajah itu… wajah yang Mika rindukan setiap hari.
“Dean…” suara Mika bergetar.
Dean berjalan cepat, melepas jas hujan, lalu memeluk Mika tanpa bicara. Pelukan itu lama, erat, seolah menumpahkan seluruh rindu yang terpendam.
“Aku nggak tahan lagi, Mik. Aku kangen,” bisik Dean.
Mika menarik napas panjang, merasakan aroma yang ia hafal. “Tapi pekerjaanmu…?”
Dean tersenyum. “Aku mutasi ke sini. Supaya kita nggak lagi belajar kuat karena jarak.”
Mata Mika basah. Hujan masih deras, tapi di antara mereka, dunia terasa hangat.
---selesai---