Aku tak pernah menyangka bahwa cinta bisa berubah menjadi kutukan. Dulu, aku percaya bahwa Rendra adalah satu-satunya orang yang benar-benar melihatku. Tapi sekarang, aku tak yakin apakah dia pernah benar-benar ada.
Kami bertemu di kampus seni. Dia misterius, pendiam, tapi punya sorot mata yang membuatku merasa dilihat—bukan sekadar dilirik. Kami cepat dekat. Terlalu cepat, mungkin.
“Aku suka kamu, Nara,” katanya di studio lukis, malam itu. “Tapi aku punya sisi gelap. Kamu yakin mau masuk ke hidupku?”
Aku tertawa. “Semua orang punya sisi gelap. Aku juga.”
Dia tersenyum, tapi matanya tak ikut tersenyum.
Hubungan kami intens. Terlalu intens. Rendra mulai membatasi pergaulanku. “Teman-temanmu cuma bikin kamu lupa siapa kamu,” katanya. “Kamu nggak butuh mereka.”
Awalnya aku pikir itu bentuk cinta. Tapi lama-lama, aku merasa terkurung.
Suatu malam, aku melihatnya berbicara sendiri di depan cermin. Matanya kosong, suaranya pelan.
“Kamu nggak boleh ambil dia dari aku,” katanya.
Aku mengintip dari balik pintu. Tak ada siapa-siapa di ruangan itu. Hanya dia... dan bayangannya.
Aku mulai kehilangan kendali. Teman-teman menjauh. Ibuku menelepon, bertanya kenapa aku tak pernah pulang. Aku hanya menjawab, “Aku sibuk.”
Tapi sebenarnya, aku takut. Takut meninggalkan Rendra. Takut dia akan... berubah.
Suatu malam, aku menemukan buku catatan miliknya. Di dalamnya, ada sketsa wajahku. Tapi mataku dicoret. Di bawahnya tertulis:
“Dia milik kita. Jangan biarkan dia pergi.”
Aku gemetar. Siapa “kita”?
Aku mulai menyelidiki. Aku bertanya pada dosen pembimbingnya. “Rendra? Dia anak berbakat. Tapi... dia punya riwayat gangguan kepribadian. Dulu sempat dirawat.”
Aku tak percaya. Rendra tak pernah cerita.
Malam itu, aku menghadapinya.
“Rendra, kamu pernah dirawat?”
Dia terdiam. Lalu tersenyum. “Kamu tahu sekarang, ya?”
“Apa maksud tulisan di buku itu? Siapa ‘kita’?”
Dia menatapku lama. “Aku... bukan cuma aku. Ada dia. Bayanganku. Dia yang jaga aku. Dia yang sayang kamu.”
Aku mundur. “Kamu butuh bantuan.”
Dia tertawa. “Kamu nggak ngerti. Dia lebih sayang kamu daripada aku.”
Aku mencoba pergi. Tapi setiap kali aku melangkah keluar dari rumahnya, sesuatu terjadi. Ban motorku bocor. Ponselku rusak. Bahkan suatu malam, aku terbangun dan mendapati pintu kamarku terkunci dari luar.
Aku terjebak.
Dan yang lebih mengerikan, aku mulai mendengar suara dari cermin.
“Nara... jangan tinggalkan dia.”
Aku akhirnya berhasil kabur. Aku pindah kota, ganti nomor, bahkan ganti nama. Tapi rasa takut itu tetap tinggal.
Sampai suatu hari, aku menerima paket. Di dalamnya, ada cermin kecil dan surat.
“Kamu pikir kamu bisa lari? Dia masih di sana. Di balik cermin. Dan dia masih mencintaimu.”
Aku membuang cermin itu. Tapi malamnya, aku melihat bayangan di cermin kamarku—tersenyum.
Seminggu kemudian, aku membaca berita. Rendra ditemukan tewas di apartemennya. Bunuh diri.
Tapi yang membuatku tak bisa tidur adalah satu kalimat di laporan polisi:
“Di cermin kamarnya, tertulis dengan darah: ‘Aku masih di sini. Dia milik kita.’”