Langit Sukorejo sore itu kelabu. Hujan belum turun, tapi udara sudah basah oleh harapan yang tak pernah tiba. Di sebuah rumah kecil di ujung gang, Dira duduk di tepi ranjang, memandangi layar ponselnya yang kosong. Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan. Tidak ada yang bertanya, “Kamu baik-baik saja?”
Dira, 23 tahun, tinggal sendiri sejak ibunya meninggal dua tahun lalu. Ayahnya sudah lama pergi, katanya kerja di Kalimantan, tapi tak pernah kembali. Sejak itu, Dira hidup dari menjahit baju pesanan tetangga. Tidak banyak, tapi cukup untuk makan dan bayar listrik.
Setiap malam, ia menulis di buku harian. Bukan karena ingin dikenang, tapi karena tidak ada yang mau mendengar.
“Hari ini aku menjahit gamis untuk Bu Rini. Dia tidak bilang terima kasih. Tapi aku senang bisa bantu.”
“Aku lihat anak-anak main di lapangan. Mereka tertawa. Aku lupa rasanya tertawa.”
“Aku ingin seseorang bertanya, ‘Apa kamu lelah?’ Tapi tidak ada.”
Suatu hari, Dira memberanikan diri menelepon kakaknya, Raka, yang tinggal di Surabaya.
Dira: “Kak… bisa ngobrol sebentar?”
Raka:“Lagi sibuk, Dir. Ada meeting. Kenapa?”
Dira: “Aku cuma… pengen cerita. Rasanya berat.”
Raka: “Dir, kamu tuh terlalu sensitif. Hidup tuh emang gitu. Nggak usah dipikirin.”
Dira: “Tapi aku ngerasa sendiri banget…”
Raka: “Ya semua orang juga punya masalah. Jangan manja.”
Telepon terputus. Dira menatap layar ponselnya lama, berharap Raka menelepon balik. Tapi tidak.
Ia mencoba mengirim pesan ke teman lamanya, Sinta.
Dira: “Sin, kamu sibuk? Aku pengen cerita…”
Sinta: “Lagi di kafe sama temen-temen. Nanti ya.”
Dira: “Oke…”
Tidak ada “nanti.” Tidak ada balasan.
Dira menulis lagi di bukunya.
“Aku mencoba bicara. Tapi mereka sibuk. Mungkin aku memang tidak penting.”
“Kalau aku hilang, mungkin baru mereka sadar.”
Malam itu, listrik padam. Dira duduk di gelap, hanya ditemani lilin kecil. Ia membuka lemari, mengambil kotak kecil berisi surat-surat lama dari ibunya. Di salah satu surat, ibunya menulis:
“Dira, kamu cahaya kecil di dunia yang gelap. Jangan padam, ya.”
Dira menangis. Tapi tidak ada yang mendengar.
Keesokan harinya, ia pergi ke warung, membeli obat tidur. Banyak. Terlalu banyak.
Di rumah, ia menulis surat terakhir.
“Aku sudah mencoba bicara. Tapi tidak ada yang mendengar. Aku sudah mencoba bertahan. Tapi tidak ada yang peduli. Kalau aku pergi, mungkin baru kalian bertanya.”
Ia menelan semua pil, lalu berbaring.
Dua hari kemudian, Bu Rini datang karena pesanan bajunya belum selesai. Ia mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Ia memanggil tetangga. Mereka mendobrak pintu.
Dira sudah tidak bernyawa.
Di meja, surat terakhirnya terbuka. Tetangga membaca, terdiam. Tidak ada yang menangis. Hanya gumaman:
“Kenapa nggak bilang?”
“Kok bisa nekat gitu?”
“Padahal dia baik…”
Tapi tidak ada yang pernah bertanya saat Dira masih hidup.
Tidak ada yang peduli saat ia masih bisa bicara.
Tidak ada yang mendengar saat ia berteriak dalam diam.