Malam itu, dinginnya udara terasa hingga ke tulang. Lampu jalan yang remang-remang menari di jendela, bayangannya seolah menertawakan kecemasan di hatiku.
Aku, Rhea, memegang sebuah rekaman audio yang akan mengubah segalanya. Bukan hanya soal korupsi, tapi juga kebohongan yang telah lama menyelubungi keluargaku. Bukti ini adalah pedang yang siap menembus kegelapan, namun juga target di punggungku.
Aku tahu mereka mengawasiku. Aku bisa merasakannya. Bayangan gelap di balik tirai, langkah kaki yang mengendap di luar pintu.
Jantungku berpacu, napasku terhenti. Aku harus menyembunyikan rekaman ini. Tangan gemetar, aku menemukan sebuah celah di balik tumpukan buku tua di loteng.
Di sana, di antara debu dan kenangan yang usang, aku menyimpannya. Aku menulis petunjuk samar di buku harianku, sebuah kode yang hanya bisa dipahami oleh orang yang benar-benar mengenalku.
"Aku tahu mereka akan datang," tulisku, "tapi kebenaran harus terungkap. Mungkin aku tidak akan selamat, tapi semoga ada seseorang yang menemukan ini."
Dan mereka datang. Pintu didobrak, suara langkah kaki yang tergesa-gesa membanjiri rumah.
Aku mencoba melarikan diri, namun percuma.
Mereka menangkapku.
Tangan-tangan kasar mencekik leherku, pandanganku mengabur.
Rasanya menyesakkan, sekelebat masa lalu dari aku kecil sampai sekarang berkumpul membuatku mengingat bahwa aku memang anak haram ayahku.
Suara Lyra, adikku, terngiang di benakku. Wajahnya yang anggun, senyumnya yang tulus.
Apakah dia tahu apa yang dilakukan ibunya?
Pertanyaan itu adalah napas terakhirku.
Pada akhirnya Aku belum sepenuhnya mati.
Aku ada, terperangkap di antara dunia nyata dan dunia kenangan.
Aku menyaksikan segalanya. Aku melihat Lyra, adikku, yang selalu pendiam dan penurut. Ia tumbuh menjadi wanita yang dingin dan tertutup, hidup dalam bayang-bayang keluarga. Aku juga melihat Aris, pemuda bersemangat yang membawa cahaya ke dalam kegelapan.
Aku iri mereka memiliki kehidupan yang bebas, aku ingin mendapatkannya. Tetapi aku tahu itu tidak akan pernah berhasil.
Mereka bertemu, dan Aris menuntun Lyra di labirin ingatan. Ia menemukan buku harianku, ia membaca kisahku, dan ia merasakan keberadaanku. Aku melihat cinta tumbuh di antara mereka. Sebuah cinta yang terlahir dari kebenaran yang aku tinggalkan.
Mereka menyusun teka-teki, menemukan petunjuk yang aku tinggalkan, dan akhirnya menemukan rekamanku. Di loteng, Lyra menekan tombol play dengan tangan gemetar.
Dan suara itu... suara ibuku, begitu jelas, begitu mengerikan.
Air mata Lyra mengalir. Ia kini memegang kebenaran yang akan menghancurkan keluarganya.
Aku, Rhea, hanya bisa menyaksikan.
Aku telah memberikan semua yang aku miliki. Kini, nasib kebenaran ada di tangan mereka.
Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain berharap. Berharap agar cinta yang mereka miliki cukup kuat untuk melawan kegelapan yang telah membunuhku.