Langit sore itu kelabu. Hujan belum turun, tapi bau tanah basah sudah menyusup ke jendela kamar Raka. Ia duduk di lantai, bersandar pada ranjang yang sudah lama tak dirapikan. Di tangannya, sebuah kotak kayu kecil—berisi surat-surat dari masa lalu. Dari Ayu.
“Kamu tuh nggak capek, Rak? Nungguin orang yang bahkan nggak pernah mikirin kamu?” suara Dita, sahabatnya, terdengar dari telepon yang masih menyala.
Raka tak menjawab. Ia hanya menatap satu surat yang paling kusam. Tanggalnya: 12 Mei 2021. Hari terakhir Ayu menulis padanya sebelum pergi tanpa pamit.
#Empat Tahun Lalu
Ayu adalah satu-satunya alasan Raka bertahan di kota itu. Mereka bertemu di perpustakaan kampus, sama-sama suka buku tua dan kopi pahit. Ayu punya tawa yang bisa mengusir gelap, dan Raka punya diam yang membuat Ayu merasa aman.
“Kalau suatu hari aku pergi, kamu bakal nyari aku?” tanya Ayu sambil menatap langit malam.
“Aku nggak akan nyari. Aku bakal nunggu.” jawab Raka, yakin.
“Kenapa?” Ayu tersenyum, tapi matanya menyimpan sesuatu.
“Karena kamu pasti pulang.”
Lalu Ayu Pergi
Tanpa pesan. Tanpa jejak. Tanpa alasan.
Raka mencarinya ke mana-mana. Ke rumah orang tuanya di Bandung—kosong. Ke kampus—Ayu sudah cuti. Ke teman-temannya—semua bilang Ayu memang aneh, suka tiba-tiba hilang.
“Dia tuh emang gitu, Rak. Nggak bisa dipegang. Kamu terlalu serius.” kata salah satu teman Ayu, sambil tertawa.
Tapi Raka tidak tertawa. Ia mulai kehilangan arah. Ia berhenti kuliah. Ia menulis surat setiap minggu, berharap Ayu membaca. Ia menunggu di tempat mereka biasa bertemu. Ia menunggu di halte, di kafe, di perpustakaan.
Orang-orang mulai menjauh.
“Lo tuh nyebelin, Rak. Lo kayak orang gila.” kata Dita suatu malam.
“Gue cuma nunggu.” jawab Raka, pelan.
“Nunggu apa? Dia udah nggak ada. Dia nggak mau balik. Lo tuh nyiksa diri sendiri.”
Tahun Ketiga
Raka mulai bicara sendiri. Ia menyimpan semua surat Ayu di kotak kayu. Ia menulis balasan untuk surat-surat yang tak pernah dikirim. Ia hidup di antara kenangan dan harapan yang makin kabur.
“Ayu, kamu tahu nggak? Aku masih di sini. Di tempat kita terakhir ketemu. Kamu bilang kamu suka hujan, tapi kamu nggak pernah datang waktu hujan turun.” katanya pada surat yang ia tulis malam itu.
Dita datang sesekali, tapi selalu dengan nada marah.
“Lo tuh nyusahin semua orang. Nyokap lo nangis tiap malam. Lo nggak kerja, nggak kuliah, lo cuma nunggu orang yang bahkan nggak tahu lo masih hidup.”
“Dia tahu. Dia pasti tahu.”
“Lo tuh bukan korban, Rak. Lo tuh keras kepala. Lo nyiksa diri sendiri dan nyiksa orang lain.”
Raka diam. Ia tahu Dita benar. Tapi ia juga tahu, rasa kehilangan itu bukan sesuatu yang bisa dibagi. Ia seperti luka yang tak berdarah—tak terlihat, tapi menyakitkan.
Tahun Keempat
Hari itu, Raka menerima surat. Tanpa nama pengirim. Tanpa alamat. Hanya satu kalimat:
“Maaf, aku nggak bisa pulang.”
Tangannya gemetar. Ia membaca surat itu berulang kali. Ia menangis. Ia tertawa. Ia marah. Ia hancur.
“Kenapa?” bisiknya pada surat itu.
“Kenapa kamu nggak bisa pulang? Kenapa kamu nggak bilang dari awal? Kenapa kamu biarin aku nunggu?”
Ia menulis balasan, tapi tak pernah mengirimnya.
“Ayu, aku benci kamu. Tapi aku juga sayang kamu. Aku nggak tahu harus gimana. Aku cuma tahu, aku nggak bisa berhenti nunggu.”
Akhirnya
Raka mulai keluar rumah. Ia mulai bicara dengan orang lain. Ia mulai bekerja di toko buku kecil. Tapi ia masih menyimpan kotak kayu itu. Ia masih menulis surat. Ia masih menunggu—bukan Ayu, tapi rasa yang pernah membuatnya hidup.
Suatu malam, Dita datang lagi.
“Lo udah mendingan sekarang.”
“Nggak juga.”
“Tapi lo udah nggak nunggu dia, kan?”
Raka tersenyum.
“Gue masih nunggu. Tapi bukan dia. Gue nunggu rasa itu balik. Rasa percaya. Rasa tenang. Rasa dicintai.”
Dita menatapnya lama.
“Lo tuh aneh, Rak.”
“Iya. Tapi gue nggak gila.”
Langit malam itu cerah. Raka duduk di balkon, menatap bintang. Ia membuka kotak kayu, membaca surat terakhir dari Ayu. Ia tidak menangis. Ia tidak marah. Ia hanya diam.
Karena kadang, kehilangan bukan tentang siapa yang pergi. Tapi tentang bagian dari diri kita yang ikut hilang, dan tak pernah benar-benar kembali.