Aku masih ingat hari itu. Hujan turun deras, membasahi halaman rumah yang dulu penuh tawa. Sekarang, hanya sunyi yang tinggal. Di meja kayu tua, ada sepucuk surat yang belum pernah dibuka. Surat dari seseorang yang dulu aku cintai, lalu aku benci, lalu aku tangisi.
Namanya Dimas.
Kami bersama selama tiga tahun. Tiga tahun yang penuh janji, rencana, dan mimpi. Tapi semuanya runtuh dalam satu malam.
“Aku harus jujur,” katanya waktu itu. “Aku jatuh cinta sama orang lain.”
Aku terdiam. “Siapa?”
“Namanya Rani. Dia teman kerja. Aku nggak tahu gimana bisa, tapi... aku nggak bisa bohong lagi.”
Aku menatapnya, berharap ini hanya mimpi buruk. Tapi matanya tak bergeming. Tak ada penyesalan, hanya kelelahan.
“Aku nggak pernah cukup ya buat kamu?” tanyaku.
“Bukan soal cukup. Ini soal rasa yang berubah.”
Setelah malam itu, aku menghilang dari hidupnya. Aku pindah kota, ganti nomor, bahkan ganti nama di media sosial. Tapi rasa itu tetap tinggal. Rasa ditinggalkan, rasa dikhianati.
Setahun berlalu. Aku mulai menata hidup. Tapi luka itu masih menganga. Sampai suatu hari, aku menerima paket kecil tanpa nama pengirim. Di dalamnya, hanya ada satu surat dan sebuah foto lama kami berdua.
Aku tak pernah membuka surat itu. Entah kenapa, aku takut. Takut kalau isinya hanya akan mengulang luka yang sudah susah payah aku kubur.
Tiga bulan kemudian, aku bertemu Rani. Tak sengaja, di sebuah seminar. Dia mengenaliku, meski aku berharap dia tidak.
“Kamu... Naya, kan?” katanya ragu.
Aku mengangguk pelan.
“Aku minta maaf,” katanya tiba-tiba. “Dimas... dia nggak pernah benar-benar milih aku.”
Aku menatapnya. “Tapi dia ninggalin aku buat kamu.”
Rani menggeleng. “Itu yang aku pikir juga. Tapi setelah kalian putus, dia berubah. Dia jadi tertutup, murung. Lalu... dia pergi.”
“Pergi?”
“Dia pindah ke luar negeri. Tapi sebelum itu, dia titip surat buat kamu. Aku yang kirim.”
Aku terdiam. Surat itu. Surat yang belum pernah aku buka.
Malam itu, aku duduk di kamar, menatap surat yang sudah mulai menguning. Tanganku gemetar saat membuka lipatan pertama.
“Naya,
Aku tahu aku adalah orang terakhir yang pantas menulis surat ini. Tapi aku harus jujur, karena aku nggak bisa hidup dengan kebohongan ini.
Aku nggak pernah jatuh cinta sama Rani. Aku cuma ingin kamu pergi dari aku.”
Aku berhenti membaca. Mataku membelalak.
“Waktu itu, aku tahu aku sakit. Dokter bilang aku punya tumor otak. Stadium lanjut. Aku nggak mau kamu melihat aku hancur perlahan. Aku nggak mau kamu mengorbankan hidupmu buat seseorang yang akan pergi.”
Air mataku jatuh.
“Jadi aku memilih jadi orang jahat. Supaya kamu bisa membenciku. Supaya kamu bisa pergi tanpa menoleh.
Tapi aku salah. Karena setiap malam, aku berharap kamu tahu alasannya. Aku berharap kamu membuka surat ini sebelum semuanya terlambat.”
Di akhir surat, ada satu kalimat yang membuat dadaku sesak.
“Kalau kamu baca ini, mungkin aku sudah nggak ada. Tapi aku harap kamu tahu, aku mencintaimu. Selalu.”
Aku menangis semalaman. Bukan karena kehilangan, tapi karena aku membenci seseorang yang ternyata sedang menyelamatkanku dengan caranya sendiri.
Dan twist-nya?
5 bulan kemudian, aku menerima email dari rumah sakit di Belanda. Dimas masih hidup. Tumornya mengecil, dan dia akan kembali ke Indonesia bulan depan.
Tapi dia tak tahu aku sudah membaca surat itu.
Dan aku tak tahu... apakah aku siap bertemu lagi dengan seseorang yang pernah aku benci, lalu aku cintai kembali.