Senja merona di ufuk barat, memudar menjadi keheningan malam yang pekat. Aku terbangun, bukan di ranjangku, melainkan di hamparan rumput basah yang wangi.
Tubuhku terasa ringan, seolah baru saja terbebas dari beban yang amat berat. Kabut tipis menyelimuti pepohonan di sekitarku, dan sebuah melodi lembut mengalun, menuntunku ke sebuah danau yang airnya memantulkan ribuan bintang.
Di tepi danau, seorang pria tengah memainkan seruling, nadanya menusuk relung jiwaku. Ia menoleh, matanya sehangat api unggun yang menyala di tengah malam.
"Kau kembali," katanya lirih, "Aku sudah menunggumu."
Aku terperangah. "Siapa kau? Dan... di mana ini?"
Pria itu tersenyum sendu. "Dunia ini adalah kenangan kita, dunia yang hilang saat kau meninggalkanku. Aku adalah Ericsson, kekasihmu. Dan kau, kau adalah Elara."
Nama itu terasa akrab, namun asing di saat yang sama. Kepalaku pusing, mencoba menyusun kepingan-kepingan memori yang tercerai-berai. "Aku tidak mengerti. Aku... aku hanya ingat nama Laras. Dan kecelakaan itu..."
Arion mendekat, tangannya menyentuh pipiku. Sentuhannya dingin, namun membuatku merinding. "Laras adalah nama barumu di dunia itu. Dan kecelakaan itu, itu adalah takdir yang memisahkan kita. Namun, jiwamu terlalu kuat, terlalu merindukanku, hingga membawamu kembali ke sini."
Kami menghabiskan malam itu dengan Ericsson menceritakan semua. Tentang kami yang pertama kali bertemu di bawah pohon sakura, tentang janji yang kami ucapkan di bawah bintang, tentang bagaimana kami merajut mimpi bersama, hingga akhirnya... perpisahan itu.
Setiap kisahnya, setiap kenangannya, seolah mengisi kekosongan yang selama ini kurasakan. Aku menangis, merasakan kesedihan dan kebahagiaan yang tumpang tindih.
"Jadi, ini hanya mimpi?" tanyaku, air mata masih membasahi pipi.
Ericsson menggeleng. "Tidak, ini bukan mimpi. Ini adalah realitas yang pernah kita miliki." Ia kemudian mengulurkan sebuah cincin perak yang berukir nama kami, Ericsson dan Elara.
"Ini, cincin yang tak sempat ku berikan padamu. Simpanlah, sebagai bukti bahwa cinta kita nyata."
Tiba-tiba, dunia di sekitar kami mulai memudar, dan cahaya terang menyelimutiku.
"Waktumu sudah habis, Elara. Kau harus kembali." Suara Ericsson terdengar berat, dipenuhi kesedihan.
"Tunggu! Aku tidak ingin pergi! Aku ingin bersamamu!"
Ericsson tersenyum, senyumnya kini penuh kelegaan. "Tidak apa-apa. Kau akan melanjutkan hidupmu, dan aku... akan tetap di sini, menunggumu. Hingga kita bertemu lagi."
Ia mencium keningku, dan ciumannya terasa seperti perpisahan yang abadi.
Aku terbangun, terbaring di ranjang rumah sakit. Suster-suster mengerumuniku, wajah mereka dipenuhi kelegaan. Aku melihat ke jendela, langit telah terang. Aku menangis, bukan karena sedih, melainkan karena kebahagiaan yang meluap.
Aku menatap tanganku, dan di jari manisku, cincin perak itu melingkar, berkilauan. "Ericsson..." bisikku, dan aku tahu, di suatu tempat, di dunia kenangan yang takkan pernah hilang, ia sedang tersenyum.