Aku duduk di bangku taman, menatap kosong ke arah danau kecil yang dulu jadi tempat favorit kita. Tempat di mana kamu bilang, “Kalau suatu hari aku berubah, tolong ingat aku yang sekarang.”
Aku mengingat. Terlalu baik.
Namamu Dira. Sahabatku sejak SMA. Kita seperti dua kutub yang saling tarik. Kamu ceria, aku pendiam. Tapi entah bagaimana, kita selalu cocok.
“Aku suka cowok itu,” katamu suatu hari, menunjuk Reza, senior yang baru masuk organisasi kita.
Aku hanya tersenyum. “Dia kelihatan baik.”
Kamu tertawa. “Kamu selalu bilang semua orang baik. Padahal kamu tahu, enggak semua gitu.”
Aku tahu. Tapi aku juga tahu, kamu akan jatuh terlalu dalam. Dan aku, seperti biasa, akan jadi tempat kamu pulang.
Hubungan kalian berjalan cepat. Terlalu cepat. Dalam sebulan, kamu sudah jarang cerita. Dalam dua bulan, kamu mulai menjauh.
“Aku sibuk,” katamu saat aku menanyakan kenapa kamu enggak datang ke ulang tahunku.
“Sibuk atau lupa?” tanyaku pelan.
Kamu diam. Lalu tertawa kecil. “Kamu drama banget sih. Cuma ulang tahun.”
Aku menunduk. “Iya, cuma ulang tahun.”
Tapi itu bukan tentang ulang tahun. Itu tentang bagaimana kamu mulai menghapus aku dari hidupmu.
Aku tahu kamu berubah. Tapi aku enggak pernah siap tahu seberapa jauh kamu berubah.
Suatu malam, aku melihat kamu di kafe. Duduk berdua dengan Reza. Tertawa. Tapi bukan itu yang menyakitkan.
Yang menyakitkan adalah saat kamu melihatku… dan pura-pura tidak kenal.
Aku mendekat. “Dira?”
Kamu menoleh, tersenyum tipis. “Oh… hai.”
“Hai?” suaraku bergetar. “Kamu enggak mau kenalin aku ke dia?”
Reza menatapku, lalu ke kamu. “Ini siapa?”
Kamu menjawab, “Teman lama. Dulu satu organisasi.”
Teman lama.
Aku pulang malam itu dengan dada yang seperti diremas. Aku menangis di kamar, bukan karena kamu punya pacar. Tapi karena kamu memilih untuk menghapus aku dari cerita hidupmu.
Seminggu kemudian, aku dengar kabar dari teman-teman. Katanya kamu bilang aku cemburu. Katanya aku terlalu posesif. Katanya aku enggak bisa lihat kamu bahagia.
“Apa aku segitu buruknya?” tanyaku ke salah satu teman kita.
Dia hanya mengangkat bahu. “Dira bilang kamu suka Reza juga. Makanya kamu marah.”
Aku terdiam. “Itu enggak benar.”
“Tapi kamu enggak pernah bilang.”
“Karena aku enggak pernah suka dia. Aku cuma… sayang sama Dira.”
Temanku menatapku lama. “Sayang gimana?”
Aku menunduk. “Sayang… kayak keluarga. Kayak rumah.”
Tapi rumah itu sudah terbakar.
Aku mencoba bicara ke kamu. Aku kirim pesan. Aku tunggu di taman. Tapi kamu enggak pernah datang.
Sampai suatu hari, aku nekat datang ke rumahmu.
Ibumu membuka pintu. “Oh, kamu… Dira lagi enggak mau ketemu siapa-siapa.”
“Bu, saya cuma mau bicara. Lima menit aja.”
Ibumu ragu. Tapi akhirnya mengizinkan.
Kamu duduk di sofa, menatapku dingin.
“Apa lagi?” katamu.
Aku menarik napas. “Kenapa kamu berubah?”
Kamu tertawa sinis. “Karena aku capek jadi bayangan kamu. Semua orang bilang aku cuma numpang eksis di hidup kamu.”
“Aku enggak pernah bilang gitu.”
“Tapi kamu bikin aku merasa gitu. Kamu selalu jadi pusat. Aku cuma figuran.”
Aku terdiam. “Jadi kamu buang aku?”
Kamu berdiri. “Aku enggak buang kamu. Aku cuma… enggak butuh kamu lagi.”
Kalimat itu seperti pisau. Tajam. Dalam.
Aku pulang dengan langkah gontai. Di jalan, aku bertemu beberapa teman. Mereka menatapku dengan pandangan aneh. Seolah aku penyakit.
“Aku enggak ngerti kenapa semua orang menjauh,” kataku ke diriku sendiri.
Tapi aku tahu. Karena kamu sudah ubah cerita. Dan aku jadi tokoh jahatnya.
Setahun berlalu. Aku pindah kota. Mulai hidup baru. Tapi luka itu masih ada.
Suatu hari, aku dapat pesan. Dari kamu.
“Maaf. Aku baru sadar aku salah. Tapi mungkin udah terlambat.”
Aku membaca pesan itu berulang kali. Lalu membalas:
“Terima kasih sudah jujur. Tapi aku sudah belajar hidup tanpa kamu.”
Kamu membalas:
“Aku kangen kita yang dulu.”
Aku menatap layar lama. Lalu mengetik:
“Aku juga. Tapi kita yang dulu… sudah mati.”
Dan aku tutup percakapan itu. Bukan karena aku benci kamu. Tapi karena aku akhirnya mencintai diriku sendiri lebih dari rasa sakit yang kamu beri.