Hujan turun sejak sore, merayap dari atap-atap rumah tua hingga membasahi batu-batu jalanan. Di ujung gang yang sepi, lampu temaram dari sebuah kafe tua memantulkan cahaya kusam. Di sanalah aku menunggunya.
Bukan untuk bertemu… tapi untuk mengakhiri.
Pintu kayu berderit ketika ia masuk. Arel—dengan mantel hitamnya yang basah kuyup, mata tajam yang seolah menelanjangi pikiranku. Ia tidak pernah berubah, bahkan setelah semua luka yang ia tanam di tubuh dan jiwaku.
“Kau datang.” suaranya berat, nyaris seperti ancaman.
“Aku bilang ini akan jadi pertemuan terakhir.” jawabku, menahan getaran di tenggorokan.
Arel duduk di depanku. Tangannya, yang dulu pernah membelai pipiku dengan lembut, kini tampak seperti sesuatu yang bisa merenggut nyawaku kapan saja. Dan memang, ia pernah hampir melakukannya.
“Kau tidak bisa pergi,” katanya datar. “Kita… tidak berakhir seperti itu.”
Aku menatapnya. Ada luka di bibirnya—mungkin bekas perkelahian. Lelaki ini adalah badai, dan aku sudah terlalu lama terjebak di matanya yang gelap.
“Rel, kita sudah saling menghancurkan,” ucapku lirih. “Aku tidak mau jadi bagian dari itu lagi.”
Ia tersenyum miring. “Kau pikir aku akan membiarkanmu pergi? Setelah semua yang kita lalui? Setelah darah, air mata, dan—” ia mencondongkan tubuh, suaranya merendah, “—setelah malam itu?”
Dadaku berdegup kencang. Malam itu. Malam di mana cinta dan kebencian menyatu, malam di mana kami saling mencintai sekaligus saling menyakiti hingga batas napas.
Aku mengalihkan pandangan. “Aku… sudah mencintai orang lain.”
Itu bohong. Dan aku tahu ia bisa merasakannya.
Ia terdiam lama, lalu menyandarkan punggung ke kursi. “Kau tahu, Nayla.. aku membiarkan banyak orang pergi. Tapi bukan kau salah satu dari mereka.”
Ada jeda. Lalu ia mengulurkan tangannya ke meja, menyentuh jariku. Sentuhan yang dulu membuatku luluh, kini membuatku ingin mundur. Tapi aku tidak menarik tangan itu.
“Kau milikku selamanya.” katanya, dengan tatapan yang lebih mirip doa kutukan.
Hujan semakin deras di luar, membungkam bunyi napas kami. Dan di sanalah aku sadar: aku tidak pernah benar-benar membencinya. Aku membenci caranya memegangku terlalu erat, mengurungku di dunianya yang gelap, tapi bagian terdalam diriku masih merindukan kehangatan yang sama.
“Aku takut padamu.” kataku pelan.
“Aku juga takut padamu.” jawabnya cepat. “Kau satu-satunya yang bisa menghancurkanku, Nay. Dan itu… membuatku ingin memastikan kau tidak pernah pergi.”
Aku terdiam. Kalimatnya menusuk lebih dalam daripada ancaman mana pun.
Lalu tiba-tiba, ia bangkit. Membuka mantel, menaruhnya di kursi. Dari saku dalam, ia mengeluarkan sebuah pisau lipat, meletakkannya di meja.
“Aku tidak akan menyakitimu,” katanya, “tapi kalau kau pergi malam ini, aku… tidak tahu apa yang akan kulakukan pada diriku sendiri.”
Air mataku mengalir. Bukan karena takut—tapi karena sadar bahwa aku masih mencintai monster ini.
Aku berdiri, mendekatinya. Ia menatapku seperti seseorang yang menunggu vonis mati. Dan aku memeluknya. Pelukan itu basah, dingin, dan anehnya, terasa seperti pulang.
“Kita… cinta kita sakit Rel,” bisikku di dadanya. “Tapi aku tidak bisa membiarkanmu hancur sendirian.”
Ia mencium puncak kepalaku. “Kalau begitu, hancurlah bersamaku.”
Kami keluar dari kafe, menembus hujan. Di bawah gemuruh langit, ia memegang wajahku, lalu menciumku. Ciuman yang pahit, penuh darah masa lalu, tapi tetap hangat.
Aku tahu aku sudah membuat pilihan. Pilihan yang akan menjerumuskanku kembali ke kegelapan.
Dan di tengah hujan itu, dengan bibirnya yang membekap semua kata, aku sadar: aku tidak pernah benar-benar ingin bebas.
Aku ingin tenggelam. Bersamanya.